Minggu, 14 Desember 2008

sejarah rakyat BONE

Proses Kegiatan Hari Jadi Bone Apr 10, '08 1:55 PM
for everyone
Hari Jadi Bone diperingati setiap tanggal 6 April setiap tahunnya. Hal ini berdasarkan Perda Kabupaten Bone Nomor 1 Tahun 1990. Penetapan ini diawali dengan kegiatan seminar yang dihadiri oleh pakar sejarah dan budayawan Bone. Pada tahun 2007 Bone memperingati hari jadinya ke-677 yang terhitung sejak To Manurung sebagai Raja Bone I (1330). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam memperingati Hari Jadi Bone diantaranya sebagai berikut :
A.MATTOMPANG ARAJANG


Merupakan kegiatan mensucikan Benda-benda pusaka kerajaan Bone yang terdiri dari : Keris Lamakkawa, Pedang (Alameng), Latenri Duni, dansenjata perang lainnya serta Salempang Emas (Sembang Pulaweng).

Penyucian ini dilaksanakan secara adat, dengan pelaksana oleh para Empu Keris Pusakan yang disertai tata cara adat lainnya meliputi Sere Bissu yang diiringi musik “Gendrang Bali Sumange”, Ana” Beccing, dan Kancing. Dimasa kerajaan masa lampau, kegiatan ini sebagai bahagian upacara ritual untuk menghadapi hal-hal tertentu seperti ketika akan menghadapi perang, menghadapi wabah penyakit yang melanda kerajaan, dan guna mendatangkan hujan ketika terjadi kemarau panjang.

B.KIRAB KERAJAAN BONE
Kirab kerajaan Bone adalah serangkaian prosesi adat yang digelar pada saat diperingatinya Hari Jadi Bone setiap tahunnya. Dalam prosesi adat ini dipergelarkan sejumlah jenis dan susunan pasukan kerajaan Bone dimasa lampau, yang terdiri dari: Pasukan Petta PonggawaE (Panglima Perang), Pasukan Raja dan Permaisuri, Pasukan Bissu Kerajaan, Pasukan Laskar (Prajurit Kerajaan), Pasukan Ade Pitu (Tujuh Petinggi kerajaan, serta Pasukan Tokoh-tokoh Masyarakat.

C.SENDRATARI MANURUNGNGE RI MATAJANG

Merupakan Sendratari yang menyajikan kisah sejarah awala terjadinya Pengangkatan dan Pelantikan Raja (Mangkau), yang sekaligus merupakan babakan awal terciptanya tata pemerintahan kerajaan I dimasa abad XIII pada tahun 13130 di Tanah Bone. Sendratari ini mengisahkan bahwa Tanah Bone pada abad XIII, kehidupan masyarakat serba tidak menentu. Di antara kelompok masyarakat adat yang ketika itu masing-masing dipimpin oleh seorang ketua adat atau disebut Matoa, saling menjatuhkan dan memerang satu sama lain. Sehingga suasana kehidupan menjadi carut – marut, di mana-mana para warga saling bermusuhan. Tidak Ada lagi tatanan yang dapat mempersatukan rakyat Bone, kemiskinan terjadi, keterpurukan terjadi pada semua sendi kehidupan. Peristiwa demi peristiwa terjadi tanpa terkendali, sehingga suatu saat terjadi satu keajaiban di mana bumii diliputi hujan lebat dan petir menyambar-nyambar dengan sangat dahsyat dan menyilaikan mata. Tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian putih yang tidak diketahui asalnya (dalam kisah lontara ia disebut dsebagai PUA CILAO), hujan dan petirpun reda. Mengalami peristiwa ajaib ini para warga yang berperangpun menghentikan aktivitasnya melihat kedatangan seorang yang dianggap turun dari langit. Para wargapun kemudian memberikan salam hormat.

Namun sang pendatang ini menolak untuk diberi penghormatan dan bahkan ia menyampaikan pesan bahwa manusia yang pantas bagi mereka untuk diberi penghormatan buakanlah ia, melainkan ada seseorang yang lain yang kelak akan menjadi pemimpin mereka di Tanah Bone. Dialah yang akan menjadi raja (Mangkau) I di Tanah Bone. Jelang beberapa lama muncullah seseorang dengan berpakaian lengkap yang didampingi oleh para pengapitnya berikut sejumlah Bissu sebagai pasukan pengawal.
Dialah Sang ManurungngE Ri Matajang bergelar Mattasi LompoE. Dan setelah duduk bersama para Tokoh Pemimpin Rakyat (Matoa), maka para Matoa bersepakat mengangkat ManurungngE Ri Matajang sebagai Mangkau (raja) I di tanah Bone. Sehingga sejak itu pada tahun 1330 berdirilah Kerajaan Bone.

D.TARI ALUSU
Tari yang digelar untuk penjemputan tamu kehormatan dari kerajaan lain. Diperagakan pada awalnya oleh para Bissu kerajaanpada abad XVI masa pemerintahan Raja Bone X We Tenri Tuppu MatinroE Ri Sidenreng, tari ini biasa juga disebut Sere Bissu. Kemudian pada masaberikutnya dipergakan dalam bentuk tari yang disebut Tari Alusu yang diperagakan oleh paradara-dara di lingkungkangan bangsawan

E.TARI PAJAGA ANDI
Lahir pada masa Raja Bone Webenri Gau Fatima Banri, ia juga selaku pencipta pakaian “Waju Ponco” yang dikenakan bagi para andi-andi seperti sekarang ini. Tari ini diperagakan pada saat “Majjaga” di saoraja untuk menciptakan suasana hiburan bagi raja ketika sedangberistirahat.

F. TARI MARANENG SONGKOK PAMIRING
Merupakan tari kreasi daerah Bone yang menggambarkan cara menganyam Songkok To Bone. Mulai dari pengambilan bahan (dari ure’ Ca/Serat pohon lontar) sampai menjadibentuk songkok. Tarian ini diperagakan oleh para anak dara dan Kallolona Tanah Bone kostum Adat Bugis Bone, dihadapan para tamu Kehormatan Daerah. dengan Instrumentarian ini adalah gendang, gong, kecapi, suling, dan peralatan lainnya.

G.GENRANG SANRO
Dibawakan oleh para sanro (dukun) untuk meminta restu dewa guna menolak bencana yang diperkirakan akan menimpa kerajaan. Selain itu juga dipakai dalam upacara adat seperti: Acara Menre’ Bola (menempati rumah baru), Mappakkulawi (Maruwwaelawi) yaitu selamatan anak yang baru lahir. Acara ini sudah ada sejak zaman kerajaan, dilakukan oleh para Sanro yang lahir setelah berakhirnya peranan Bissu di lingkungan kerajaan. Para Sanro ini bisa darilaki-laki maupun perempuan. Alat yang digunakan : gendang, anak beccing, kancing, mangkok porselin, dan sinto (dari bahan daun lontar).

H.GENRANG BAJO
Diperagakan oleh oleh komunitas suku Bajo, yang memberikan gambaran situasi kehidupan suku Bajo di pesisir pantai. Genrang Bajo sering disebut juga sebagai Genrang Pabbiring (pesisir)
I.GENRANG BALISUMANGE
Diperagakan oleh rumpun bangsawan untuk mengiringi upacara adat perkawinan, upacara malam perkawinan adat bugis Bone lingkungan Saoraja. Genrang BalisumangE biasa juga digelar pada acara perkawinan antar rumpun bangsawan, mulai dari mappettu ada, tudang penni, sampai hari perkawinan (esso botting); selalu diiringi dengan anak baccing dan kancing.
J.GENRANG PANGAMPI Dibunyikan saat warga menjaga padi, sehingga hama dan burung, pengganggu pemakanpadi menjauh dari tempat/sawah. Alat yang dipakai : alat bambu dan kayu pilihan, biasanyadiiringi dengan " katiting " (dari batang padi). (Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si. Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)
1 comment share

Blog Entry Elokkelong Ugi Apr 10, '08 1:51 PM
for everyone

aloeklo augi

al mesy esy

al mesy esy muw

taun aoPori sEsEkel

nsb riwEtu baicun

edemmE naEK nguru

riwEtu baicun ritu wEdi

nerko btowni msusni

nsb mrj nwnwni

aErEeG poeltoni kutuea

Terjemahan

BETAPA SIA-SIA

Sungguh sia-sianya

Orang yang mengalami penyesalan

Sebab diwaktu kecilnya

Memang tidak pernah belajar

Dimasa kecillah rupanya

Kalau sudah tua sangat susah

Sebab sudah banyak yang dipikir

Atau datanglah kemalasan

lojE PulwE

PuGni apEku rialaun boen

mriao mrEnu rillE ati

mEduni ksi esdi buwn

wdk rklao mietai

kuwietai nkuprilojEGi

rilojE PulwE mlEbiku

monipel bob siljulju

bli suGE tERi bli sumGE

elelad tERit pGdErE
nrial pkwru rilino
0 comments share

Blog Entry Aksara Lontara Bugis Apr 10, '08 1:44 PM
for everyone

k g G K

  KA GA NGA NGKA

p b m P

  PA BA MA MPA

t d n R

  TA DA NA NRA

c j N C

  CA JA NYA NCA

y r l w

  YA RA LA WA
s a h
  SA A HA

Tags: aksara lontara bugis
0 comments share

Blog Entry Jurnal Ilmiah Apr 10, '08 1:32 PM
for everyone

PENGARUH NILAI BUDAYA BUGIS TERHADAP PERILAKU APARAT BIROKRASI DI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN BONE

The Influence of Buginese culture velue toward the behavior of Bureaucracy Apparatus at the Regional Department of General Development in Bone Regency

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

P R A K A T A

Segala puji bagi Allah yang memberikan perlindungan, shalawat dan salam atas Rasulullah S.A.W, kepada sahabat dan ahlul baitnya atas berkatNya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini walau dalam berbagai keterbatasannya sebagai sebuah karya ilmiah.

Penulis tiada henti berjuang, bersabar, melangkah terus maju.

"Passokkui Resomu Musanre ri Totomu Mutajenngi Pammase". (Bulatkan tekad usahamu pasrah kepada takdir menanti karunia), suatu nilai yang memberi spirit penulis hingga terwujudnya tesis ini. Tesis ini mengkaji nilai budaya Bugis dan perilaku aparat birokrasi yang bermaksud menyumbangkan beberapa konsep nilai budaya Bugis (Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’), yang berhubungan dengan perilaku (Disiplin, Tepat Waktu, Taat Pada Aturan dan Tanggung Jawab) aparat birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone..

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya.

Penghargaan termulia, rasa hormat, dan terima kasih tak terhingga atas bimbingan penuh kesabaran, penulis limpahkan kepada Ketua Komisi Penasihat Dr. H. Mahmud Tang, MA dan Dr. M. Kausar Bailusy, MA, Kepada Tim Penguji, Dr. H. A. Pangerang Moenta,SH, MH, Dr. Suratman, M.Si Dr. H. Rasyid Thaha,M.Si, terima kasih saran dan kritiknya yang sangat berharga bagi penulis. Kepada Civitas Akademik Universitas Hasanuddin, yang telah memberi sumbangsih, dukungan dan motivasi, penulis menghaturkan terima kasih. Terima kasih tak terhingga kepada Pemerintah Kabupaten Bone, dan seluruh informan yang telah meluangkan waktunya untuk penulis.

Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Drs. H. Andi Pahrum Pawi, MTP selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.

Allah Yarham "H. Andi Bau Toappo Mappanyukki, Datu Appo, Hj. Andi Bau Tenripada Opu Datu, Hj. Andi Bau Tenri Datu Bau, Andi Pawennari Petta Sau", yang telah membimbing penulis dalam budaya Bugis kepada beliau penulis ucapkan terima kasih. Spesial terima kasih pula kepada Habaib Ir. Habib Chalid Al Idrus.

Terakhir diperuntukkan kepada kedua orang tua tercinta, isteri dan anak-anak tersayang yang memberikan dorongan dan doa selama mengikuti pendidikan. Akhirnya segala kekurangan dan kehilafan yang ada mohon dimaafkan, semoga segala sesuatunya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bersama.

Makassar, 3 Nopember 2007

Abdu Samad H. A. Umar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa pemerintahan Raja Bone VII, Latenrirawe BongkangE, kerajaan Bone memiliki luas wilayah kekuasaan yang sangat kecil. Tapi berkat adanya seorang pemikir (penasehat kerajaan Bone) La Mellong To Suwalle Kajao Laliddong, maka kerajaan Bone mengalami perkembangan yang sangat pesat dan kerajaan menjadi makmur, karena La Mellong menerapkan sifat-sifat atau nilai-nilai dasar yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha,kerja keras), Siri’ (harga diri).

Beberapa abad kemudian kerajaan Bone mengalami masa keemasan yang disebut ”WETTU TEPU KETENNA BONE” pada masa pemerintahan Raja Bone XV (1672-1696), ”Latenri Tatta To Unru’ Daeng Serang Petta MalampeE Gemme’na Petta Torisompae Sultan Saaduddin Arung Palakka Datu Mario ri Wawo, Malebbae Songko’na Arungna Mandurae MatinroE ri Bontoala” bergelar ”RAJA PALACCA DE KONING DER BOUGIES (DATU TUNGKE’NA TANA UGI).

Baginda Arung Palakka memiliki nilai-nilai luhur yaitu Lempu' (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha), Siri’ (harga diri), sehingga sampai saat ini Kabupaten Bone dikenal sebagai ”BUMI ARUNG PALAKKA”.

Demikian pula nilai Getteng dan Siri' yang dimiliki oleh Haji Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim sebagai Raja Bone XXXII baginda tidak mau bekerjasama dengan Belanda, dan atas prakarsa beliau maka kerajaan Bone bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.

Perode lontara telah membuka babakan baru dalam hidup politik orang Bugis, terutama dalam memandang pemimpinnya dan mengendalikan kekuasaan. Pada periode itu terdapat kecenderungan bahwa rupa-rupanya orang Bugis menjunjung tinggi kedudukan manusia. Manusia mempunyai arti khusus dalam hubungannya dengan seluruh sikap makhluk. Bawaan hati yang baik, yang menentukan seseorang itu sebagai manusia ialah kejujuran, kebenaran, Siri', kepandaian, Keberanian. (Mattulada,1985:456-457).

Sumber Daya Manusia yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, dituntut memiliki produktivitas yang tinggi dan perilaku yang sejalan dengan kode etik aparat birokrasi meskipun sebagian aparat birokrasi masih .keturunan langsung Raja Bone XVI Lapatau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng adalah kemenakan Arung Palakka.

Era reformasi mencatat arah menuju local democracy model sesuai semangat yang dikedepankan dalam UU Nomor 22 tahun 1999. UU tersebut telah diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang berusaha mempertemukan semangat efisiensi dan demokrasi, namun semangat local democracy model masih tampak kuat dengan dominannya pengaturan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL). Dengan adanya kebijakan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil sehingga aparat birokrasi dituntut untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang tertuang didalam Peraturan Pemerintah yang antara lain disiplin, tepat waktu, taat pada aturan dan tanggung jawab.

Sejalan dengan desentralisasi sebagai instrumen yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat yang tergolong majemuk dengan kondisi dan potensi yang beragam pula. Dalam era globalisasi dan reformasi yang terjadi saat ini telah membawa perubahan yang begitu cepat kepada aspek lingkungan dan kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi diantaranya semakin mudahnya masyarakat memperoleh informasi yang mampu meningkatkan kemampuan untuk memilih beberapa alternatif pelayanan publik yang dibutuhkan serta-merta dirasakan penting sehingga kebutuhan masyarakat akan pelayanan sudah menjadi tuntutan umum, kualitas pelayanan berbanding lurus dengan tingkat kepuasan rekanan (konsultan dan kontraktor) sehingga dapat dikatakan adanya nilai-nilai dasar budaya Bugis diharapkan dapat mendorong kualitas pelayanan yang sangat mempengaruhi tingkat kepuasan rekanan.

Dibidang sosial dan budaya, desentralisasi harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada gilirannya dapat memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

Budaya organisasi merupakan sumber pengetahuan yang penting mengenai dinamika kepemimpinan transformasional dan proses-proses yang dengannya karisma seorang pemimpin dapat dilembagakan. Pengaruh seorang pemimpin terhadap budaya sebuah organisasi bervariasi, tergantung kepada tahap pengembangan organisasi tersebut. Seorang pemimpin memerlukan pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (competency) untuk memahami budaya dalam organisasi.

Semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone membuat organisasi ini semakin ramping dengan adanya perubahan administrasi secara holistik.

Struktur organisasi yang ramping dalam Dinas Pekerjaan Umum semakin kompleks (peranan organisasi pada eselon IV), dilain pihak aparatur dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada swasta (rekanan) khususnya kontraktor dan konsultan.

Penyedia jasa ini turut memberikan andil yang sangat penting dalam bidang pembangunan fisik. Disisi lain pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sejak adanya kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengalami hambatan karena pola administrasinya semakin rumit dan memerlukan akuntabilitas yang handal.

Kebijakan ini membuat kepemimpinan yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone dituntut mampu mempengaruhi kinerja aparatur, baik itu kegiatan administrasi maupun kegiatan fisik di lapangan sebagai salah satu instansi teknik dalam pengelolaan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan maupun bidang keciptakaryaan dan bidang pengairan.

Kurangnya koordinasi dan informasi antar bidang membuat kinerja aparatur kurang memadai. Rendahnya kinerja aparatur pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone, tidak didukung oleh keterampilan aparatur yang sesuai dengan pendidikannya, sehingga organisasi ini berjalan di tempat.

Kurangnya informasi tentang penjelasan kebijakan baik berupa Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) maupun Petunjuk Teknis (JUKNIS) menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kinerja aparatur. Dalam kondisi seperti ini, tujuan organisasi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia aparatur secara profesional sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah faktor Budaya yang masih sulit disesuaikan dengan kebijakan tersebut (tidak dijadikan landasan bagi pelaksanakan kebijakan).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Budaya Kerja

1. Pengertian Budaya

Rahim (1985) dalam bukunya ”Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis” mengatakan bahwa peranan budaya Bugis di Sulawesi Selatan dalam bentuk kedirian dan kemandiriannya, dan telah berhasil menampilkan suku Bugis sebagai orang-orang tegar menata, membina serta menambahkan pri kehidupannya, disamping suku-suku lainnya, sebagai bahagian dari bangsa Indonesia. Ungkapan budaya Bugis dipandang dapat menjadi jiwa dan moral pembangunan nasional.

Nilai-nilai utama harus dipandang sebagai nilai-nilai yang utuh dan mempunyai dua sisi, ibarat mata uang; harganya terletak pada dua sisinya. Satu dari padanya hilang tidak berhargalah ia, nilai-nilai utama (Adat) Kejujuran (Lempu’), Kecendekiaan (Acca), Kepatutan (Asitinajang), Keteguhan (Getteng), Usaha (Reso) dan Harga Diri (Siri’). Nilai-nilai tersebut bukan hanya hak kebudayaan tetapi juga kewajiban kebudayaan, baik berlakunya nilai-nilai itu di kalangan orang Bugis khususnya maupun diantara sesama makhluk insannya.

Oleh karena itu, penggalian dan telaah terhadap peninggalan budaya masa silam tetap mempunyai arti. Wujud kebudayaan Bugis yang idealnya, tersimpul dalam apa yang disebut singkeruang (sikap hidup) terjelma dalam berbagai bentuk costum yang dinyatakan dalam konsep-konsep : Lempu’, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’.

Beranjak dari pengertian di atas maka orang Bugis yang mempunyai sejarah dan masyarakatnya tetap wujud dari zaman ke zaman. Pola-pola tingkah lakunya terbentuk secara kumulatif pada zamannya yang lampau. Generasi dibelakangnya memperolehnya sebagai warisan sosial yang dipandangnya sebagai ide-ide tradisionalnya. Ide-ide tradisional ini mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika membuat keputusan dalam menghadapi situasi tertentu. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena dipunyai bersama dan dialihkan bersama. Ia dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan (Asitinajang) bagi perempuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dan orang tuanya. Siapa yang melanggarnya akan menimbulkan penyesalan bagi dirinya di samping dia direndahkan oleh masyarakatnya bahkan juga oleh keluarganya. Nilai-nilai ini dipelihara oleh mereka sebagai memelihara suatu kehormatan diri yang paling besar yang telah dimuliakan oleh leluhurnya. Oleh karena itu ia adalah nilai-nilai kebudayaan.

Darmawan Mas’ud dalam Kombie,A.S (2003:216) mensinyalir bahwa unsur-unsur ajaran dasar Sawerigading berupa Lempu’, Tongeng, Getteng dan Adele, sama dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Sekitar abad ke-XIV sampai masuknya kekuasaan kolonial Belanda, orang Bugis di Sulawesi Selatan mempunyai kerajaan-kerajaan lokal merdeka yang terkenal, diantaranya ialah Tana-Luwu’, Tana-Bone, Tana-Wajo’, Tana-Soppeng dan Tana-Sidenreng. Kerajaan-kerajaan orang Bugis itu bersama-sama disebut Tana-Ugi’ dalam sejarahnya tak pernah mengalami keadaan sebagai satu negara yang mempersatukan sekalian suku bangsa Bugis dalam satu Pemerintahan. Hubungan persaudaraan atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang mereka namakan ”sempugi” selalu dijunjung tinggi (Mattulada,1995:6).

Selanjutnya Mattulada (1995:6) dalam ”Latoa” menegaskan bahwa dalam perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan itu selanjutnya, Tana-Bone dianggap sebagai kerajaan Bugis yang menjadi standard dari pola-pola kehidupan politik-ekonomi dan kebudayaan bagi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya. Demikianlah maka sampai sekarang yang dijadikan bahasa Bugis standard, adalah bahasa Bugis To-Bone.

Nilai-nilai utama menurut Toriolo dalam Rahim (1985) bahwa, yang menentukan manusia ialah berfungsi dan berperannya sifat-sifat kemanusiaan, sehingga orang menjadi manusia, dan begitu juga nilai-nilai kebudayaan Bugis. Adapun nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha dan harga diri, sebagai nilai-nilai utama yang akan dibahas disini, harus dilihat dari segi fungsinya. Keutamaannya secara fungsional dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama makhluk, dengan cita-cita, dan dengan Tuhan.

Selanjutnya enam nilai-nilai utama kebudayaan Bugis dapat di uraikan sebagai berikut :

1. Lempu’ = Jujur (Honesty, Credibility)

Lempu’ : dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil. Sehingga lawan katanya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya. Arti ini dapat dipahami ketika ditemukan kata lempu’ dalam ungkapan-ungkapan Bugis atau lontara. Berbagai cara pula lontara menerankan kejujuran itu. Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasihatnya oleh calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; (d) dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.

Sejalan dengan pengertian ini Kajao Laliddong, cendekiawan Bone menjelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Arumpone mengenai pokok-pangkal keilmuan. Apakah saksinya (sabbi) atau bukti kejujuran (lempu’) ? ’Seruan (obbi’) ya Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? ”Adapun yang diserukan adalah : Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, yang bukan engkau menyandarkannya; jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.

Betapapun dalam kesan nilai kejujuran itu pada diri pribadi La Manussa’ To Akkarangeng. Pada waktu rakyat Soppeng mengajukan kesepakatannya untuk meminta kesediaan beliau menjadi Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya sambil menyatakan supaya mencari orang lain dari padanya. Ketika beliau pada akhirnya menerima, masih pun diminta tempo untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat Soppeng. Kalau sikapnya itu dikatakan berendah hati namun sikap itu lahir dari nilai kejujuran bercampur dengan keilmuan dan kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Rakyat Soppeng telah mengetahui bahwa syarat untuk seorang Datu di Soppeng telah dimiliki olehnya.

Dipihak lain Raja Bone yang di tangannya tergenggam kekuatan besar di antara para raja Bugis lainnya, bersedia menerima nasihat, sedangkan pembantunya, Kajao, tanpa ragu-ragu memberikan pula nasihatnya. Mungkinkah pula ini tidak atas dasar kejujuran? Apabila tanaman dan kerbau dapat dimisalkan sebagai sumber makanan; kuda sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan, apakah ini tidak menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati hak-hak bagi pemiliknya? Biarpun empunya tidak mengawal miliknya, tetapi telah diketahui bahwa sesuatu kayu sudah tersandar dan sudah terletak, iapun harus diberlakukan secara jujur sebagai tanda berlaku jujur menghormati hak yang empunya.

Dilain pihak seorang anak di Sidenreng yang melanggar nilai kejujuran harus menerima hukuman mati sebagai imbalannya. Hukuman mati itu dijatuhkan oleh si ayah sendiri sebagai hakim di negeri itu, Si ayah inilah yang bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1645) yang lahir di Panrenge di sebelah utara Amparita. Jikalau orang harus merasa segan atau takut maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada orang jujur. Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga, ”kata La Tiringeng To Taba Arung Saotanre Raja cendekiawan Wajo di abad XV (Rahim, 185:145-152).

Demikian juga yang dapat memberikan harapan hidup yang panjang, memanjangkan usia, (Lamperi sunge’) adalah dengan mengembangkan perilaku yang memelihara kejujuran (lempu’), dengan membuktikan perbuatan yang : memaafkan orang yang bersalah padanya, tidak culas bila diberi kepercayaan, tidak serakah terhadap yang bukan haknya, dan tidak mencari kebaikan bila hanya dia yang menikmatinya (Ibrahim,2003:89).

Nilai-nilai dasar , Lempu’, Adatongeng, Getteng menjadi sumber Ammaccang (kepandaian). Nilai kejujuran mempunyai posisi sentral. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai kejujuran, tidak akan menopang pemeliharaan ’induk kekayaan’ negara dan rakyat. Kejujuran harus diserukan, didakwahkan. Kalau sumber kepandaian adalah kejujuran, maka saksinya (sabbi) menurut Kajao Laliddong adalah perbuatan (Gau’) (Ibrahim,2003:24).

Berkata juga La Waniaga Arung Bila, terdapat empat macam permata bercahaya, yaitu ”lempu’”, kejujuran; ”adatongeng”, kata-kata benar beserta ketetapan hati; ”Siri’” beserta keteguhan pada prinsip; dan akal pikiran disertai kebaikan hati.

Adapun yang menutupi kejujuran adalah kesewenang-wenangan, yang menutupi kata-kata benar adalah kedustaan, yang menutupi ”siri” adalah ketamakan, dan yang menutupi akal-pikiran adalah kemarahan. Pada hakikatnya, apa yang dikemukakan Arung Bila merupakan penjabaran kreatif dari nilai-nilai yang telah dikemukakan Kajao Laliddong (Ibrahim,2003:88).

Acca = Kepandaian (Proficiency, Intelectual)

Acca : dalam bahasa Indonesia berarti kepandaian atau kepintaran dapat dipahami, baik dalam arti positif maupun negatif. Padahal acca bukan pandai atau pintar tetapi cendekia atau intelek, (cendekia dari Sangsekerta, kearifan dari bahasa Arab). Lontara juga menggunakan kata nawa-nawa yang berarti sama dengan acca.

Jadi orang mempunyai nilai acca atau nawanawa oleh lontara disebut Toacca, Tokenawanawa atau Pannawanawa, yang dapat diterjemahkan menjadi cendekiawan, intelektual, ahli pikir atau ahli hikmah arif. Pengertian ini masih perlu dijelaskan guna membantu kita memahami nilai kecendekiaan yang dikemukakan oleh lontara. (Rahim,1985).

Di dalam konsep nilai kecendekiaan terkandung, disamping nilai kejujuran, juga nilai kebenaran, kepatutan, keikhlasan, dan semangat penyiasatan atau penelitian. Tociung menyebutkan bahwa cendekiawan (toakenawanawa) mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Petta Matinroe ri Lariangbanngi (bangsawan tinggi Bone) menerangkan pula bahwa yang disebut pannawanawa (cendekiawan) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan (Rahim,1985).

2. Asitinajang = Kepatutan (Proper)

Asitinajang : dalam bahasa Indonesia Artinya Kepatutan, kepantasan, kelayakan, kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontara mengatakan : ”Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu. Ade’ wari’ (adat pembedaan) pada hakikatnya mengatur agar segala sesuatu berada pada tempatnya.

Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan (makamaka) jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab.

Lataddampare Puang ri Maggalatung (cucu raja Palakka) (1498-1528) pernah berkali-kali menolak tawaran Adat dan rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo ke-3 La Patenddungi To Samallangi’ bukan karena beliau tak mampu memangku jabatan itu. Rakyat dan Adat Wajo yakin akan kebolehan beliau. Tetapi yang menjadikan beliau tidak menerima tawaran tersebut adalah nilai kepatutan dalam dugaan atau persangkaan orang terhadapnya. Pada waktu Batara Wajo ke-3 memerintah sewenang-wenang, dan tidak seorangpun berani tampil menahan, ketika itu Puang ri Maggalatung diminta bantuannya, dan memang beliau pun mampu melaksankannya. Memang wajar beliau menerimanya, sebab baik membunuh raja yang zalim maupun tawaran untuk dirajakan sama-sama kehendak adat dan rakyat Wajo. Nilai kepatutan yang berperan di dalam diri Lataddampare’ Puang ri Maggalatung, mengingatkan kita kepada penerapan petaruh yang diwariskan oleh leluhur Bugis (Rahim,1985:157-159).

Pemikiran Tociung MaccaE ri Luwu, tidak hanya berkembang dan mempedomani kehidupan sosial politik dan budaya di kerajaan Luwu, melainkan menembus ’jauh’, antara lain ke kerajaan Soppeng, dipelajari dan dikaji, terutama oleh raja dan kaum bangsawannya. Datu Soppeng La Baso’ Manussa To Akkarangeng, secara khusus melakukan perjalanan dari Soppeng berkunjung ke tempat kediaman MaccaE ri Luwu. Dalam mengemukakan pandangan-pandangannya yang disampaikan dengan cara berdialog dengan Labaso’ To Akkarangeng, MaccaE ri Luwu tampaknya lebih banyak membuat penguraian-penguraian. Sifat moralistik-religius, yang tercermin dalam pemikirannya menandai pemahaman dan pendalamannya mengenai ilmu pappejeppu, ilmu ma’rifat Bugis. MaccaE ri Luwu menjawab pertanyaan Datu Soppeng To Akkarangeng bahwa yang dapat memperluas jaringan kekerabatan dan merimbunkan pepohonan (palorong welareng, paddaung raukkaju) adalah dengan mempraktekkan perilaku yang menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya secara proporsional (Asitinajang).

Surat Al Qashash (28) ayat 26

إنﺧﻴﺭﻤﻥاستأاجرت لقوياﻻﻤﻱﻦ

Artinya: Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat di percaya.

Maksud dari ayat ini adalah tempatkanlah seseorang sesuai dengan keahliannya pada bidangnya (The right man on the right place).

3. Getteng = Keteguhan (Firm)

Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata inipun berarti tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Ini dinyatakan oleh To Ciung Maccae ri Luwu bahwa empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim,1985). La Tenriruwa Sultan Adam Matinrioe ri Bantaeng (kakek Latenri Tatta Arung Palakka) hanya tiga bulan menduduki takhta kerajaan Bone (1611). Beliau raja Bone (Mangkau’) pertama yang memeluk agama Islam, maka ramailah raja-raja Bugis lainnya dan diikuti oleh masing-masing rakyatnya memeluk Islam. Yang menyampaikan da’wah Islamiah ini ialah kerajaan Gowa di bawah rajanya I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papambatuna (1605-1653) beliau adalah ayahanda dari ”I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’ Pakanna” yang telah lebih dahulu menerima Islam. Raja Bone La Tenriruwa Sultan Adam menerima Islam yang disampaikan kepadanya oleh I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.

Dalam perjanjian persahabatan negara-negara Bugis-Makassar yang masih tetap diakui bersama, antara lain ditetapkan : ”bahwa barangsiapa yang lebih dahulu menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka berjanjilah siapa-siapa yang menemukan kebajikan itu lebih dahulu supaya memberitahukannya kepada raja-raja lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar penerimaaan Raja Bone dan raja-raja Bugis lainnya. Akan tetapi setelah beliau mengumumkan keislamannya ternyata rakyat Bone menolak seruan beliau. Ini terjadi pada waktu baru saja tiga bulan beliau bertakhta. Atas penolakan ini, beliau melepaskan kedudukannya, lalu pergi ke Pattiro, di negeri mana beliau dahulu sebagai Arung yang memerintah (Arung Pattiro). Rakyat di sini pun menolak dakhwah Islamiah yang disampaikan beliau, kemudian beliau berangkat ke Tallo, Gowa; dan dari sini beliau ke Bantaeng untuk berdiam disitu. Di sinilah beliau mangkat, sehingga beliau disebut Matinroe ri Bantaeng (Rahim,1985:163).

Sedangkan untuk mengembangkan (jumlah) manusia dan membiakkan ternak (pasawe tau, pabbija olok-olok) diperlukan pemeliharaan perilaku yang menunjukkan nilai keteguhan dan ketegasan dalam prinsip yang benar (getteng), dengan bukti perbuatan : tidak mengingkari janji, tidak menghianati ikrar (komitmen) antar-kerajaan, tidak merusak ketetapan terdahulu, tidak mengubah kemufakatan, dan menyelesaikan dengan tuntas bila mengadili perkara (Ibrahim,2003:89).

4. Reso = Usaha ( Acceptable )

Reso : dalam bahasa Indonesia artinya usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan dan keteguhan. Barulah nilai-nilai ini berperanan secara bertepat guna dan berdaya guna apabila didukung oleh nilai usaha. Dengan sendirinya nilai usaha inipun tegak di atas landasan nilai-nilai tersebut. Demikianlah nilai kejujuran yang berperanan di dalam diri To Akkarangeng Datu Soppeng dan La Pagala Nenek Mallomo; nilai kecendekiaan di dalam diri To Suwalle Kajao Laliddong, dan lain-lain; nilai kepatutan dalam diri La Taddampare’ Puang ri Maggalatung, dan lain-lain; dan nilai keteguhan di dalam diri beberapa mangkau’ (Arumpone), sebagaimana yang telah dikemukakan diatas.

Empat hal yang disuruh perhatikan oleh lontara bagi pengusaha atau peniaga : kejujuran karena menimbulkan kepercayaan; pergaulan, karena akan mengembangkan usaha; keilmuan, karena akan memperbaiki pengelolaan dan ketata-laksanaan; dan modal karena inilah yang ikut menggerakkan usaha (Rahim, 1985:165-166).

Nilai budaya Bugis lain yang disebut Reso (kerja keras,usaha) dilihat dari beberapa ungkapan, serta pandangan pakar menyangkut hal ini. Reso dalam bahasa Bugis biasa dipadankan dengan kata kerja atau kerja keras (usaha) dalam bahasa Indonesia.

Dalam kaitan dengan aktivitas manusia Bugis yang terkait dengan Reso sebagai manifestasi budaya dalam kehidupan manusia Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu.

Reso merupakan salah satu dari enam nilai utama kebudayaan Bugis, sekaligus sebagai inti dari semua itu. Manusia Bugis memandang Reso sebagai simbol kehidupan, mungkin nilai utama lainnya bisa diabaikan tetapi kehidupan tetap berlangsung; tetapi meniadakan Reso sama artinya dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Manusia Bugis pada masa lampau dapat dipandang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap waktu dalam kaitan dengan usaha atau kerja keras (Reso). Sebagai indikasi ke arah itu sesuai catatan Lataddampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo (Cucu Arung Palakka) seperti berikut ini : ”Ee kalaki de’ga gare pallaonmu muonro ri sere lalennge? ianaritu riaseng kedo matuna, gau’ temmakketuju, de’kua de’gaga pallaonmu, laoko ri barugae mengkalinga bicara ade iarega laoko ri pasa’e mengkalinga ada pabbalu”, mapatoko sia kalaki! Nasaba’ "resopa namatinulu’ natemmanginngi’ namalomo naletei pammase dewata”.

”Hai anakku! Apakah sudah tak ada lagi pekerjaanmu, lalu kamu bermain-main saja. Itulah yang dinamakan perbuatan hina dan perbuatan yang tak ada gunanya. Jikalau tidak ada pekerjaanmu, pergilah ke balairung mendengar soal adat, ataukah engkau ke pasar mendengar warkah penjual. Rajinlah berusaha, hai anakku, sebab hanya dengan jerih payah dan ketekunan serta ketatbosanan yang dilimpahi rahmat dewata (Rahim,1985:165-168).

Pentingnya generasi muda bekerja keras mencari nafkah sebagai bekal menghadapi masa depan; tetapi kerja keras dalam mencari nafkah saja tidak cukup disamping itu harus mencari ilmu dari orang lain; baik yang berhubungan dengan pengetahuan umum (dibalairung) maupun pengetahuan praktis (di pasar). Dalam berusaha mereka dianjurkan melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan cita-cita dapat diwujudkan (Tang R,2007:3).

Reso (usaha,kerja keras) sebagai roh dalam kehidupan manusia Bugis merupakan manifestasi dari sikap dan perilaku yang terbentuk atas pengaruh kuat dari aspek mental kebudayaannya, yang masih terpelihara dalam bentuk ungkapan. Reso telah membawa sebagian manusia Bugis meraih kehidupan gemilang sepanjang kompetisi yang dilaluinya. Dan sebagian lagi bernasib buruk seiring melemahnya etos kerja mereka, mereka kehilangan identitas kebugisannya sebagai akibat dari pemahaman keliru terhadap makna reso dalam kebudayaan.
Reso adalah sebuah keharusan untuk di jalani, namun rambu-rambu dalam perjalanan itu tidak boleh diabaikan demi menghindari bencana (Tang,R,2007:3-4).

5. Siri’ = Harga Diri (Amour Propre, Exalted)

Siri’ : dalam bahasa Indonesia artinya malu yang merupakan adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah siri selalu menarik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan Bugis. Matthes dalam (Mattulada,1995:61) dalam kamusnya, menjabarkan siri’ itu dengan malu, schande, beschaamd, schroomvalig, verlegen, schaamte dan eergevoel. Diakui beliau, bahwa penjabaran baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Belanda, tidak menangkap maknanya secara tepat benar (Matthes,1872 a : 583).

C.H. Salam basjah dan Sappena Mustaring dalam (Mattulada,1985) memberikan batasan atas kata siri’ dengan memberikan tiga golongan pengertian yaitu :

(1) Siri’ itu sama artinya dengan malu;

(2) Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan;

(3) Siri’ itu sebagai daya pendorong yang juga bisa ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.

Menurut Casutto, siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Demikian pula M. Nazir Said, menetapakan batasannya bahwa siri’ itu adalah perasaan malu ( krengking / beledeging ) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga/famili/verwantengroep, yang dilanggar norma adatnya (Mattulada,1995:62).

Apabila siri’ raja (pemerintah) harus dibentengi oleh rakyat, maka siri’ rakyatpun harus dihormati oleh raja. Satu terhadap lainnya harus saling memelihara dan menghormati untuk mencegah timbulnya perbuatan atau tindakan yang memalukan (Siakkasiriseng). Pengertian-pengertian siri’ yang telah dicoba diangkat dari beberapa ungkapan lontara sendiri, menunjukkan bahwa siri’ tidak lain dari suatu akibat. Bukankah baru timbul perasaan malu (siri’) jika salah satu dari nilai-nilai utama yang dianut oleh kemanusiaan dalam keadaan terlanggar. Seseorang bukan saja timbul perasaan malunya disebabkan dia diperlakukan tidak jujur, dia dipandang enteng tidak diperhitungkan, dia diberi sikap tak patut, tetapi sebaliknya perasaan malu (siri’) inipun harus timbul pada diri orang yang berbuat curang, khianat, zalim; pada diri orang yang merasa senang dalam kebodohan dan kejahilannya; pada diri orang yang tidak berbuat patut; pada diri orang yang tidak teguh memegang adat dan panngadereng, dan pada diri orang yang suka bermalas-malas menyianyiakan waktunya, sampai ditimpa kemiskinan dan kemelaratan sebab kosong dirinya dari nilai semangat usaha (Rahim,1985:174).

Matthes (dalam Mattulada,1995) menjelaskan nilai budaya Bugis lain yaitu Siri’ Menurut paseng ”utettong ri-ade’e, najagainnami siri’ku” (saya taat kepada ade’ hanya karena di jaga siri’ saya). Hakekat Siri’, hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari panngadereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai panngadereng yang amat dijunjung tinggi orang Bugis, yang dapat membawa kepada peristiwa Siri’ dapat disimpulkan pada hal-hal yang tersebut dibawah ini :

Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut soal-soal kepercayaan (keagamaan);

Sangat setia memegang amanat (paseng) atau janji (ulu-ada), yang telah dibuatnya;

Sangat setia kepada persahabatan;

Sangat mudah melibatkan diri kepada persoalan orang lain;

Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (Wari).

Siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat konkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Siri’ masih mempunyai arti yang essensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa bagi orang Bugis ia masih tetap merupakan sesuatu yang lekat kepada martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi atau sebagai warga dari suatu persekutuan. Orang Bugis menghayati Siri’ itu sebagai panggilan yang mendalam dalam diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya, mempunyai arti yang essensial, baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.

De Vreye (1994) dalam Sugiyanto (2001:40) mengarahkan pengembangan strategis kebaikan, diperlukan aktivitas perbaikan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan yang disebut ”service model” yaitu :

Harga Diri = Siri’ (Self-Esteen)

Pelayanan bukan berarti ”tunduk”;

Dinilai dari kepemimpinan-keteladanan;

Menempatkan seseorang menurut keahliannya;

Menetapkan tugas pelayanan yang futuris;

Berpedoman pada kesuksesan hari esok lebih baik dari hari ini.

Dari uraian diatas, maka penulis mengambil unsur-unsur nilai-nilai utama budaya Bugis yang terdiri dari : 1) Lempu’, 2) Acca, 3) Asitinajang, 4) Getteng, 5) Reso, 6) Siri’ sebagai variabel nilai budaya Bugis pada penelitian ini.

TINJAUAN LOKASI PENELITIAN

A.Keadaan Wilayah

1. Keadaan Geografi

Kabupaten Bone terletak di pesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis dengan luas wilayah 4.559 km2 atau 7,30 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan terletak pada posisi 4° 13’ – 50° 6’ Lintang Selatan dan antara 114° 42’ - 120° 30’ Bujur Timur.

2. Batas-batas wilayah

· Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng;

· Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa;

· Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone;

· Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru.

Kabupaten Bone berjarak ±174 Km ke sebelah Timur ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Bergerak ke sebelah Selatan berbatasan dengan ibukota Kabupaten Sinjai yang berjarak 78 Km dan bergerak ke arah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng yang berjarak 70 Km. Kabupaten Bone terdiri dari 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan.
A. Kondisi Kerajaan Bone Di Masa Lalu

Kerajaan Bone didirikan oleh To ManurungE ri Matajang (MatasilompoE) pada ± (1330-1362), kemudian digantikan oleh anaknya La Ummasa Petta Panre BessiE (Petta Mulaiye Panreng) (1362-1424) sebagai Raja Bone ke-II. Putra beliau tidak dapat mewarisi pemerintahan ini karena isterinya bukan dari kalangan bangsawan, beliau mempunyai 2 (dua) orang putra bernama To Suwalle (Kajao Ciung) Tomarilaleng Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka (Kajao Araseng) Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, bertindak sebagai juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Raja Bone ke-III ”La Saliyu Kerampeluwa” yang memerintah selama 72 tahun (1424-1496). Baginda di gantikan putrinya sebagai Raja Bone ke-IV ” I Benrigau Makkaleppie Dammarowa MallajangE ri Cina (1496-1516), di saat yang sama lahirlah seorang pemikir ulung, negarawan (Bone sebagai Negara pada waktu itu) dan cerdik pandai bernama Lamellong To Suwalle Kajao Laliddong tau tongennge ri gau’na.

Menurut Kepala Desa Kajaolaliddong Yusuf, bahwa :

”Lamellong pada masa kecil suka menggembala kerbau, rumah Lamellong terletak di desa Kampubbu sekitar 1 (satu) kilometer dari dusun Laliddong, Lamellong setiap harinya berkeliaran (Makkaja) di Laliddong, sebagai tempat menggembala kerbau setiap hari ia membawa nasi dari rumahnya dan siang harinya makan nasi sebagai bekalnya dengan keong (bahasa bugis = bojo), begitulah setiap harinya ia bekerja tanpa terasa lelah dan sangat sabar. Pada suatu hari Lamellong di cari oleh utusan raja (Suro) menanyakan kepada Lamellong apakah anda mengenal nama Lamellong, kemudian Lamellong berkata ” De’ gaga lame ellonna”. Akhirnya Suro (duta) kerajaan Bone itu mengikuti Lamellong ke rumahnya sehigga mereka bercerita panjang lebar dan hari hampir gelap, Suro tersebut minta izin pamit pada Lamellong, akan tetapi jawab Lamellong ”Muni pi manu’ bunge nappa ki lisu”, akhirnya Suro bermalam dan pada tengah malam tiba-tiba ayamnya Lamellong berbunyi ”Kukkuruyuk”, itu pertanda bahwa menurut suro itu adalah waktunya untuk kembali ke kerajaan tiba saatnya, namun Lamellong katakan bahwa sebenarnya bukan itu yang dimaksud dan akhirnya utusan raja tersebut bermalam hingga beberapa hari lamanya, dan pada suatu saat ayam Lamellong yang sementara mengeram telah menetas dan inilah dinamakan ”Muni manu’ bunge”, barulah Suro itu mengerti apa yang dimaksud oleh Lamellong, kejadian ini merupakan pertanda bahwa Lamellong adalah orang yang cerdas dan cerdik merangkaikan kata-kata dan pada saat yang sama mereka berdua ke Istana Arung Pone” (Wawancara, 25 Agustus 2007).

Lamellong adalah seorang yang tidak diketahui asal usulnya sampai hari ini karena keberadaannya secara misterius, seperti ditegaskan oleh Cucu Arung Laliddong Petta Winru :

”Lamellong adalah sosok yang sangat sakti karena memiliki sifat-sifat kejujuran, kepandaian (kecendekiaan), kepatutan, keteguhan, usaha/etos kerja dan siri’ (harga diri). Ia adalah kekasih Allah (Waliyullah, tau di amasei puang Allah Taala), karena nilai dasar ini dimiliki dan diamalkan Lamellong baik itu terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun kepada Tuhan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa menghilang, mampu berjalan cepat meskipun perjalanannya sangat jauh, peninggalan Lamellong adalah tongkatnya dari pohon ”nyelle” yang di tancapkan pada suatu saat setelah kembali dari tanah Bone (Istana Arung Pone) menuju Laliddong, Lamellong sempat beristirahat karena letih ia berjalan dari istana, setelah beristirahat sejenak memulihkan kondisi tubuhnya, maka dengan sangat refleks Lamellong menancapkan tongkat tersebut ke tanah sambil meninggalkan tempat itu berjalan menuju Kampubbu. Pohon yang telah ditancapkan tumbuh subur sampai saat ini , konon kabarnya menurut rakyat di Desa Kajaolaliddong bahwa pohon ”Nyelle” itu merupakan obat segala penyakit yang dipercaya turun temurun. Bahkan ada yang ingin menebangnya dengan memakai senso dan buldozer tapi sampai saat ini senso dan buldozer tersebut akan macet dengan sendirinya jika niat itu ingin dilaksanakan, Lamellong meninggalkan sesuatu yang sangat berharga dan bertuah, bahkan pohon tersebut dihuni oleh elang putih. Daerah Lamelllong di mulai dari Pajekko, Bakke, padang loang hingga Katumpi. Lamellong mengatakan daerah saya dihuni oleh ”Manu’ Pute Innong kinnong” yang berarti hati yang suci (hati nurani) dan biar sedikit asalkan tanah itu miliknya itulah prinsip Lamellong sebagai orang yang senantiasa memiliki 6 (enam) nilai dasar yakni Lempu, Acca, Asitinajang, Getteng, Reso dan Siri’ (na bolai maneng ri watakkalena). Ini setiap hari diterapkan oleh Lamellong sebagai pabbicara na Mangkau’E” makanya kerajaan Bone memperluas kerajaannya berkat jasanya Lamellong.. (Wawancara, 26 Agustus 2007).

Disisi lain Sekretaris Lembaga Adat Kabupaten Bone Petta Ile mengemukakan :

”Sejak dulu sebelum Islam memang sudah termasuk modal utama bagi suku Bugis Makassar pada khususnya yang dikatakan sebagai pappaseng, pappaseng toriolo (pesan orang tua kita) mengandung sebuah makna, ada yang dikatakan pangaja sudah ada pappaseng, pappaseng sebelum terjadi memang sudah dipesan, sedangkan pappangaja nanti sudah ada kejadian baru di nasehati, jadi berbeda antara pesan dan nasehat. Orang tua kita dulu sebelum terjadi pada masyarakatnya memang sudah dipesankan. Manusia mempunyai adat (panngadereng) sehingga ia menggunakan karya, karsa, dan usahanya sehingga dapat meningkatkan budayanya. Seperti Raja Bone bertanya kepada penasehatnya ”Kajao Laliddong” yaitu ”tega allebbirenna rupa tauE?” , maka di jawab oleh Kajao Laliddong terhadap Arung Pone bahwa allebbirenna rupa tauE adalah panngadereng. Arung Pone bertanya lagi yang mana dikatakan panngadereng Kajao?, maka jawab Kajao hanya 4 (empat) pokok utamanya, tapi setelah agama Islam masuk di Kerajaan Bone menjadi lima yaitu tau missengenngi : Ada (Ade), Bicara (keputusan peradilan), Wari (batas keturunan), Rapang (Hukum-hukum yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang sangat baik) kemudian menjadi panngadereng. Dan setelah agama islam masuk di Kerajaan Bone (1611) yaitu Sara’ (syariat Islam). Disegi pemerintahan bahwa ”dena wedding mapparenta kodei na malampu” De to nulle mapparenta kode na macca, tidak akan berarti lempu’ dan acca apabila pemerintah tidak berani mengambil keputusan.

Jadi pemimpin itu harus berani mengambil resiko, jika tidak Lempu’ dan Accana tidak berarti apa-apa. Jadi harus jujur, magetteng pi (teguh dalam pendirian), ada tongeng (satu kata dengan perbuatan), sipakatau (saling menghormat). Yanaritu awarinengE nasibawai Siri’. Na mo Korupsi manyameng na sedding, pa degaga siri’na. Yang penting dijanji malahan dibohongi (karena tidak ada perasaan malu). Siri’ itu berada pada tiga tempatnya yaitu masiri’ ki ri aleta (diri sendiri), masiri’ ki ri padatta rupa tau (orang lain), masiriki’ na mitau tokki ri dewata seuae (Tuhan Yang Maha Esa).

Harus dipahami makna siri’, jika kita mengeluarkan kata-kata atau perbuatan yang tidak di tepati. Nilai-nilai panngadereng inilah yang harus dilestarikan adalah salah satu jalan yang terbaik. Kalau tidak digali karena nanti bernilai setelah kita amalkan. Yang jelasnya harus diterapkan pada kehidupan sehari-hari barulah nilai-nilai itu berharga.

Ungkapan ”Resopa temmanginngi namalomo naletei pammase dewata” atau ungkapan lain ” Passokku resomu usanre ri totomu utajenngi pammase”.

Toto’E sama dengan makkareso, iyaro resoe sanrei ko di pammase, makanya seluruh pekerjaan kita dipasrahkan kepa Tuhan Yang Maha Esa itulah sandaran kita. Jadi kunci panngadereng tidak akan berarti jika nilai Siri’ (Harga Diri) dan awaraningenna tau mapparentae (keberanian dari pemerintah) dan menjadi pelayan masyarakat (memperhatikan masyarakatnya) sehingga kelima aspek tersebut dapat ditegakkan, jadi begitu tingginya nilai budaya Bugis”.

Lamellong mendampingi Raja Bone ke-VI (1543-1568) ”La Uliyo Bote’E Matinroe ri Itterung” dan Raja Bone ke-VII (1568-1584) ”La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucina”. Nilai dasar yang digunakan pada masa itu diterima oleh Sara’ (syariat) pada waktu masuknya agama islam di tana-Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-XI ” La Tenri Ruwa Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng (1611-1612). Ajaran Islam sejalan dengan nilai dasar budaya Bugis yang diamalkan oleh Kajao Laliddong. Sebagaimana disampaikan oleh seorang cendekiawan, ulama, akademisi tana-Bone, Mujahid adalah sebagai berikut :

” Dalam kaitannya dengannya persoalan agama, disiplin itu dapat dilihat dari nas-nas alqur’an maupun nas-nas hadits disamping secara kontekstual, di dalam pelaksanaan ibadah ritual itu ada pembelajaran yang dimulai dengan nas yang menyebutkan tentang disiplin itu, di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada 6 (enam) hal yang lebih baik dimiliki oleh manusia : yang pertama kedisiplinan terhadap para umara itu adalah pada persoalan keadilan, yang kedua disiplin bagi ulama itu adalah wara’ yang diartikan dengan kehati-hatian, disiplin bagi orang kaya itu kedermawanan (makacua), disiplin bagi orang-orang miskin itu adalah sabar,disiplin bagi pemuda (anak muda) adalah tobat, disiplin bagi wanita itu rasa malu, penekanan-penekanan kedisiplinan disegmen masyarakat sudah di patok seperti diatas. Disiplin itu berkaitan dengan ketepatan waktu, disiplin lebih luas artinya dari ketepatan waktu. Berkaitan dengan pengamalan suatu ibadah (kerja) tidak serampangan tapi harus disiplin. Persoalan tepat waktu harus ada komitmen yang dilandasi dengan kesabaran, ada semacam keteguhan (konsistensi) dalam melaksanakan suatu tugas. Kemudian ketaatan kepada aturan baik secara norma budaya maupun norma agama, ketaatan kepada aturan cukup diperhatikan oleh agama misalnya salah diambil contoh adalah taat kepada hukum, Nabi pernah mengatakan seandainya Fatima putri Muhammad mencuri akan kupotong tangannya, beliau mensabdakan ini karena adanya sekelompok masyarakat Mekkah menghadap kepada Nabi untuk meminta semacam pengampunan terhadap seorang wanita, yang konon wanita itu adalah tokoh di masyarakat itu tapi dia mencuri, sekalipun dia mencuri maka harus dipotong tangannya, begitu ketaatan pada aturan. Inilah merupakan penekanan dari Nabi bahwa rusaknya umat terdahulu karena ketika orang-orang kuatnya mencuri dibiarkan saja, ketika orang-orang lemahnya mencuri itu dikenakan sanksi (aturan itu di jalankan). Kemudian tanggung jawab seseorang menurut agama yaitu tanggung jawab secara vertikal, tanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab secara sosial. Keterkaitan tanggung jawab dengan lingkungan sangat mempengaruhi seseorang dengan masyarakat disekitarnya”. (Wawancara, Tanggal 27 Agustus 2007).

Selanjutnya nilai-nilai dasar dikemukakan oleh Mujahid :

”Lempu’ atau kejujuran sangat di tekankan karena kejujuran membawa kita kepada kebaikan, orang yang tidak jujur dianggap berkhianat, sesungghnya kebaikan itu membawa kita kesurga, sesungguhnya dusta itu membawa kita kepada kerusakan, Kemudian Acca (kepandaian) di dalam alqur’an bahwa Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan, Posisi orang pintar berada pada posisi ketiga setelah Allah, Malaikat kemudian orang pintar. Bahwa benar-benar orang pintar itu sangat di hargai posisinya oleh agama. Kemudian Asitinajang (Kepatutan) dalam hadits yaitu apabila suatu masalah yang diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (patut), maka akan menimbulkan kerusakan, Kemudian Getteng (keteguhan) atau kesabaran yang banyak ayat alqur’an yang berkaitan dengan kesabaran. Misalnya Tuhan minta tolong kepada kita tentang kesabaran dan shalat. Di ayat lain mengatakan siapa yang teguh (Magetteng) bersabar akan memperoleh pertolongan. Seseorang yang berhasil karena keteguhan, dan keteguhan itu menjadi modal emosional (mental) kita dalam melaksanakan suatu kegiatan. Kemudian Reso (Usaha/Etos Kerja) bahwa bekerjalah kalian niscaya Allah beserta Rasulnya menilai kerja kita. Ada seorang pakar mengatakan bahwa kita harus mengikuti pola Tuhan bahwa Tuhan itu tidak pernah tidak sibuk dalam sekejap, dalam setiap hari itu ada saja yang dikerjakan Tuhan. Karena kita di tuntut untuk mengikuti pola Tuhan, maka harus menunjukkan etos kerja, giat bekerja, ada motivasi-motivasi untuk meningkatkan daya kerja kita. Kemudian mengenai Siri’ (Harga Diri) Harga diri ini adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh agama, yaitu ada 5 (lima) faktor yang perlu dijaga : yang pertama ”Agama”, yang kedua ”Jiwa” (nyawa), yang ketiga ”Kehormatan”, yang keempat ”Keturunan”, yang kelima ”Harta”. Harga diri ini menjadi tolok ukur bagi setiap orang sebagai seorang yang mulia, harga diri ini dasarnya adalah ketaqwaan, jadi siapa yang memiliki diri ini kelak akan memiliki ketaqwaan. Jadi nilai-nilai ketaqwaan harus dipelihara karena ini merupakan harga diri kita. Keenam nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi oleh budaya kita” (Wawancara, 27 Agustus 2007).

Nilai-nilai dasar budaya Bugis merupakan falsafah yang sangat cocok diterapkan di Sulawesi Selatan karena pengaruh budaya yang berasal dari masyarakat harus dipahami, di sikapi ( di amalkan pada diri sendiri),

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.Dale Timpe,1988. Performance, Alih Bahasa Sofyan Cikmat, PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia), Jakarta.

Ali A.M,1986. Bone Selayang Pandang,Watampone.

Fachruddin, A.E. dkk. 1986, Pappasenna To Maccae Ri Luwuq Sibawa Kajao Laliqdong Ri Bone. Dep. P dan K. Ujung Pandang.

Gibson,James L,1997,8,Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Binarupa Aksara, Jakarta Barat.

Hadiati,S dan Sinaga A.M,2001. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. LAN-RI,Jakarta.

Ibrahim Anwar,2003. Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, LEPHAS,Makassar.

Joseph W. Eaton, 1986.Pembangunan Lembaga Dan Pembangunan Nasional. UI-Press,Jakarta

Kantor MENPAN,1991,Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja. Jakarta

Koentjaraningrat, 2000, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. PT. Gramedia, Jakarta.

Kombie,A.S,2003,Akar Kenabian Sawerigading,Parasufia,Makassar

La Side, 2006, Arung Palakka Sang Pembebas. Yayasan Baruga Nusantara,Makassar.

Manners, A. Robert Dan Kaplan D,2002, Teori Budaya. Pustaka Pelajar, Jakarta.

Marbun,BN. 2006. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Mattulada,1995. Latoa Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. LEPHAS,Ujung Pandang.

Mattulada,1997. Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Makassar.

Muluk M.R.K,2006. Desenralisasi dan Pemerintahan Daerah. Bayumedia Publishing, Malang.

Ndraha Taliziduhu ,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1. Rineka Cipta Jakarta.

Ndraha Taliziduhu,2003, Kibernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 2. Rineka Cipta Jakarta.

Ndraha Taliziduhu,2003, Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.

Ndraha Taliziduhu, 2005, Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta,Jakarta.

Pamudji,S.1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta.

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2007. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Edisi 4. Makassar.

Rahim, A. Rahman,1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. LEPHAS, Ujung Pandang.

Sedarmayanti,M.2001,Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung.

Siagian, Sondang P,2003,Teori & Praktek Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta.

Sianipar J.P.G dan Entang H.M.2001,Teknik-Teknik Analisis Manajemen. LAN RI, Jakarta.

Suganda Daan, dkk. 2001 . Kepemimpinan Dalam Keberagaman Budaya,LAN-RI,Jakarta.

Sugiyanto dan Lukman,S,2001. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN-RI, Jakarta.

Tika Pabundu.M. 2006.Budaya Organisasi Dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, PT. Bumi Aksara,Jakarta.

Utomo Warsito,2006. Administrasi Publik Baru Indonesia. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

B. Metodologi Penelitian

Effendi Sofian,Singarimbun Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.

Nazir Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta

Gulo. W. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. PT. Gramedia, Jakarta.

Moleong, J. Lexy.1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya,Bandung.

Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta CV. Bandung.

Riduwan. 2005. Metode & Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta CV. Bandung.

Santoso,S.2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.

Santoso,S.2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15, PT. Elex Media Komputindo,Jakarta.

Sudjana.2003. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Arsito,Bandung.

Sugiyono.2006. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta,Bandung.

Tiro Arif, M. 2002.Statistika Distribusi Bebas. Andira Publisher, Makassar.

C. Makalah/Karya Ilmiah/Tesis

Arifin Indar,2007. ”Birokrasi Pemerintahan Dan Perubahan Sosial Politik Di Kabupaten Wajo” Disertasi, (Tidak Dipublikasikan). Makassar, Universitas Hasanuddin.

Damayanthi,D.2005. Pengaruh Kompensasi, Pendidikan, Dan Senioritas Terhadap Produktivitas Kerja Di Lingkungan Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Kota Surakarta,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.

Indra,A.D.2005. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Kredit Perorangan dan Kelompok:Studi Kasus Pada PD BPR Bank Pasar Kabupaten Karanganyar,Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.

Mokhram.2003. Pengaruh Nilai-Nilai Budaya Lokal Terhadap Kinerja Aparatur Pemerintah Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau. Tesis. Unhas. Makassar.

Prayitno Yudo,W.2004. Budaya Kerja , Kemampuan dan Komitmen Pegawai Negeri Sipil Di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Tesis. Universitas Airlangga, Surabaya

Tang Rapi M.2007. Reso Sebagai Roh Kehidupan Manusia, Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan 1 Tahun 2007. Hotel Clarion, 22-25 Juli 2007,Makassar.

Thaha Rasyid,1996. Hubungan Antara Kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Dengan Kebijaksanaan Di Sulawesi Selatan Periode 1992-1997.Tesis. Unhas,Makassar.

D. Dokumen

Undang – Undang Otonomi Daerah ( UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Cemerlang. Jakarta.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1983 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum.

E. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil,2007,Wacana Intelektual,

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

F. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah (PERDA) NOMOR 16 TAHUN 2006 Tentang Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone.

G. Kamus

Kamisa,1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika, Surabaya.

Shadly H dan Echols M. John,1989, An Indonesian-English Dictionary. PT. Gramedia, Jakarta.

Yacob L dan Dahlan M. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Taget Press,Surabaya.

H. Http

http: Kareer.com

http://www.republika.co.id

http://www.siutao.com

“http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_kejujuran”

@nalistat.com

0 comments share

Blog Entry BAHASA BUGIS SEBAGAI BAHASA ETNIK Apr 7, '08 2:24 PM
for everyone
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara.
0 comments share

Blog Entry ARUNG PALAKKA Apr 7, '08 2:15 PM
for everyone
ARUNG PALAKKA PETTA MALAMPEE GEMME’NA

Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.

Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)

2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)

3.Latenri Girang (putra)

4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)

5.Da Emba (putri), dan

6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :

1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan

2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.

Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua

Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;

2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);

3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;

4. Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.

Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

Situasi Tahun 1646

Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.

Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.

Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.

Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.

Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.

Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.

Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.

Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.

Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.

Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.

Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.

Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.

Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).

Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.

Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.

Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.

Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.

Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.

Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)

Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.

Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.

Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.

Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.

Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.

Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.

Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.
Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri. (Sumber : Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan samapai tahun 1905). (Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.)
0 comments share

Blog Entry MASSURE Apr 7, '08 2:03 PM
for everyone


AWE ...........................................
TADDAMPENGENGNGA MARAJA IYE TABE ......................TABE ............................TABE TADDAMPENGENGNGA RILANGKANA TUDANGETTA RITUDANGE JAJARETTA KULAKKE-LAKKEKANGNGI PASENG RAMPE SEUWAE RIWANUANNA BONE TANIA UPOMABUSUNG KUSORONG RI PALELIMA SALAMA SUMANGE BENNANG PATI TORILOLANGENG TALINGKENNA LABELA MAKKEDAI LAMENGRIRANA ENGKA GARE ANA PATTOLA ANAKKARUNG MPULAWENG PALILINA BONE RIRAMPE RILALENG LIPU LETTU LAO RI SALIWENG PANUWA NAPOUNGA - UNGA TIMU

AWE ........................................... A. Muskamal Bare

IYA BELA ANA PATTOLA NAUJU SIA PAKKITA ANA SIPAJAJIANG NAGILING SIAMELLERI SIPAJAJIANG GAU MASALA MASALA RIPANGKAUKENG MAKKITA RITAJANG MASSEWAE NASALEORI APPASE SIMULAJAJI MUTOKKONG RIENGKAMU MAKKITA TAJANG ASSEUWANNA DEWATAE EPAJAJIAYANGNGENGNGI SEUWA-SEUWAE PURATO MADDIONRO KURAMAI SUMANGEMU NASABA PAKKEGELLI DEWATAE TUDANG SARA NA PANGADERENG PATTARO ADE MAPPURA ONRO NARILADUNG NA SIA

AWE KASI ............................... AWE ...........................................

SOKKUNI SIA MINASATTA MAPPURA ONRONI ASSAMATURUSETTA PURA TOTONI MINASAE LIMBANGNI SIA RI MAJE LETENI RI PAMMASSEARENG NAWA-NAWAI TODDONA TODDO PULI TELLARANA

AWE ...........................................

SAGALA RITI MENNANG AJA NAOMPO WARAKKARANG WIJA TENGWIJA NALALENGI PAMALENA PURA MADDIONRONI TOTOE TOTO POLE RIPAMMASE SEUWWAE ITAWA PUANG DEWATA RI LIPU KASIWIANGKU KUMADIMENG RIPAMMASE SALIPUNA TEMMADINGING

AWE ...........................................

SEDDI PALE BULO-BULO NAPOLEI SIPADDUWA NAGILING SIAMELLERI

SIPAJAJIANG GAU MASALA MASALA RIPANGKAUKENG NARIYASENNA MALAWENG

AWE ...........................................

TENNA ELORI DEWATAE NAPOSIRI TO MAEGAE NAMAGELLI ANANGE NAIYYA TAU MALAWENGNGE SAPA TANA TULA PATTAUNGENG TEPPARANRU RAUKAJU TEPPALORONGI WELARENG MABELAI GARE BOSIE TEPPATUWO TANENG-TANENG TEPPAPOLEI WISESA TEPPAJAJI NAWA-NAWA
AWE ...........................................
RIAPPASENGENG ANA TENCAJI AJA LALO NAITAI BATI TENRITANENG TAUSENNA AJA NALLENGNGE WIJANNA NASABA PAKKEGELLI DEWATAE PATTARO ADE MAPPURA ONRO
0 comments share

Blog Entry BONE DALAM RIWAYAT Apr 7, '08 2:01 PM
for everyone

Bone dahulu disebut TANAH BONE. Berdasarkan LONTARAK bahwa nama asli Bone adalah PASIR, dalam bahasa bugis dinamakan Bone adalah KESSI (pasir). Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan BONE. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone tepatnya di Kelurahan Bukaka. Kabupaten Bone adalah Suatu Kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu sejak adanya ManurungngE Ri Matajang pada awal abad XIV atau pada tahun 1330. ManurungngE Ri Matajang bergelar MATA SILOMPO’E sebagai Raja Bone Pertama memerintah pada Tahun 1330 – 1365. Selanjutnya digantikan Turunannya secara turun temurun hingga berakhir Kepada ANDI PABBENTENG sebagai Raja Bone ke– 33 Diantara ke – 33 Orang Raja yang telah memerintah sebagai Raja Bone dengan gelar MANGKAU, terdapat 7 (tujuh) orang Wanita.

Struktur Pemerintahan Kerajaan Bone dahulu terdiri dari :

• ARUNG PONE (Raja Bone) bergelar MANGKAU

• MAKKEDANGNGE TANAH ( Bertugas dalam bidang hubungan/urusan dengan kerajaan lain (Menteri Luar Negeri)

• TOMARILALENG (Bertugas dalam Bidang urusan dalam daerah Kerajaan lain (Meteri dalam Negeri)

• ADE PITU (Hadat Tujuh)

Terdiri dari Tujuh orang, merupakan Pembantu Utama/Pemimpin Pemerintahan di Kerajaan Bone, masing-masing :

1. ARUNG UJUNG

Bertugas mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone.

2. ARUNG PONCENG

Bertugas mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintaha.

3. ARUNG T A’

Bertugas mengepalai Urusan Pendidikan, dan mengetuai Urusan perkara Sipil.

4. ARUNG TIBOJONG

Bertugas mengepalai Urusan perkara/Pengadilan Landschap/ badat besar dan mengawasi urusan perkara Pengadilan Distrik/ badat kecil.

5. ARUNG TANETE RIATTANG

Bertugas mengepalai memegang Kas Kerajaan, mengatur Pajak dan Pengawasan Keuangan.

6. ARUNG TANETE RIAWANG

Bertugas mengepalai Pekerjaan Negeri (Landschap Werken-LW) Pajak Jalan dan Pengawas Opzichter.

7. ARUNG MACEGE

Bertugas mengepalai Urusan Pemerintahan Umum dan Perekonomian.

•PONGGAWA (Panglima Perang )Bertugas dibidang Pertahanan Kerajaan Bone dengan membawahi 3 (tiga) perangkat masing-masing :

1. ANREGURU ANAKARUNG

Bertugas mengkoordinir para anak Bangsawan berjumlah 40 (Empat puluh) orang bertugas sebagai pasukan elit Kerajaan.

2. PANGULU JOA

Bertugas mengkoordinir pasukan dari rakyat Tana Bone yang disebut Passiuno artinya : pasukan siap tempur dimedan perang setiap saat; rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya Kerajaan Bone dari gangguan Kerajaan lain.

3. DULUNG (Panglima Daerah)

Bertugas mengkoordinir daerah Kerajaan bawahan, di Kerajaan Bone terdapat 2 (dua) Dulung (Panglima Daerah) yakni Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara dan Dulungna Awang Tangka dari Bone Selatan.

•JENNANG (Pengawas)

Berfungi mengawasi para Petugas yang menangani bidang pengawasan baik dalam lingkungan istana, maupun dengan daerah/ kerajaan bawahan.

•KADHI (Ulama) Perangkatnya terdiri dari Imam, Khatib, Bilal, dan lain-lain, bertugas sebagai Penghulu Syara dalam Bidang Agama Islam, Keberadaan Kadhi (Ulama) di Kerajaan Bone ini senantiasa bekerja sama demi kemaslahatan rakyat, bahkan Raja Bone(Mangkau) meminta Fatwa kepada Kadhi khususnya menyangkut hukum islam.

•BISSU ( Waria) Bertugas merawat benda – benda Kerajaan. Disamping melaksanakan pengobatan tradisional, juga bertugas dalam kepercayaan kepada Dewata SeuuwaE. Setelah masuknya Agama Islam di Kerajaan Bone, kedudukan Bissu di non aktifkan. Waktu bergulir terus maka pada tahun 1905 Kerajaan Bone di kuasai oleh Penjajah Belanda. Kemudian atas persetujuan Dewan Ade PituE Ri Bone nama LALENG BATA sebagai Ibu Kota Kerajaan Bone diganti namanya menjadi WATAMPONE sampai sekarang. Pada tanggal 2 Desember 1905 oleh Pemerintah Belanda di Jakarta menetapkan bahwa adapun pengertian TELLUMPOCCOE ( Tri Aliansi) di Sulawesi Selatan ialah : Bone, Wajo dan Soppeng. Disatukan dalam satu sistem pemerintahan yang dinamakan AFDELING. Dimana Afdeling Bone dibagi menjadi 3 (tiga) bagian dengan nama Onder Afdeling masing-masing :

1. Onder Afdeling Bone Utara Ibu Kotanya Pompanua, Ibu kota Afdeling ini ditempati oleh Asisten Residen.

2. Onder Afdeling Bone Tengah Ibu Kotanya Watampone diperintah oleh Controler.

3. Onder Afdeling Bone Selatan Ibu kotanya Mare diperintah Oleh Aspiran Controler.

Pada tahun 1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh Sekutu,Jepang berusaha mengajak rakyat untuk membela Tanah Airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah lainnya terbentuk oleh suatu Wadah untuk menghimpun rakyat untuk mencapai Kemerdekaan, maka di Tana Bone dibentuk suatu Organisasi yang dikenal dengan nama SAUDARA kepanjangan dari SUMBER DARAH RAKYAT. SAUDARA ini dibentuk adalah merupakan persiapan Badan persetujuan yang sesungguhnya berjuang untuk mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia. Kabupaten Bone setelah lepas dari Pemerintahan Kerajaan, sampai saat ini tercatat 13 (tiga belas) Kepala Daerah di beri kepercayaan untuk mengembang amanah pemerintahan di Kabupaten Bone masing-masing :

1. Andi Pangeran Petta Rani

Kepala Afdeling/ Kepala Daerah Tahun 1951 sampai dengan tanggal 19 Maret 1955.

2. Ma’Mun Daeng Mattiro

Kepala Daerah tanggal 19 Maret 1955 sampai dengan 21 Desember 1957.

3. H.Andi Mappanyukki

Kepala Daerah/ Raja Bone tanggal 21 Desember 1957 sampai dengan 21 1960.

4. Kol. H.Andi Suradi

Kepala Daerah tanggal 21 M e i l960 sampai dengan 01 Agustus 1966.

5. Andi Baso Amir

Kapala Daerah Tanggal 02 Maret 1967 sampai dengan 18 Agustus 1970.

6. Kol. H. Suaib

Bupati Kepala Daerah tanggal 18 – 08 - 1970 sampai dengan 13 Juli 1977.

7. Kol.H.P.B.Harahap

Bupati Kepala Daerah tanggal 13 Juli 1977 sampai dengan 22 Pebruari 1982.

8. Kol.H.A.Made Alie

PGS Bupati Kepala Daerah tanggal 22 Pebruari 1982 sampai dengan 6 April 1982 sampai dengan 28 Maret 1983.

9. Kol.H.Andi Syamsul Alam

Bupati Kepala Daerah tanggal 28 Maret 1983 sampai dengan 06 April 1988.

10. Kol.H.Andi Sjamsul Alam

Bupati Kepala Daerah tanggal 06 April 1988 sampai dengan 17 April l993.

11. Kol. H.Andi Amir

Bupati Kepala Daerah tanggal 17 April 1993 Sampai 2003

12. H. A. Muh. Idris Galigo,SH

Bupati Kepala Daerah tahun 2003 Sampai Sekarang (sebagai catatan bahwa pemilihan calon Bupati dan wakil Bupati untuk periode 2008-2013 akan dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2008)

GAMBARAN UMUM KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BONE

A.SEJARAH BERDIRINYA KABUPATEN BONE

Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA Dengan datangnya TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) diberi gelar MATA SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG , sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone

berbunyi sebagai berikut ;

“ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG

KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO

KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE.

MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG

TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “

Terjemahan bebas ;

“ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU

KAMI MENURUT KEMAUAN DAN

KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU

MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT

DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK

ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK

MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,

ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR

DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘

Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara

yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat

yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya

itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( Norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya ;

SIPAKATAU artinya : Saling memanusiakan , menghormati / menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku.

SIPAKALEBBI artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat

SIPAKAINGE artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka system pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis dimana MenurungE sebagai Ketuanya Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI BETTUNG pada akhir abad ke XVI.

Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone ke X LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Pada masa itu pula sebuatan Matoa Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MaTOA MENGALAMI PULA PERUBAHAN MENJADI Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.

Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI KABUPATEN BONE dan diperingati setiap tahun .

B. LETAK GEOGRAFI DAN POTENSI WILAYAH

Daerah Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, secara Geografis letaknya sangat strategis karena adalah pintu gerbang pantai timur Sulawesi Selatan yang merupakan pantai Barat Teluk Bone memiliki garis pantai yang cukup panjang membujur dari Utara ke Selatan menelusuri Teluk Bone tepatnya 174 Kilometer sebelah Timur Kota Makassar, luas wilayah Kabupaten Bone 4,556 KM Bujur Sangkar atau sekitar 7,3 persen dari luas Propinsi Sulawesi Selatan, didukung 27 Kecamatan, 335 Desa dan 39 Kelurahan, dengan jumlah penduduk 648,361 Jiwa.

Kabupaten Bone berbatasan dengan daerah-daerah sebagai berikut ;

- Sebelah Utara Kabupaten Wajo

- Sebelah Selatan Kabupaten Sinjai

- Sebelah Barat Kabupaten Soppeng, Maros, Pangkep dan Barru

- Sebelah Timur adalah Teluk Bone yg menghubungkan Propinsi SulawesiTenggara

Untuk jelasnya 27 Kecamatan di Kabupaten Bone dicantumkan sebagai berikut ;

1. Kecamatan Tanete Riattang

2. Kecamatan Tanete Riattang Barat

3. Kecamatan Tanete Riattang Timur

4. Kecamatan Palakka

5. Kecamatan Awangpone

6. Kecamatan SibuluE

7. Kecamatan Barebbo

8. Kecamatan Ponre

9. Kecamatan Cina

10. Kecamatan Mare

11. Kecamatan Tonra

12. Kecamatan Salomekko

13. Kecamatan Patimpeng

14. Kecamatan Kajuara

15. Kecamatan Kahu

16. Kecamatan Bontocani

17. Kecamatan Libureng

18. Kecamatan Lappariaja

19. Kecamatan Bengo

20. Kecamatan Lamuru

21. Kecamatan Tellu LimpoE

22. Kecamatan Ulaweng

23. Kecamatan Amali

24. Kecamatan Ajangale

25. Kecamatan Dua BoccoE

26. Kecamatan Tellu SiattingE

27. Kecamatan Cenrana

C. TOPOGRAFI DAN PEMANFAATAN LAHAN

Kalau kita amati Kabupaten Bone termasuk daerah tiga demensi yaitu ; Pantai, Daratan dan Pegunungan, luas sawah sebagai lahan pertanian adalah 455.600 Ha, sehingga Kabupaten Bone ditetapkan sebagai daerah penyangga beras untuk Propinsi Sulawesi

Selatan yang biasa dikenal dengan istilah BOSOWA SIPILU singkatan dari Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu, begitu pula daerah pantainya sangat panjang membujur dari Utara ke Selatan yang menyusuri Teluk Bone dari 27 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bone, 9 diantaranya adalah masuk daerah pantai seperti Kecamatan Cenrana, Tellu SiantingE, Awangpone, Tanette Riattang Timur, SibuluE, Mare, Tonra, Salomekko dan Kajuara, dengan demikian sumber mata pencaharian penduduk Kabupaten Bone sebagaian besar adalah Petani dan Nelayan.

Pemanfaatan lahan ;

- Sawah : 455.600 Ha

- Kebun / Tegalan : 55.052 Ha

- Hutan : 162.995 Ha

- Tambak : 1.450 Ha

D. ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BONE DIERA OTODA

Otonomi daerah yang sebagaimana digariskan oleh Undang – Undang No. 22 Tahun
1999 yang secara efektif diberlakukan pada 1 Januari 2001, memang akan menyita berbagai pemikiran bagi pemerintah ditingkat Kabupaten Karena dalam pelaksanaannya memerlukan transportasi para digmatik terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dari pemikiran ini pemerintah Kabupaten Bone berupaya merumuskan langkah-langkah yang strategis serta berbagai kebijakan untuk menjawab tuntutan yang sifatnya mendesak seperti peningkatan Sumber Daya Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Potensi Bone merupakan salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki peranan yang penting dalam perdagangan Barang dan jasa dikawasan Timur Indonesia, apalagi Kabupaten yang berpenduduk 648.361 Jiwa memiliki Sumber Daya Alam disektor pertambangan misalnya bahan industry atau bangunan, emas, tembaga, perak, batubara dan pasir kuarsa. Seluruhnya dapat dieksplorasi dan eksploitasi, namun hal ini akan menjadi peluang emas bagi masyarakat Bone dalam peningkatan Kesejahteraan dimasa yang akan dating dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sedikitnya hal ini akan menjadi penunjang utama peningkatan pembangunan….. Insya Allah.
0 comments share

Blog Entry ENSIKLOPEDIA BAHASA BUGIS BONE Apr 7, '08 6:58 AM
for everyone







A

Aga : Apa

Ambo’ : Bapak, ayah

Ana’ : Anak

Aja’ : Jangan

Ada : Kata

Ala : Ambil

Ale : Diri sendiri

Aseng : Nama

Aru : Rumput

Arung : Bangsawan, Ningrat

Anri : Adik

Arua : Delapan

Anre : Makanan

Andi : Saudara muda/adik/bangsawan

Ase : Padi

Asera : sembilan

Ahera : Akhirat

Aha’ : Ahad/minggu

Awwah : Aduh

Aje : Kaki

Aju : Kayu

Angkalung : Bantal

Anjong : Terbang

Ancuwari : Kalamayer, kaki seribu

Awo : Bambu

Api : Api

Acca : Ilmu

Ane : Anai, rayap

Ata : Budak

Ampa’ : Petik/memetik dawai

Assareng : Acuan membuat songkok recca

Abala : Celaka/sial

Anynyarang : Kuda

Ampi : Jaga

Asu : Anjing

Aju : Kayu

Alau : Timur

Ati : Hati

Akka : Angkat

Amaure : Paman/Tante/Bibi

Aliri : Tiang rumah

B

Baja : Besok

Bale : Ikan

Bojo : Siput

Baje : Bajik

Bola : Rumah

Batu : Batu

Baine : Isteri

Bunre : Alat Penangkap ikan

Beppa : Kue

Boro : Bengkak

Botting : Kawin duduk pelaminan

Bangi : Pipi

Bulu : Gunung, rambut halus

Bembe’ : Kambing

Bembala : Domba

Bura : Batang pisang

Bukkang : Kepiting

Bone : Nama Kabupaten

BajoE : Nama tempat

Bombang : Ombak

Bokang : Elang

Bare’ : Beras

Balipeng : Kelabang

Bekku : Tekukur

Basi : Cendawan, jamur oncom

Bendi : Dokar, andong

Burasa : Buras

Benrang : Parit, Got

Bakkaweng : Atap rumah

Belo : Hias

Banynya : Angsa

Benynya : Animo, antusias

Bosi : Hujan

Boco’ : Kelambu

Bitara : Langit

C

Cicca’ : Cecak

Capio : Pet

Cakkong : Tengkuk

Ceddi : Satu

Ciddi’ : Jijik

Colo : Korek

Calabai : Laki-laki bertingkah seperti wanita

Calalai : Perempuan bertingkah seperti laki-laki

Cappe : Ikan Patek

Cempa : Asam

Capio : Pet

Camming : Cermin

Cemme : Mandi

Cenning : Manis, rasa gula

Calleda : Genit

Cindolo : Cendol

Canggoreng : Kacang tanah

Cambang : Ikan sepat, bulu pelipis

Coddo : Tusuk

Canring : Pacar

Cangkiri : Cangkir

Cigaro : Kerongkongan

Cukkuru : Cukur

Cinampe : Sebentar

Cili : Bolos, intip

Cule : Main

Cera’ : Nazar

Cinra : Gadis Tua

Cuku’ : Tunduk

Cora : Warna

D

Degaga : Tidak ada

Dodong : Lemah, lambat

Dongo’ : Bodoh, dungu

Dongi : Jenis burung Pemakan padi

Doja : Khatib

Dange : Nama Kue

Dare : Kebun

De’nre’ : Tadi

Deceng : Baik

Duri : Onak

Duwa : Dua

Dendang : Lagu, nyanyian

Dacculi : Telinga

Darame : Jerami padi

E

Elong : Nyanyian, lagu

Elo : Mau, akan

Engka : ada

Enre’ : Naik

Era : Ajak

Ellong : Leher

Ebbu : Bikin, buat

Erung : Uterus

Eppa : Empat

Enneng : Enam

Esso : Hari

Essang : Pikul

G

Golo : Bola

Gellang : Aluminium

Galung : Sawah

Gantolle : Capung

Golla : Gula

Gere’ : Sembelih

Gora : Berteriak

Gemme : Rambut

Genne : Pas, cukup

Garegge : Gergaji

Guru : Guru

Gatteng : Tarik

H

Handu’ : Handuk

I

Indo : Ibu

Idi : Kita

Isi : Gigi

Inreng : Utang

Iso : Isap

Iko : Kamu

Iti’ : Itik, bebek

Iyya : Saya, aku

Iyyanae : Inilah

Iga : Siapa

Inge : Hidung

Itai : Lihatlah

Iwe : Bibir

J

Jokka : jalan

Jambang : Berak, buang air besar

Janci : Janji

Jari : Jemari

Juku : daging

Julekka : Langkah kaki

Jaru : Acak

Jaguru : Tinju, Kepalan Tangan

Jangeng : Gila

Joli : Mencret

Jago : Kuat, berani

Janggo : Jenggot

Jori : Garis

Juling : Juling

Jama : Kerja

Jama’ : Jabat tangan

Jonjong : Gesah, Tergesah

K

Kalapung : Kura-kura

Kareba : Kabar

Kadera : Kursi

Keteng : Bulan bercahaya

Komba : Betina

Konteng : Juara kunci

Konja’ : Jelek

Kantong : Kantung, wadah, Saku Baju

Kedo : Goyang

Kaluku : Kelapa

Kanuku : Kuku

Kalepa : Ketiak

Kaliki : Pepaya

Kasiasi : Melarat

Kajompi : Kacang Panjang

Kajao : Nenek yang sudah tua

L

Lolo : Bergerak

Lanro : Pukul

Lame : Ubi, ketela pohon

Lajo : Layu

Lambace : Tomat

Ladang : Lombok

Labbu : Tepung

Lecce’ : Pindah

Luppe : Lompat

Lejja : Injak

Lampe : Panjang

Lao : Pergi, berangkat

Lemo : Jeruk

Leba : Mendarat

Lopi : Perahu

Lojeng : baki, nampan

Lojo : Lintah

Lorong : Molor

Lari : Lari

Lipa : Sarung

Lise : Isi, muatan

Lessi : Vagina

Laso : Penis

Linro : Dahi

Lila : Lidah

Lumpang : Terbalik

Leppang : Singgah, berhenti

Lebeng : Meluap

Linro : Dahi

Lima : Lima

Lali : Jengger

Lolli : Menggeliat

Loseng : Merayap

Lanro : Tempa, menempa

Lanjong : Tinggi

Lenrong : Belut

Luppe : Lompat

Langgo : Teman, kawan

M

Manre’ : Makan

Menre’ : Naik

Masse : Erat

Manu : Ayam

Muttama’ : Masuk

Maulu’ : Pikun

Monro’ : Tinggal

Malunra’ : Gurih

Macenning : Manis

Magello : Bagus

Mabela : Jauh

Maloang : Luas, lapang

Malebba’ : Lebar

Maccule : Bermain

Macai : Marah

Majjulekka’ : Melangkahi

Mattekka : Menyeberang

Magguru : Belajar

Maggaru : Mengacau, mengusik

Mangaru : Marah, geram

Mangolo : Menghadap

Mangule : Menggotong

Majjaguru : Meninju

Mataesso : Matahari

Mappangaja : Menasihati

Maradde : Menetap

Marota : Kotor

Mapaccing : Bersih

Macinna : Rasa ingin

Maccoddo : Menusuk

Maccolo : Mencair

Mappile : Memilih

Matinro : Tertidur

Manasu : Sudah matang

Mannasu : Memasak

Mawari : Basi

Moto : Bangun

Munri : Belakang

Mamuare : Semoga

Mallua : Menyala

Miccu : Ludah

Meong : Kucing

Mettu : Kentut

Makkenru : Bersetubuh

Makkunrai : Wanita

Massempe : Menendang

Maddoja : Begadang

Mannoko : Marah-marah

N

Nanre : Nasi

Nalai : Diambil

Namo : Nyamuk

Nennu : Tarik ulur, ingat

Nonno : Reda serta merta, menurun

Nennia : Juga

Naekiya : Akan tetapi

Nasaba : Karena, sebab

Ngingngi : Gusi

Nyameng : Enak,

O

Onde : Onde-onde, nama kue

Ola : Tempuh

Obbi : Panggil

Onrong : Tempat

Okko : Gigit

Oja : Kegila-gilaan

Onri : Belakangan

Orowane : Pria

P

Pura : Sudah

Pagero : Nyiru

Pattapi : Tampi

Paggalung : Petani

Panasa : Nangka

Pandang : Nenas

Palese : Toples

Pinra : Ubah

Punna : Punya

Pengnge : Ketan

Penne : Piring

Penno : Penuh

Pere : Ayun

Paja : Berhenti

Pijja : Dendeng

Pitu : Tujuh

Pitte : Benang

Pejje : garam

Peddi : Sakit

Pella : Panas

Pedde : Padam

Posi : Pusar

Ponco’ : Pendek

Palecce : Memindahkan

Pajokka : Tukang jalan

Penre’ : Menaikkan

Pongke’ : Pinggang

Poppa : Paha

R

Renreng : Tali, tambang

Ranreng : Menetap

Ranjang : Ranjang

Rante : Rantai

Rampe : Sebut, menyebut

Rekko : Bila, kalau, jika

Rakkapeng : Ani-ani

Riawang : Utara

Riaja : Barat

Riattang : Selatan

Relle’ : Jagung

S

Sappa : Cari

Sappo : Pagar

Sappo’ : sepupu

Saro : Untung

Sanre’ : Sandar

Sandala : Sandal

Sanggara : Pisang Goreng

Sore : Kandas

Sero : Timba

Sonra : Miring

Sompe : Layar

Salo : Sungai

Solang : Rusak

Sulle : Ganti

Salipi : Ikat pinggang

Sugi : Kaya

Sampo : Tutup

Sanra : Gadai

Seddi : Satu

Sempe’ : Tendang

Sokkang : Dorong, tolak

Sulara : Celana

Sokko : Beras ketan masak

Songko’ : Topi

Sangadi : Lusa

Soddi : Bakal gula merah

Sanru’ : Sendok nasi

Sanro : Dukun

Sinru : Sendok

Suro : Duta

Sokku : sempurna

Singkeru : Simpul

Sikku : Sikut

Sippo : Gigi Tanggal

Sitonra : Sepaham, sependapat

T

Tau : Orang

Tabbe : Banyak

Tuo : Hidup

Tudang : Duduk

Tumpe : Topang, dukung

Tuppang : Kodok

Tappareng : Danau

Tedong : Kerbau

Tanre : Tinggi

Tana : Tanah

Tanro : Sumpah

Teddu : Bangunkan dari tidur

Tettong : Berdiri

Tanrang : Tanda

Tado : Lasso

Teme : Kencing, pipis

Teddung : Payung

Tellu : Tiga

Tappere : Tikar

Taro : Simpan

Tasi’ : Laut,

Tasi : Benang Plastik

Tanru’ : Tanduk

Tabbe/Teddeng : Hilang

Te’de’ : Dinding bambu

Tadde : Keras

Tinro : Tidur

Timu : Mulut

Tengnga : Tengah

U

Ulle : Bisa, mampu, dapat

Ula : Ular

Ulaweng : Emas

Unrai : Benang

Unci : Nungging

Uri : Pantat, bokong

Ure : Urat

Uli : Kulit

Ujang : Kertas

Utti : Pisang

Ulu : Kepala

Uwae : Air

Uttu : Lutut

Uni : Suara, bunyi

Uleng : Bulan

Uleng Mattappa : Bulan Purnama

Unga : Bunga

W

Wari : Pangadereng

Wanua : Kampung

Wenni : Malam

Watang : Tubuh, pokok

Ware : Beras

Were : Nasib, peruntungan

Winru : Buatan

Waju : Baju

Witi : Betis

Welua : Gemme’

Wetteng : Gandum

Wara : Bara Api

Catatan :

Huruf awal yang tidak terdapat dalam bahasa Bugis, yakni : F, V, X, Q, Z
www.telukbone.org (Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)
0 comments share

Blog Entry BEDAH LAGU ONGKONA BONE Apr 7, '08 6:51 AM
for everyone

Pendahuluan

Lagu dengan judul Ongkona Bone tersusun dari syair-syair / kalimat yang menggunakan bahasa Lontara atau bahasa Bugis. Dan telah disepakati sebagai lagu wajib bagi masyarakat Kabupaten Bone baik di tingkat sekolah maupun umum.

Lagu tersebut biasanya dinyayikan dalam kegiatan seremonial Hari Jadi Bone atau pada kegiatan lomba yang diselenggarakan di sekolah-sekolah baik bentuk solo maupun paduan suara. Lagu Ongkona Bone sampai saat ini belum diketahui dengan pasti kapan diciptakan dan siapa penciptanya. Namun apabila kita membedah bahasanya serta menghubungkan dengan sejarah , maka kemungkinan besar lagu tersebut tercipta sekitar tahun 1905 yaitu pada saat terjadinya perang antara Kerajaan Bone melawan pasukan Belanda. Ribuan laskar kerajaan Bone yang gugur dalam pertempuran itu. Di sepanjang pantai Teluk Bone diserang habis-habisan oleh tentara Belanda. Karena persenjataan yang tidak seimbang, maka tentara Belanda berhasil menguasai kerajaan Bone. Jatuhnya Kerajaan Bone inilah yang dikenal Peristiwa Rumpa’na Bone 1905.

Lagu Ongkona Arungpone atau lebih dikenal Ongkona Bone seperti telah dipaparkan di atas, terjalin dari syair-syair yang mengandung makna, nilai, dan nasihat yang sangat dalam. Dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Makna dan Bedah Syair

Lagu Ongkona Bone mengisahkan seorang isteri melepas sang suami berangkat ke medan juang untuk mempertahankan Tana Bone dari serangan armada laut Belanda. Sang suami sebagai laskar Kerajaan Bone tentu berkewajiban mempertahankan Tana Bone sejengkal demi sejengkal hingga titik darah penghabisan. Dengan iringan doa restu sang isteri maka berangkatlah sang suami bertempur melawan tentara Belanda di pantai BajoE. Setelah tujuh hari tujuh malam pertempuran berkecamuk, maka terdengar kabar bahwa suaminya telah gugur. Namun sang isteri tidak yakin begitu saja kalau suaminya telah gugur. Maka sang isteri berangkat mencari suaminya. Tak peduli siang atau malam , tetap berjalan dan mencari tahu akan keberadaan suaminya.

Dikala sang isteri beristirahat dalam pencariannya, maka mereka bersenandung untuk menghibur diri dan merenungi nasibnya :

O ... Mate Colli, Mate Collini Warue (Waru adalah sebuah nama pohon/tumbuhan dalam bahasa Bugis disebut Kubba. Pohon Kubba tersebut memilki ranting mengandung getah yang dapat digunakan untuk membuat keriting rambut)

Ritoto baja-baja alla Ritoto baja-baja ( Setiap hari dipangkas)

Alla nariala kembongeng ( Diambil untuk dijadikan kembongeng. Kembongen artinya alat penggulung rambut dari pohon Kubba / pohon waru )

O ... Macilaka, Macilakani Kembongeng ( celakalah penggulung rambut )

Nappai ribala-bala alla nappai ribala-bala ( baru dibentuk-bentuk)

Namate puangna (puangna bermakna simbolis artinya pohon kubba/ waru, mati karena setiap hari dipangkas untuk dijadikan penggulung rambut)

O ... Taroni Mate, Taroni Mate Puangna ( Biarlah mati , biarlah mati pohon Kubba / Waru)

Iyapa upettu rennu alla iyapa upettu rennu ( barulah putus harapan dan menyerah )

Kusapupi mesana ( Bila kupegang batu nisannya)

Penjelasan :

Sang isteri menggulung rambutnya agar menjadi indah dengan maksud untuk menghadiahkan kepada suaminya apabila kembali dari medan peperangan. Akan tetapi pohon Waru / Kubba menjadi layu dan mati karena setiap hari dipangkas untuk dijadikan sebagai penggulung rambut/kembongeng. Padahal rambutnya baru mulai terbentuk, apa daya pohon waru/kubba keburu layu dan mati.

Matinya pohon waru/kubba sebenarnya merupakan sebuah alamat atau pertanda bahwa suaminya telah tewas dalam peperangan. Namun Sang isteri tetap bersemangat. Ditanamkan dalam hati , bahwa suaminya belum meninggal. Kecuali memegang dan mengusap batu nisannya baru percaya.

2. Nilai Syair

Seperti halnya dengan lagu-lagu lain, maka syair-syair yang terjalin dalam lagu Ongkona Bone juga mengandung dan sarat dengan nilai-nilai. Nilai- nilai yang terkandung adalah :

  * Memupuk Jiwa Patriotisme dan Nasionalisme.

  * Bahwa setiap perjuangan memerlukan pengorbanan baik jiwa, raga, dan materi.

  * Menggambarkan, bahwa kepentingan umum walau pahit dan getir lebih mulia dibanding kepentingan pribadi.

  * Mengandung nilai historis 

3. Pesan dan Nasihat

Perlu dipahami , bahwa syair-syair yang terkandung dalam lagu Ongkona Bone terdiri atas tiga bagian, yakni bait pertama dan kedua bermakna simbolis atau pelambang sedang bait ketiga mengandung semangat. Mate Colli bukanlah bermakna layu sebelum berkembang akan tetapi dalam dunia seni hanya menggambarkan kemampuan ekspresi seseorang dalam menyampaikan sebuah pesan.

Namate Puangna bukanlah bermakna Tuhan yang mati akan tetapi sejenis tumbuhan yang disebut pohon waru/kubba yang dijadikan sebagai simbol bagi penciptanya. Mengapa pohon tersebut mati ? Karena setiap hari dipangkas untuk dijadikan sebagai alat penggulung rambut. Ranting pohon tersebut memilki getah yang dapat membuat rambut menjadi keriting.

Pada hakikatnya pesan/nasihat yang terkandung dalam syair lagu Ongkona Bone adalah :

  * Janganlah mudah mempercayai informasi yang kurang jelas dan tidak bertanggung jawab.

  * Setiap pekerjaan harus dilandasi dengan semangat.

  * Syair lagu merupakan ungkapan cipta, rasa, dan karsa.

Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)
0 comments share

Blog Entry LONTARA AKKARUNGENG RI BONE Apr 7, '08 2:10 AM
for everyone
LEMBAGA SENI BUDAYA TELUK BONE SULAWESI SELATAN
Catatan :Disadur dari Lontara’ Akkarungeng ri Bone, milik Drs. A. Amir Sessu Mantan KASI KEBUDAYAAN KANDEPDIKBUD Kab. Bone yang diterbitkan dengan biaya Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tahun 1985. Oleh : Drs. Asmat Riady Lamallongeng

1. MANURUNGE RI MATAJANG MATA SILOMPOE

(1326 – 1358)

Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa setelah habisnya turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri diwarnai dengan kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja) sebagai pemimpin yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang kelompok-kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan (Bugis = Sianre bale).

Kelompok-kelompok masyarakat saling bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam Bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah. Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa satu sama lain.

Menurut catatan lontara’, keadaan yang demikian itu berlangsung kurang lebih tujuh pariyama lamanya. Menurut hitungan lama, satu pariyama mungkin sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka dapat dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.

Adapun awal datangnya seorang arung (raja) di Bone yang dikenal dengan nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras.

Setelah keadaan itu reda dan sangat tak terduga, tiba-tiba di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka orang menyangkanya To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang banyak pun pada datang untuk mengunjunginya.

Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya menjadi arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak berkata ; ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.

Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.

Orang banyak berkata ; ” Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.

Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.

Orang banyak berkata ; ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.

Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).

Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Guntur dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ; satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.

To Manurung berkata ; ”Engkau datang Matowa?”

MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”.

Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian serba kuning.

Berkatalah orang banyak kepada To Manurung ; ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.

To Manurung menjawab ; ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”

Setelah terjadi kontrak sosial antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE.

ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi Mangkau’ (raja) pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.

Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk kekerasan dan telah lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama WoromporongE.

Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.

Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai arung (Mangkau’) di Bone.

2. LA UMMASA

(1358 – 1424)

Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Mangkau’ di Bone. Setelah La Ummasa meninggal maka digelarlah To Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). Mangkau’ ini hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung di Bone.

La Ummasa digelar pula Petta Panre BessiE (pandai besi) karena dialah yang mula-mula menciptakan alat-alat dari besi di Bone. Di samping itu La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki berbagai kelebihan seperti ; daya ingatnya tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana.

Saudara perempuannya yang bernama We Pattanra Wanuwa kawin dengan Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng. Konon La Ummasa pernah bermusuhan dengan iparnya selama tiga bulan dan tidak ada yang kalah. Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Untuk memperluas wilayah pemerintahannya, La Ummasa menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya, seperti ; Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu.

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan,To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari orang biasa atau bukan turunan bangsawan. Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanuwa akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya We Pattanra Wanuwa yang diperisterikan oleh Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng.

Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan ; ”Kalau Puammu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari-arinya dan ditanam tembuninya”.

Tidak berapa lama setelah To Suwalle dan To Sulewakka tiba di istana We Pattanra Wanuwa, lahirlah anak laki-laki yang sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakan Karampeluwa. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka tidak ada di tempat dan tindakan itu menyakitkan hatinya.

Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong ari-arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.

Arumpone La Ummasa mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera WoromporongE dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan ; ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian mangngaru (mengucapkan sumpah setia).

Dilantiklah La Saliyu Karampeluwa oleh pamannya La Ummasa menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dalam acara itu pula nariule sulolona (selamatan atas lahirnya) dan ditanam tembuninya. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampeluwa ke LangkanaE (istana).

Sejak dilantiknya La Saliyu Karampeluwa menjadi Arumpone, maka setiap La Ummasa akan bepergian selalu menyampaikan kepada pengasuhnya dalam hal ini saudaranya sendiri yang bernama We Samateppa.

Suatu saat La Ummasa sakit keras yang menyebabkan ia meninggal dunia, maka digelarlah ; La Ummasa Mulaiye Panreng (orang mula-mula dikuburkan).

3. LA SALIYU KARAMPELUWA

(1424 – 1496)

Dialah yang menggantikan pamannya menjadi Arumpone. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedang Tana adalah To Sulewakka.

Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau atau Daeng Marowa, We Pattana Daeng Mabela yang digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya ; Puatta Lawelareng.

Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat ; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar.

La Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong / angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate (bendera) yang bernama ; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).

Pada saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.

Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti ; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone.

Beberapa negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti ; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.

Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima.

Selanjutnya Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.

Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa ;

”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE”.

Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone ; ”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.

Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.

Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.

La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.

4. WE BANRIGAU DAENG MAROWA

(1496 – 1516)

We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya. Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang (penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.

Setelah kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina.

Suatu saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya. Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.

La Tenri Sukki yang menggantikan ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.

Anak La Tenri Sukki yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung di Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng di Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.

Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa

5. LA TENRI SUKKI

(1516 – 1543)

Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.

Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.

Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ; ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar MappajungE (memakai payung).

Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama ; Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi).

Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ; ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”. Dijawab oleh Datu Luwu ; ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”.

Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata ; ”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan – kalau ada yang rebah mari kita saling menopang – dua hamba satu Arung – tindakan Luwu adalah tindakan Bone – tindakan Bone adalah tindakan Luwu – baik dan buruk kita bersama – tidak saling membunuh – saling mencari kebaikan – tidak saling mencurigai – tidak saling mencari kesalahan – walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone – walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu – bicaranya Luwu, bicaranya Bone – bicaranya Bone, bicaranya Luwu – adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya – kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda – barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya – dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu –”

Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.

Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata ; ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”.

Arumpone menjawab ; ”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.

La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”. Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah ; La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa.

Selain La Uliyo, ialah ; We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).

We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.

6. LA ULIYO BOTE’E

(1543 – 1568)

La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.

La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate ;

”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.

Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong.

Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.

Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa ; ”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”. Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.

La Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.

La Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang.

Setelah sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara’

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju.

Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.

7. LA TENRI RAWE BONGKANGE

(1568 – 1584)

La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.

La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.

Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.

Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.

TellumpoccoE juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.

Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.

Saudara Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.

Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.

Hanya kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.

Sementara orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.

Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki kebaikan”.

Berkata Kajao Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”. Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.

Ketika menjadi Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.

Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.

Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar ; ”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.

Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).

Ketika sampai pada hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.

Pertemuan tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.

Arumpone menjawab ; ”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.

Berkata pula PollipuE ri Soppeng ; ”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo ; ”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata ; ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.

Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.

Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ; ”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.

Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).

Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.

Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).

Karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.

8. LA INCA

(1584 – 1595)

Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung.

Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.

Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.

Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.

Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya ; ”Ada apa gerangan di Bone?” Dengan ketakutan orang Bone berkata ; ”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.

Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.

I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.

Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri. “Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”. Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka.

Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.

Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).

Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.

We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.

Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.

10. LA PATTAWE

(1595 – 1602)

Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang. Kepada orang banyak, Arung Majang berkata ; “Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya”.

La Pattawe adalah anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka turunan MakkaleppiE. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone.

La Pattawe Daeng Soreang kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging.

Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri Nagauleng.

La Pattawe, tidak terlalu banyak disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah dia sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.

10. WE TENRI PATUPPU

(1602 – 1611)

We Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk, adalah ; Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng).

We Tenri Patuppu berkata kepada Arung PituE ; ”Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua turunan MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone.

Pada masa pemerintahan We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan TellumpoccoE.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng yang menerima Islam bernama BeowE.

Setelah Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo memeluk Islam.

Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.

Semasa hidupnya We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung Kading.

Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.

We Bubungeng dan La Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu juga di Soppeng.

We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.

La PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.

Anak terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah ; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.

11. LA TENRI RUWA ARUNG PALAKKA

(1611 – 3 bln)

La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone.

Belum cukup tiga bulan setelah menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang Bone ; ”Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.

KaraengE ri Gowa berkata ; ”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata SeuwaE (Allah SWT).

Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; ’Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.

Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.

Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La Mallalengeng menyampaikan ; ”Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya”.

Arumpone menjawab ; Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.

Ketika To Alaungeng kembali ke Bone, Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke Pallette untuk bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara berkedudukan di Pallette. Begitu pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya Karaeng Pettu di Pattiro dan bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu dikepung oleh orang Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama Karaeng Pettu meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging.

Setelah itu, pergilah Arumpone menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu tinggal menjaga Pattiro. Di Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh KaraengE ri Gowa ; ”Sampai dimana batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut berita bahwa akkarungeng telah berpindah di Bone”. Arumpone menjawab ; ”Yang menjadi milikku adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo adalah milik isteriku”.

Berkata lagi KaraengE ; ”Sekarang ucapkanlah syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima Islam. Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu”. Arumpone menjawab ; ”Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga saya kemari”.

Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata ; ”Saya juga tahu bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat berdirinya bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun saya berikan kembali kepadamu”.

Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo dan Arumpone berikrar ; Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo ; ” Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.

Setelah ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama, dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya.

Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi nama Arab yaitu Sultan Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE ri Gowa. Tempat yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia meninggal, oleh karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng.

La Tenri Ruwa kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang kemudian disebut juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui. We Tenri Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung Patojo saudara kandung Datu Soppeng yang mula-mula memeluk Islam yang bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We Bubungeng yang berarti bersaudara kandung dengan We Tenri Sui.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu Lompengeng MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada juga yang bernama We Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal diwaktu kecil), We Tenri Wempeng Daunru (meninggal diwaktu kecil), La Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil), selanjutnya We Kacimpureng Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya.

We Bubungeng I Dasajo Arung Pattojo diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yada MatinroE ri Madello.

Arung Tanatengnga kemudian kawin lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe dengan suaminya La Page Datu Mario Riwawo.

Adapun La Tenri Tatta To Unru diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga digelar sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya yang bernama We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo dari suaminya MatinroE ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak melahirkan seorang anak, akhirnya bercerai.

Isteri La Tenri Tatta yang paling dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak ada keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir hayatnya tidak memiliki keturunan.

Saudara kandung La Tenri Tatta yang bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi Maddanreng ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari Mangkasar, orang Bone menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo BombangE kawin dengan La PakokoE Arung Timurung yang juga Ranreng di Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng.

Sedangkan saudara kandung La Tenri Tatta yang lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La Tenri Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario Riwawo. We Tenri Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng Mattajang Karaeng Tanete, turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu lahir dua orang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dan We Tenri Lekke’.

We Pattekke Tana kawin dengan PajungE ri Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri Pattiro. We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We Tenri Leleang Datu Luwu dan La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung Pattiro dan Datu Tanete. Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari.

Adapun anak Batara Tungke yang bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana, kawin dengan La Pasau Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre Wajo.

We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya To Lempe Arung Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng I Dasajo inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Bali MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yadda MatinroE ri Madello.

La Tenri Senge’ To Wesang kawin dengan We Pada Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE. Dari perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil). Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili. La Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari perkawinan itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung Pattojo. La Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang bernama La Barahima.

Selanjutnya La Mappassili kawin lagi dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah Batara Tungke MatinroE ri Pattiro denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile MatinroE ri Suppa. Inilah yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung.

Anak berikutnya adalah We Tenri Abang Datu Watu Arung Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah yang tewas dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso Tancung pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring Karaeng Tanete.

Kembali kita bicarakan La Pottobune’ dengan isterinya We Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page yang kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu Lompulle kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah La Malleleang To Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo. Selanjutnya La Panamangi kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We Tenri Datu Botto.

We Tenri Datu Botto kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dengan suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri dengan La Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario Riwawo. La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang janda dari La Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila Karaeng Tanete. La maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu Citta, anak dari La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya yang bernama Sitti Habiba.

Selanjutnya We Tenri Leleang janda dari La Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan We Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu Lamuru MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E Datu Lamuru.

Kemudian We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang kawin dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri Lawa Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La Sengngeng MatinroE ri Salawa’na.

We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga sebagai Datu Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri Bakke. Inilah yang kawin dengan PajungE ri Luwu yang bernama La Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.

LA TENRI PALE TO AKKEPPEANG

(1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.

Inilah Mangkau’ di Bone yang membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam. Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.

Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru, tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di Galingkang.

Katika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di Bone.

Sedangkan Saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka.

Satu tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Mangkasar menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba.

Selama menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.

13. LA MADDAREMMENG

(1625 – 1640)

La Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone berjanji bahwa ;

- La Tenri Pale ; ”Siapa yang mengingkari janji, dialah yang menanggung resiko buruknya”

- Orang Bone ; ”Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima imbalan

kebaikan itu”

Setelah saling mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.

Sesampainya di Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ; Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang memiliki kembali miliknya. Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su (Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Tallo.

Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.

La Maddaremmeng kawin di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.

La PakokoE Toangkone kawin dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.

Selanjutnya La Maddaremmeng kawin lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.

Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.

Isteri La Maddaremmeng yang lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.

14. LA TENRI AJI TO SENRIMA

(1640 – 1643)

La Tenri Aji To Senrima menggantikan saudaranya La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka menjadi Mangkau’ di Bone. Dialah yang melanjutkan perlawanan Bone terhadap Gowa, namun kenyataannya Bone kembali mengalami kekalahan. Karena pada perang ini, Gowa ternyata dibantu oleh Luwu dan Wajo. Pertahanan terakhir Arumpone La Tenri Aji To Senrima adalah Pasempe, sehingga dikatakan Beta Pasempe (Kekalahan di Pasempe).

Sejak kekalahan di Pasempe, Bone menjadi milik Gowa, Luwu dan Wajo. Wilayahnya dibagi tiga, sebahagian diambil oleh Gowa, sebahagian diambil Luwu dan sebahagian diambil oleh Wajo. Ditawanlah semua anak bangsawan Bone, termasuk La Pottobune’ bersama isteri dan anak-anaknya. Selebihnya diberikan kepada Luwu dan Wajo. Adapun yang menjadi milik Wajo tetap berada di Bone, sebab Wajo masih ingat perjanjian yang telah disepakati oleh Arung terdahulu, yaitu ”Yang rebah akan ditopang, yang hanyut akan diraih” sebagaimana isi LamumpatuE ri Timurung yang telah dilakukan oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo).

Arung Matowa Wajo yang bernama La Makkaraka mengatakan ; ”Bahagian Wajo yang pergi ke Gowa, adalah milik Gowa, bahagian Luwu yang pergi ke Wajo, tetap milik Luwu. Kemudian bahagian Wajo yang masih tinggal di Bone, tetap milik Bone. Kecuali dia sendiri yang datang ke Wajo, barulah milik Wajo”. Permintaan ini akhirnya disetujui oleh KaraengE ri Gowa dan Datu Luwu.

Ketika La Tenri Aji To Senrima ditangkap dan dibawa ke Gowa, diikutkanlah semua anak bangsawan Bone lainnya. Setelah itu Bone dibakar oleh orang Gowa, menjadilah Bone sebagai wilayah jajahan Gowa dan seluruh rakyatnya dijadikan hamba. Sementara La Tenri Aji To Senrima di tempatkan di Siang, sedangkan anak bangsawan lainnya dibagi-bagi kepada anggota Hadat Gowa (Bate SalapangE) untuk dijadikan hamba dan sebagainya.

Diantara anak bangsawan yang ditawan oleh Gowa, terdapat juga La Pottobune’ Arung Tanatengnga bersama isteri dan anak-anaknya. Sebab yang tidak tertawan oleh Gowa hanyalah anak kecil, orang tua lanjut umur, kecuali atas permintaan orang tuanya.

La Pottobune’ Arung Tanatengnga, isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah KaraengE. Ketika itu La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun. Karena dia seorang anak yang cerdas, sehingga banyak yang menyukainya. Oleh karena itu, semua anggota Bate SalapangE pernah ditempatinya.

Karena La Tenri Aji To Senrima diasingkan ke Siang, maka KaraengE ri Gowa menyuruh kepada orang Bone untuk mencari Arung (Mangkau’). Tetapi orang Bone tidak berani lagi menunjuk seorang Mangkau’, sehingga orang Bone menyerahkan sepenuhnya kepada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa menunjuk Karaeng Summana untuk melaksanakan pemerintahan di Bone.

Tetapi karena Karaeng Summana tidak bisa menghadapi orang Bone yang kelihatannya tetap berusaha menghalang-halangi segala langkahnya, maka kembalilah Karaeng Summana ke Gowa. Kepada KaraengE ri Gowa, Karaeng Summana melaporkan ketidak mampuannya menghadapi orang Bone. Oleh karena itu terjadilah kevakuman pemerintahan di Bone saat itu.

La Tenri Aji To Senrima meninggal dunia di Siang, sehingga dinamakan MatinroE ri Siang. Menurut catatan lontara’ dia hanya mempunyai seorang anak yang bernama La Pabbele MatinroE ri Batubatu. Inilah yang melahirkan Daeng Manessa Arung Kading.

Selama beberapa waktu tidak ada pengganti La Tenri Aji To Senrima MatinroE ri Siang sebagai Arumpone. Orang Bone dan segenap anggota Hadatpun sudah tidak mau menunjuk seorang Mangkau’. Sementara KaraengE ri Gowa juga ragu untuk mengangkat seorang Arung kalau bukan yang diinginkan oleh orang Bone.

Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa hanya menunjuk seorang jennang (pelaksana) yang memiliki wewenang sebagai pengganti Mangkau’ di Bone.

15. T O B A L A

(1643 – 1660)

Tobala Arung Tanete ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa sebagai pengganti Mangkau di Bone yang disebut jennang. Selama 17 tahun Tobala menjadi Jennang di Bone, sekian pula lamanya Bone dijajah oleh Gowa. Ketika Tobala yang juga dikenal dengan gelar Petta PakkanynyarangE menjadi Jennang di Bone, tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Banyak orang Bone yang memilih untuk pindah ke daerah lain, karena tidak mampu lagi menahan penderitaan akibat tindakan orang Gowa yang sangat kejam.

Dimasa pemerintahan Tobala, KaraengE ri Gowa minta dikirimkan orang dari Bone sebanyak 10.000. Jumlah itu tidak bisa kurang dan harus sesuai dengan yang diminta. Orang sebanyak itu akan disuruh menggali parit dan membuat benteng. Kepada siapa yang telah ditentukan untuk berangkat ke Gowa tidak bisa diganti, walaupun ada hambanya yang bisa menggantikannya. Tidak bisa juga membayar sebagai tebusan agar bisa tidak berangkat.

Saat itu La Tenri Tatta sudah mulai dewasa dan kawinlah dengan I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, La Tenri Tatta bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengE ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana penderitaan dan penyiksaan yang dialami mereka. La Tenri Tatta To Unru menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan. Orang Bone diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut.

Melihat tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin tidak berperikemanusiaan, hati La Tenri Tatta menjadi tergugah dan berpikir untuk membuat suatu rencana pembebasan. Dengan bekerja sama dengan beberapa keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Ampana dan lain-lain. Kesepakatan yang dibuatnya adalah pada suatu saat yang tepat dan aman, semua orang Bone melarikan diri dari tempat penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut menuju ke Bone.

Sementara Tobala tidak mampu lagi untuk menerima tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Hal ini menambah kesungguhan La Tenri Tatta untuk menegakkan kembali kebesaran Bone. Dihimpunlah seluruh kekuatan Bone yang pernah bercerai berai, dia juga mengajak Soppeng agar dapat membantu Bone melawan Gowa.

Setelah cukup 17 tahun Tobala menjadi Jennang di Bone, ia membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta bersama segenap keluarga, jowa dan segenap orang Bone yang menjadi penggali parit telah berada dalam perjalanan menuju ke Bone. Hal ini tidak diketahui oleh KaraengE ri Gowa bersama seluruh anggota Hadatnya.

Setelah sampai di Bone, ia langsung menemui Tobala Jennang Bone. Selain itu ia juga menyampaikan kepada Datu Soppeng pamannya yang bernama La Tenri Bali. Memang telah dipersatukan Bone dengan Soppeng sesuai bunyi Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian ri Attapang). Bersatulah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta membangkitkan kembali semangat perlawanan orang Bone terhadap Gowa.

Sebagai wujud kegembiraan orang Bone atas kembalinya La Tenri Tatta ke Bone, maka orang Bone sepakat untuk mengangkatnya menjadi arung di Palakka mewarisi neneknya. Sejak itu dinamakanlah Arung Palakka.

Setelah mempersatukan pendapat dengan Jennang Tobala untuk tidak mundur dalam melawan Gowa, pergilah Arung Palakka ke Lamuru untuk menghadang orang Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang sangat dahsyat dan menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun mengundurkan diri bersama pengawalnya.

Dalam perjalanannya menghindari serangan Gowa, La Tenri Tatta Arung Palakka singgah menemui Datu Soppeng minta bekal untuk dimakan dalam perjalanan bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini dimaksudkan agar dapat menegakkan kembali kebesaran Bone.

Atas permintaannya itu, Datu Soppeng memberinya emas pusaka dari orang tuanya. Emas itulah yang dijadikan bekal bersama segenap pengawalnya pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama menegakkan kembali kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka sebelum berangkat berjanji tidak akan memotong rambutnya sebelum ia kembali ke Bone.

Beangkatlah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara orang Gowa tetap mengikuti jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di bawah pimpinan Tobala yang dibantu oleh orang Soppeng. Akan tetapi karena kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga orang Bone kembali mengalami kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan dan Datu Soppeng tertawan.

Karena kekalahan itu, sehingga orang Bone kembali ditawan dan dijajah oleh Gowa. Begitu pula orang Soppeng karena telah membantu Bone dalam melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka tetap diburu oleh orang Gowa dan tidak sedikit mengalami kepungan yang hampir saja menjebak dirinya. Seakan-akan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk berlindung di Bone.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung) untuk minta perlindungan. Hal ini dilakukan agar dapat menemukan teman yang dapat membantunya untuk melawan dan menundukkan Gowa. Disiapkanlah perahu untuk menyeberang ke Butung.

Sesampainya di Butung, naiklah La Tenri Tatta menemui Raja Butung. Raja Butung menerimanya dan bersedia membantunya. Tetapi ternyata Gowa tidak akan berhenti untuk mengikuti jejaknya. Setelah KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah pengawalnya telah menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya.

Akan tetapi Arung Gattareng tidak sampai di Tanah Uliyo dan dia kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa lantas mengirim pasukan tempur untuk mengikuti sampai di Butung. Sesampainya di Butung pasukan Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan La Tenri Tatta dengan seluruh pengawalnya. Raja Butung berusaha meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenri Tatta tidak ada di atas Tanah Butung. Oleh karena itu, orang Gowa kembali tanpa menemukan La Tenri Tatta dan pengawalnya.

Setelah orang Gowa kembali ke kampungnya, Raja Butung berkata kepada La Tenri Tatta ; ”Saya sangat khawatir kalau pada akhirnya engkau dan seluruh pengawalmu ditemukan oleh orang Gowa di Tanah Butung ini. Saya sarankan agar engkau menunggu Kompeni Belanda karena tidak lama lagi dia akan datang. Dia akan berangkat ke Ternate karena Raja Ternate berselisih dengan saudaranya. Sekarang saudara Raja Ternate itu ada di Gowa untuk minta bantuan kepada KaraengE ri Gowa. Karena itu, KaraengE ri Gowa bermaksud berangkat ke Ternate, orang Bone diseberangkan ke Butung oleh La Sekati.

Tindakan kesewenang-wenangan KaraengE ri Gowa bukan saja ditujukan kepada orang Bone, tetapi juga kepada orang-orang Gowa yang menentang perintahnya. Dengan demikian orang Gowa pun banyak yang menyeberang ke Butung termasuk Karaeng Bonto Marannu dengan rakyatnya.

Keadan ini membuat KaraengE ri Gowa marah besar terhadap Raja Butung. Lalu KaraengE ri Gowa membuat rencana untuk menyerang Butung di Tanah Uliyo. Karena disitulah berlindung semua orang yang dicari oleh KaraengE ri Gowa. Disitu pula kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah apabila hendak menuju ke Ternate. KaraengE ri Gowa memanggil Datu Luwu yang bernama La Setiaraja untuk bersama- Tidak berapa lama, Kompeni Belanda datang dengan segala alat perangnya menuju ke Ternate. Sebelumnya singgah di Tanah Uliyo. Turunlah La Tenri Tatta diantar oleh Raja Butung menemui Komandan Belanda di atas kapalnya. La Tenri Tatta minta kepada Kompeni agar dapat diikutkan ke Ternate bersama seluruh pengawalnya.

Atas permintaannya itu Kompeni mengatakan ; ”Tidak usah ke Ternate, tetapi lebih baik ke Jakarta. Nanti di Jakarta baru diberikan tanah untuk di tempati bersama pengawalnya. Kalau sudah ada kesempatan, kita sama-sama melawan Gowa. Jadi tunggulah disini. Kalau Kompeni kembali dari Ternate barulah singgah disini dan kita sama-sama ke Jakarta”.

Oleh karena itu, La Tenri Tatta Arung Palakka dan seluruh pengawalnya tinggal beberapa waktu di Butung menunggu kembalinya Kompeni Belanda.

Tobala kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maisuri anak dari We Daompo dengan suaminya yang bernama La Uncu Arung Paijo. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone. Kemudian To Sibengngareng kawin dengan anaknya Opu Bontobangung di Selayar yang melahirkan anak perempuan tiga orang. Yang pertama bernama We Kelli Arung Paijo, yang kedua bernama We Sadia Petta Punna BolaE dan ketiga We Panido Arung Atakka.

Sedangkan anak laki-laki Tobala dari isterinya We Maisuri, La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Kemudian La Tone To Marilaleng Pawelaiye ri Pattingaloang. Inilah yang kawin dengan We Tungke Arung Tessiada. Dari perkawinan itu lahirlah We Sutra Daeng Tasabbe Arung Tessiada. Kemudian We Sutra Daeng Tasabbe kawin dengan La Rubba Arung Jaling anak dari La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE dari isterinya We Sellima Arung Ulo. Dari perkawinan ini lahirlah yang bernama La Mappa Arung Jaling, La Maddukkelleng Arung Tessiada, To Akkeppeang Sulewatang Palakka.

La Mappa Arung Jaling kawin dengan We Saria Arung Palongki dan melahirkan La Supu Arung Palongki. Selanjutnya La Supu kawin dengan We Sutra Daeng Tasabbe, lahirlah La Esa Arung Palongki.

Kembali kepada La Tenri Tatta bersama pengawalnya yang sementara berada di Butung. Setelah kapal Kompeni Belanda kembali dari Ternate untuk selanjutnya ke Jakarta, singgahlah di Butung mengambil La Tenri Tatta bersama seluruh pengawalnya. Setibanya di Jakarta ditunjukkanlah tanah yang luas untuk ditempati. Kampung itu kemudian bernama Kampung To PattojoE, disitulah La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na membina dan melatih pengawalnya sebagai persiapan untuk kembali ke Tana Ugi melawan KaraengE ri Gowa.

  * LA SEKATI ARUNG AMALI

(1660 – 1667)

Setelah Tobala meninggal dunia, KaraengE ri Gowa menunjuk lagi La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone. Selama tujuh tahun La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone, selama itu pula tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu sebahagian besar sama Karaeng Bonto Marannu menyerang Butung. Dengan pasukan yang lengkap dan siap berperang, berangkatlah ke Butung untuk menghajarnya.

Sementara itu, La Tenri Tatta Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan pasukan Kompeni Belanda telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone dan orang Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula orang-orang Gowa yang lari kesana. Hal ini terjadi dalam tahun 1667 M.

Atas kedatangan Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, merupakan akhir penderitaan orang Bone dari penjajahan Gowa. Sebelum Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi La Tenri Tatta Arung Palakka bersama dengan pasukan Belanda. Dengan demikian rencana Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu untuk menyerang Butung terpaksa batal.

Admiral Speelman selaku pimpinan pasukan Belanda bersama La Tenri Tatta Arung Palakka mengutus beberapa orang untuk menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Kepada utusan itu disuruh untuk menyampaikan kepada Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bahwa janganlah Raja Butung yang diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada. Atau alangkah baiknya kalau Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu turun ke kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara secara baik-baik.

Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya.

Kepada Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung Palakka berkata ; ”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”. Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.

Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.

Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.

Tanggal 21 November 1667 M. berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone, membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa. Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.

Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata ; ”Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang lain, kecuali kepadamu”.

Arung Palakka menjawab ; ”Saya sangat menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti, nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain”.

Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya. Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka.

Gubernur Belanda telah memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh arung-arung dan seluruh negeri-negeri yang ada dalam pengawasan Kompeni Belanda di Celebes Selatan. Oleh Gubernur Belanda telah menunjukkan negeri-negeri yang dikuasakan , seperti ; Balannipa, Sinjai sampai di Bantaeng. Sejak itulah La Tenri Tatta Arung Palakka digelar Petta To RisompaE.

Kekalahan Gowa dalam perang melawan Belanda dan Bone ditandai dengan suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang mengakhiri kekuasaan Gowa di Celebes Selatan ditanda tangani oleh KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin dan Laksamana Kompeni Belanda Speelman pada hari Jumat 18 November 1667 M. Bertempat di Bungaya.

  15. LA TENRI TATTA TO UNRU ARUNG PALAKKA

(1667 – 1696)

Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.

La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.

Ketika La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.

Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.

Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).

Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.

Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.

Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.

Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.

Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya.

Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.

La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.

Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.

Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti ; Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.

Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.

Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang

Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.

Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.

Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.

Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.

Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.

Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung.

Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.

Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ; ”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.

Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na.

KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.

Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.

Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.

KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.

Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.

Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.

Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.

Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.

Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.

Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.

Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta beberapa pengikutnya.

Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.

Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.

La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.

Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.

Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.

Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.

La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.

Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.

Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.

Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.

Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.

Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.

Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.

Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.

Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.

Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu, adalah ; Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.

Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi) ; ” Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.

Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.

Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain ; Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Kesemua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.

Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.

Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).

Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.

Agar dapat memperoleh keturumam La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.

Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.

Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.

“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.

Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele”.

La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”

Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.

Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;

- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.

- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.

Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).

La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.

Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng (daerah sahabat).

Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.

Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.

We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.

Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah ; ”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.

Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.

Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah ; ”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.

Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah - tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.

Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah memotong rambutnya.

Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.

Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti ; TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.

Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu ; ”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.

Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.

Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.

We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu ; We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.

Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Mangkasar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.

16. LA PATAU MATANNA TIKKA

(1696 – 1714)

Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng. Dialah yang menjadi Arumpone setelah pamannya Petta To RisompaE meninggal dunia. Sebelum Petta To RisompaE meninggal dunia, memang kemanakannya yang bernama La Patau Matanna Tikka inilah yang dipesankan untuk menggantikan kedudukannya sebagai Arumpone. Pesan yang dipersaksikan kepada seluruh orang Bone segenap Lili Passeyajingeng Tanah Bone didukung oleh anggota Hadat Tujuh Bone.

La Patau Matanna Tikka adalah anak dari adik perempuan Petta To RisompaE yang bernama We Mappolo BombangE Da Ompo We Tenri Wale Maddanreng Palakka MatinroE ri Ajappasareng. Anak ini lahir dari perkawinannya dengan La PakokoE Toangkone TadampaliE Arung Timurung MaccommengE. La Patau Matanna Tikka MalaE Sanrang, dia juga sebagai Ranreng Towa Wajo pusaka dari ayahnya. Selain itu ia pula sebagai Arung di Ugi.

La Patau merasa belum kuat kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone berhubung masih ada putra mahkota yang lain yang berpeluang untuk diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Putra mahkota tersebut, antara lain ; La Pasompereng Petta I Teko, anak dari La Poledatu ri Jeppe’ dari perkawinannya dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sengngeng.

La Poledatu ri Jeppe’ bersaudara dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE yang juga sebagai Arung Sijelling. La Maddussila Arung Mampu adalah anak dari We Tenri Patuppu Arumpone MatinroE ri Sidenreng. Sedangkan We Tenri Sengngeng adalah anak dari We Tenri Tana Massao LebbaE ri Mampu, adalah saudara La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE.

We Tenri Tana kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Peppang Lebbi WaliE Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri Sengngeng. La Tenri Peppang Lebbi WaliE adalah anak dari We Tenri Pateya saudara We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.

We Tenri Patuppu bersaudara, yaitu ; We Tenri Pateya dan We Tenri Parola adalah anak dari La Pattawe Arung Palenna Arumpone MatinroE ri Bettung Bulukumba, dari hasil perkawinannya dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu. We Balole I Dapalippu Arung Mampu adalah anak dari La Uliyo Bote’E Arumpone MatinroE ri Itterung dengan isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu. Arumpone La Uliyo Bote’E inilah yang merupakan nenek dari La Pasompereng Arung Teko dan juga merupakan nenek dari La Patau Matanna Tikka.

Hanya saja ketika Petta TorisompaE menjadi Mangkau’ di Bone sampai meninggal dunia, La Pasompereng kebetulan tidak berada di Tanah Ugi. Dia ke Timor Kupang karena disuruh oleh Petta To RisompaE sendiri membantu Kompeni Belanda dalam memerangi orang Timor. Setelah Petta To RisompaE meninggal dunia, barulah La Pasompereng kembali ke Bone dan bermaksud merebut kedudukan La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone.

Pada mulanya La Patau tidak mengetahui bahwa La Pasompereng dianggap cacat oleh Kompeni Belanda. Nanti setelah adanya surat dari Kompeni Belanda yang menjelaskan tentang perbuatan La Pasompereng, barulah Lka Patau merasa bahwa kedudukannya sebagai Mangkau di Bone telah aman. Karena jelas bahwa La Pasompereng tidak mungkin didukung oleh Kompeni Belanda untuk menduduki Mangkau’ di Bone dengan adanya kesalahannya itu. Apalagi La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna yang bisa mendukungnya juga telah meninggal dunia.

Ketika La Tenri Bali MatinroE ri Datunna meninggal dunia, ia tidak lagi digantikan oleh anaknya. Tetapi orang Soppeng pergi ke Bone untuk minta kepada La Patau Matanna Tikka agar selain sebagai Mangkau’ di Bone, dapat juga menjadi Datu di Soppeng. La Patau Matanna Tikka tidak mengiyakan permintaan orang Soppeng tersebut, karena ia berpikir bahwa kalau permintan orang Soppeng itu diterima, maka ia harus menghadapi dua musuh besar yaitu La Pasompereng Arung Teko dan Daeng Mabbani Sule DatuE ri Soppeng.

Sebagai Ranreng Towa di Wajo, La Patau Matanna Tikka sekali sebulan harus ke Ujungpandang untuk melihat orang Wajo yang ada di Ujungpandang. Untuk membantunya, diangkatlah Amanna Gappa sebagai Matowa Wajo yang menggantikan dirinya bila kembali ke Bone.

Setiap datang dari Bone, La Patau selalu mengadakan Duppa Sawungeng (penyabungan ayam) secara besar-besaran di Malimongeng. Semua arung-arung yang ada di Celebes Selatan yang datang ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda, mereka datang apabila La Patau ada.

Arumpone La Patau Matanna Tikka menolak permintaan orang Soppeng untuk menjadi Datu di Soppeng, karena menurutnya masih ada pilihan yang paling tepat yaitu We Yadda saudara Datu Soppeng MatinroE ri Salassana. Oleh karena itu, We Yadda ditunjuk untuk menjadi Datu di Soppeng. Apalagi semasa hidupnya Petta To RisompaE pernah kawin dengan sepupunya yang bernama We Yadda itu.

Kembali kepada Arung Teko yang bernama La Pasompereng, kawin dengan saudara perempuan KaraengE ri Gowa Mallawakka Daeng Matanre Karaeng Kanjilo Tu Mammenanga ri Passirinna. Dari perkawinannya itu melahirkan anak perempuan yang bernama Karaeng Pabbineya. Inilah yang kawin dengan To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi, anak Opu Tabacina Karaeng Kariwisi dengan isterinya yang bernama Arung Ujung.

Sekembalinya dari Timor, La Pasompereng Arung Teko langsung masuk ke Bone untuk menyampaikan kepada Arumpone La Patau Matanna Tikka bahwa dirinya telah kembali dari Timor. Sebagai Arumpone, La patau menerima kedatangannya, karena dianggap telah melaksanakan tugas dari Petta To RisompaE dalam membantu Kompeni Belanda memerangi Timor. Namun dalam hati La Patau tetap berpikir siapa tahu La Pasompereng akan menuntut -akkarungeng (Kedudukan sebagai Mangkau’)di Bone, karena dia juga sebagai putra mahkota.

Pada saat La Pasompereng berkunjung ke Saoraja menemui La Patau, ia langsung menerima berita tidak baik tentang isterinya yang berselingkuh dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Isteri La Pasompereng yang bernama Karaeng BalakkaeriE adalah sudara dari KaraengE ri Gowa, sehingga pertemuannya dengan Sule Datu Soppeng Daeng Mabbani selalu dilakukannya di SalassaE ri Gowa.

Berkatalah La Patau Matanna Tikka kepada La Pasompereng ; ” Kalau kita tidak dapat mengamankan dalam rumah tangga sendiri, maka lebih tidak bisa lagi mengamankan satu wanuwa (negeri)”. Mendengar pernyataan Arumpone La Patau begitu, La Pasompereng terkejut dan bertanya ; Mengapa adik berkata begitu ? Apa adik mengetahui kalau dalam rumah tanggaku terjadi sesuatu yang memalukan ?”

Setelah Arung Teko mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, barulah Arumpone La Patau Matanna Tikka menjawab ;”Nantilah kakanda kembali ke Gowa baru mengetahui. Sebab hal itu bukan lagi rahasia umum di Gowa”.Selanjutnya Arumpone La Patau menjelaskan tentang perbuatan isterinya itu yang berselingkuh dengan Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani.

Arung Teko kemudian pamit untuk kembali ke Gowa. Sesampainya di rumahnya, benar ia tidak menemukan isterinya. Arung Teko menanyakan kepada seisi rumahnya dan jawabannya adalah Karaeng BalakkaeriE pergi ke SalassaE. Oleh karena itu Arung Teko menyuruh orang untuk memanggil isterinya agar kembali ke rumahnya. Namun penggilan itu tidak diindahkan oleh isterinya dan sudah tidak mau lagi bertemu dengan suaminya.

Dengan demikian maka kepercayaan Arung Teko kepada apa yang disampaikan oleh Arumpone semakin jelas. Ia pun berpikir untuk melakukan perhitungan terhadap Sule DatuE di Soppeng.

Tidak berapa lama, datanglah Arumpone untuk mengadakan penyabungan ayam di Ujungpandang. Menurut kebiasaannya, bila ada penyabungan ayam yang diadakan oleh Arumpone di Ujungpandang, semua arung-arung datang di tempat itu.

Sebelum Arumpone memberikan tanda-tanda kepada Arung Teko bahwa dia mengirim seekor ayam, berarti Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani telah datang dan pasti ia berada di SalassaE untuk melakukan pertemuan dengan Karaeng BalakkaeriE.

Arung Teko lalu mempersiapkan pengawalnya untuk menghadang Daeng Mabbani pada jalan setapak menuju ke SalassaE di Gowa. Sebab dia pikir setelah penyabungan ayam bubar, pasti Daeng Mabbani melewati jalan itu menuju ke SalassaE untuk bertemu dengan isterinya. Sementara itu, Arumpone La Patau Matanna Tikka melaporkan kepada Kompeni Belanda bahwa pada sore hari ini bakal terjadi perkelahian antara Arung Teko serombongan dengan Sule DatuE. Siapa nanti yang membunuh, dialah yang dimasukkan dalam kurungan.

Sore harinya bubarlah penyabungan ayam. Sule DatuE juga bersiap-siap untuk menuju ke SalassaE bersama pengawalnya.Serdadu-serdadu Kompeni Belanda juga telah berjaga-jaga pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Arumpone.

Tepat matahari terbenam, pertumpahan darahpun terjadi. Duel antara Arung Teko dengan Daeng Mabbani berlangsung sangat seru yang berakhir dengan meninggalnya Daeng Mabbani. Arung Teko langsung ditangkap dan dimasukkan dalam kurungan dan tidak akan dikeluarkan.

Pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara Inggeris dengan Kompeni Belanda. Gubernur Inggeris yang ada di Kalimantan, mengirim surat kepada Arung Teko yang sementara di penjara melalui utusan khususnya agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya melawan Belanda. Gubernur Inggeris bersedia memberinya bantuan persenjataan, kalau Arung Teko bersedia melawan Kompeni Belanda.

Arung Teko juga dijanji oleh Inggeris bahwa kalau kalah dalam melawan Kompeni Belanda, maka Inggeris siap untuk berhadapan dengan Kompeni Belanda di Celebes Selatan.

Ketika Arumpone mengetahui hal itu, maka dia minta kepada Gubernur Kompeni Belanda agar Arung Teko bersama seluruh pengikutnya dibuang (diasingkan) ke tempat yang diperkirakan tidak bisa kembali ke Tanah Ugi hingga akhir hayatnya. Dipilihlah tempat oleh Kompeni Belanda yaitu Seilon ujung Afrika Selatan. Tempat itulah yang merupakan tempat pembuangan bagi Kompeni Belanda bagi orang yang bersalah atau dianggap membahayakan. Di sanalah Arung Teko bersama seluruh pengikutnya meninggal dunia.

Setelah Arung Teko diasingkan ke Afrika Selatan, barulah pemerintahan La Patau Matanna Tikka di Bone dirasa aman. Ketika itu datang pula orang Soppeng untuk meminta kepada Arumpone agar dapat memegang Bone dan Soppeng. Permintaan orang Soppeng itu diterima oleh Arumpone dan jadilah La Patau Matanna Tikka sebagai Arumpone dan juga sebagai Datu di Soppeng. Hal ini sesuai keinginan MatinroE ri Madello semasa hidupnya agar Enci Camummu yang diambil sebagai Sule Datu anak dari La Majuna MatinroE ri Salassana.

La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng lahir pada tanggal 3 November 1672 M. Diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1698 M. dan digelar dengan nama Sultan Muhammad Idris Adimuddin.

Oleh pamannya La Tenri Tatta Petta To RisompaE, La Patau Matanna Tikka dikawinkan dengan We Ummung Datu Larompong anak dari PajungE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Batari Toja Daeng Talaga. Inilah yang menjadi Arung Timurung juga sebagai Datu di Citta. Anak berikutnya adalah We Patimana Ware, inilah yang menjadi Datu Larompong. Oleh karena itu dinamakanlah Opu Datu Larompong MatinroE ri Bola Ukina.

Karena We Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone, Datu Luwu dan Soppeng, maka Akkarungeng Timurung diserahkan kepada adiknya We Patimana Ware. Oleh karena itu We Patimana Ware lagi yang menjadi Arung Timurung.

We Patimana Ware kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumanga Daeng Soreang. Melahirkan tiga orang anak We Wale Daeng Matajang, We Manneng Daeng Masiang dan We Amira.

Dalam tahun 1687 M. La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi oleh pamannya Petta To RisompaE di Tanah Mangkasar, yaitu We Mariama Karaeng Patukangan anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung. Dari perkawinannya itu melahirkan empat anak, satu perempuan dan tiga laki-laki.Anaknya yang perempuan bernama We Yanebana I Dapattola meninggal sebelum menikah. Adapun anaknya yang laki-laki yaitu La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.

Anak La Patau Matanna Tikka dari isterinya yang keempat yaitu Datu Baringeng dianggap juga sebagai putra mahkota yaitu La Temmassonge’ atau La Mappasossong To Appaweling. Tetapi karena lahir setelah Torisompae meninggal, sehingga oleh saudara-saudaranya hanya dianggap sebagai anak cera’. Artinya nanti bisa menduduki akkarungeng (Mangkau’ atau Datu) setelah putra mahkota yang lainnya sudah tidak ada.

Mulai dari ManurungE ri Matajang sampai kepada La Patau Matanna Tikka berlaku suatu tradisi bahwa – tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE.

La Patau Matanna Tikka kawin lagi dengan We Rakiyah di Bantaeng. Dari perkawinannya itu melahirkan dua anak perempuan dan empat anak laki-laki. Yang perempuan bernama We Tabacina meninggal dimasa kecil begitu juga berikutnya. Sedangkan yang laki-laki masing-masing bernama ; La Pauseri To Malimongeng, La Massettuang To Ape, La Massangirang To Patawari, La Makkarumpa meninggal diwaktu kecil.

Selanjutnya La Patau kawin lagi dengan We Biba To UnynyiE.Melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama La Tangkilang, meninggal diwaktu kecil. Kemudian kawin dengan We Maisa To Lemoape’E, melahirkan dua anak yaitu La Madditudang To Parellei, yang satunya meninggal setelah lahir. Selanjutnya kawin dengan We Lette To BaloE, mekahirkan seorang anak perempuan nama We Celai.

Isteri-isteri La Patau Matanna Tikka yang dikawini tidak secara langsung, artinya hanya diwakili oleh orang lain, atau tombaknya, kerisnya, cere’nya, tempat sirih dan sebagainya. Mereka itu adalah ; We Sanging To Buki’E melahirkan seorang anak perempuan bernama We Cikondo, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya We Sisa melahirkan We Maragellu I Damalaka . Kemudian kawin lagi dengan We Sitti di Palakka melahirkan La Pawakkari To Appasalle, meninggal diwaktu kecil. Isteri selanjutnya bernama We Naja To SogaE melahirkan seorang anak bernama La WangiE. Kemudian isterinya yang keenam bernama We Saiyo, tidak melahirkan anak.

Isteri yang berikutnya bernama We Cimpau melahirkan seorang anak bernama La Mappaconga, meninggal diwaktu kecil. Selanjutnya bernama We Baya To BukakaE melahirkan anak laki-laki bernama La Tongeng Datu Laisu. Inilah yang menggantikan saudara ayahnya menjadi Datu Soppeng. Ini pula yang kawin dengan Datu Mario Riawa dan melahirkan anak laki-laki bernama La Mappaiyyo.

La Mappaiyyo kawin di Pammana dengan perempuan yang bernama We Tenri Dio anak dari La Gau Arung Maiwa Datu Pammana yang juga sebagai Pilla di Wajo dengan isterinya yang bernama We Tenri Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne. La Mappaiyyo inilah yang dibunuh oleh iparnya yang bernama La Dolo (La Tenri Dolo), karena sifatnya tidak akan menuruti perintah iparnya. Pembunuhan terhadap La Mappaiyyo membuat La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng marah besar dan mencari La Tenri Dolo untuk melakukan pembalasan.

Oleh karena itu La Tenri Dolo melarikan diri ke Kamboja dan akhirnya kawin dengan anak Raja Kamboja disana. Dari perkawinannya dengan anak Raja Kamboja, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ambaralana. Selanjutnya Ambaralana melahirkan Raja Sitti yang kawin di India. Inilah yang melahirkan Nonci, orang kayanya Islam di Singapura.

Isteri selanjutnya bernama We Sitti melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Benni. Inilah yang kawin dengan La Mattugengkeng Daeng Mamaro Ponggawa Bone. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenriawaru Arung Lempang yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Temmassonge’.

Isteri berikutnya E Saira Karobba satu anaknya bernama E Jalling. Selanjutnya isteri kesebelas bernama E Sanrang orang Soppeng melahirkan satu anak perempuan meninggal diwaktu kecil.

Isteri La Patau Matanna Tikka yang berikut adalah E Yati, satu anaknya perempuan bernama E Kima. Selanjutnya yang bernama E Rupi, satu anaknya tapi meninggal setelah lahir.

La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng memiliki anak pattola (putra mahkota) dua di Luwu dari isterinya bernama We Ummung Datu Larompong yakni ; Batari Toja Daeng Talaga dan We Patimana Ware. Sedangkan dari isterinya di Gowa yang bernama We Mariama Karaeng Pattukkangang memiliki lima anak. Tetapi hanya tiga yang dianggap mattola, yakni ; La Pareppai To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.

La Temmassonge’ anak Datu Baringeng adalah – ana’ sengngeng mallinrungngi ri ana’ mattolaE (putra mahkota yang terselubung) karena dia dilahirkan setelah Petta To RisompaE meninggal dunia. Oleh karena itu, La Temmassonge’ dikatakan – cera’i rimannessaE, sengngengi ri mallinrungE. Artinya yang diketahui oleh orang banyak dia hanyalah anak cera’ (bukan putra mahkota), tetapi sesungguhnya dia adalah anak sengngeng (putra mahkota). Tidak satupun saudaranya yang mengetahui kalau La Temmassonge’ itu adalah juga putra mahkota, kecuali Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna.

Selain itu, La Patau memiliki 29 anak cera’ dan anak rajeng. Tetapi kesemua itu tidak memiliki hak untuk mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Arumpone.

Arumpone La Patau Matanna Tikka dikenal sebagai seorang Mangkau’ yang sangat menghargai adat istiadat. Ia sangat tidak senang kalau kebiasaan-kebiasan yang berlaku dalam masyarakat diubah. Dia sangat membenci orang yang suka mengisap madat (candu) dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat. Dua anaknya yang disuruh bunuh karena memiliki kesenangan mengisap madat.

Dengan demikian pada masa pemerintahannya di Bone, semua adat istiadat berjalan dengan baik. Tidak seorangpun yang berani melanggar, sebab sedangkan anak sendirinya disuruh bunuh kalau melakukan pelanggaran. Dia tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.

Dimasa pemerintahannya, dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa yang berarti melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 M. ketika Sule DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Untung saja sebelum perang berkobar, Kompeni Belanda cepat-cepat turun tangan dengan menenangkan kedua belah pihak.

Kedua , yaitu pada tahun 1709 M. ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri yang dikenal tidak memandang bulu, maka La Padassajati To Appaware melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada neneknya.

Karena permintaan Arumpone bersama Hadat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum.

Sementara rencana perang antara Bone dengan Gowa menunggu saat yang tepat untuk dimulai, tiba-tiba KaraengE ri Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau Matanna Tikka menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Hal inipun langsung ditengahi oleh Kompeni Belanda, sehingga perang antara Bone dengan Gowa yang berarti perang antara anak dengan ayah dapat dihindari.

La Patau Matanna Tikka pulalah yang pertama mengangkat Matowa bagi orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Ujungpandang ada yang memimpinnya dan melihat keadaan sehari-harinya. Pada waktu itu La Patau Matanna Tikka disamping sebagai Mangkau’ di Bone, juga sebagai Ranreng Towa di Wajo. Orang yang diangkat sebagai Matowa adalah La Patelleng Amanna Gappa. Makanya La Patelleng Amanna Gappa dinamakan Matowa Wajo.

Dalam tahun 1714 M. Arumpone La Patau Matanna Tikka membuka arena penyabungan ayam dan mengundang seluruh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo). Datanglah Arung Matowa Wajo yang bernama La Salewangeng To Tenri Ruwa yang mengikutkan kemanakannya yang bernama La Maddukkelleng Daeng Simpuang Puanna La Tobo Arung Peneki. Arung Matowa Wajo yang bertaruh ayam dengan orang Bone dan ayam Arung Matowa Wajo sempat membunuh ayam orang Bone.

Karena pengawal Arumpone merasa malu, tiba-tiba seorang anak bangsawan Bone mengambil bangkai ayam tersebut dan melemparkan ketengah kelompok orang Wajo. Bangkai ayam tersebut kebetulan mengenai Arung Matowa Wajo yang berada ditengah-tengah orang Wajo. Hal ini membuat La Maddukkelleng marah dan mengamuk. Dengan mata gelap, ia memburu dan menikam orang yang melemparkan bangkai ayam tersebut sampai meninggal ditempat. Setelah itu, La Maddukkelleng melarikan diri kembali ke Wajo.

Beberapa hari kemudian, pergilah utusan Bone untuk meminta kepada Arung Matowa Wajo agar La Maddukkelleng diserahkan ke Bone. Kepada utusan Bone, Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng telah menyeberang ke Kalimantan. Sejak itulah La Maddukkelleng menetap di Kalimantan dan menjadi Arung di Pasir. Untuk kembali ke Wajo, memang sangat sulit. Sebab selalu ditunggu oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk dihukum.

Dalam tahun 1714 M. itu pula La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang Sultan Idris Alimuddin meninggal dunia di Nagauleng Cenrana. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Nagauleng.

  17. BATARI TOJA DAENG TALAGA MATINROE RI TIPPULUNNA

(1714 – 1715)

Batari Toja Daeng Talaga menggantikan ayahnya La Patau Matanna Tikka menjadi Mangkau’; di Bone, karena dialah yang dipesankan oleh ayahnya sebelum meninggal dunia. Disamping sebagai Arumpone, Batari Toja juga sebagai Datu Luwu dan Datu Soppeng. Sebelumnya Batari Toja diangkat sebagai Arung Timurung, nanti setelah diangkat menjadi Arumpone, barulah Timurung diserahkan kepada adiknya yang bernama We Patimana Ware. We Patimana Ware inilah disamping sebagai Arung Timurung, juga sebagai Datu Citta.

Batari Toja dianbgkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 17 Oktober 1704 M. dan diberi gelar Sultanah Zaenab Zakiyatuddin. Batari Toja kawin dengan Sultan Sumbawa yang bernama Mas Madinah. Tetapi perkawinan itu tidak berlangsung lama akhirnya bercerai sebelum melahirkan anak. Perkawinan ini memang hanya memenuhi pesan La Tenri Tatta Petta To RisompaE semasa hidupnya yang menghendaki Batari Toja dikawinkan dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah.Batari Toja resmi diceraikan oleh Mas Madinah pada tanggal 27 Mei 1708 M.

Sultan Sumbawa kemudian kawin di Sidenreng dengan perempuan yang bernama I Rakiyah Karaeng Agangjenne. Perkawinannya itu membuat Batari Toja marah, I Rakiyah dikeluarkan sebagai Karaeng Agangjenne, sehingga pergi ke Sumbawa bersama suaminya. Perkawinan I Rakiyah dengan Sultan Sumbawa Mas Madinah melahirkan seorang anak perempuan yang bernama I Sugiratu. Karaeng Agangjenne adalah anak mattola (pewaris) dari La Malewai Arung Berru. I Rakiyah Karaeng Agangjenne adalah anak dari La Malewai Arung Berru Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama I Sabaro anak Karaeng Karunrung Tu Mammenanga ri Ujungtana.

Batari Toja Daeng Talaga lahir pada tahun 1668 M. kemudian diangkat menjadi Mangkau’ di Bone pada tanggal 19 September 1714 M. Karena pada saat itu banyak upaya-upaya dari orang lain untuk menghalanginya, maka Batari Toja menyerahkan kepada saudaranya yang berada di Gowa. Batari Toja minta perlindungan kepada saudaranya yaitu La Pareppai To Sappewali SombaE ri Gowa . Sementara akkarungengE ri Bone diserahkan kepada saudaranya yang bernama La Padassajati To Appamole Arung Palakka.

La Padassajati disetujui oleh Adat bersama Arung PituE untuk menjadi Arumpone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga.

18. LA PADASSAJATI TO APPAWARE

(1715 – 1718)

La Padassajati To Appaware juga adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dengan isterinya We Mariama Karaeng Pattukangang. Ketika La Patau menjadi Mangkau’ di Bone, La Padassajati To Appaware membuat kesalahan besar dengan hukuman yang sangat berat.

Karena dia takut kepada ayahnya yang dikenal sangat menjunjung tinggi adat serta tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum, maka La Padassajati melarikan diri ke Gowa. Di sana ia minta perlindungan kepada neneknya KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu La Patau Matanna Tikka minta kepada KaraengE ri Gowa untuk mengembalikan La Padassajati ke Bone untuk diadili oleh adat.

Tetapi KaraengE ri Gowa tidak sampai hati untuk memberikan cucunya itu untuk menjalani hukuman berat di Bone. Hal ini membuat hubungan antara Bone dengan Gowa menjadi tegang dan nyaris menimbulkan peperangan.

Untung Kompeni Belanda cepat-cepat menengahinya. Karena La Patau Matanna Tikka sudah bertegas untuk memberi tindakan tegas kepada Gowa kalau anaknya itu tidak dikembalikan ke Bone untuk menjalani hukuman. Sementara Karaeng E ri Gowa juga bertegas untuk tidak akan memberikan cucunya itu.

Setelah ayahnya meninggal dunia, barulah La Padassajati kembali ke Bone. Batari Tojalah yang mengembalikan adiknya itu ke Bone yang kemudian memberinya akkarungeng (Mangkau’) di Bone dan Datu Soppeng pada tanggal 14 Oktober 1715 M.

Adapun kesalahan yang dilakukan La Padassajati pada masa pemerintahan ayahnya adalah dia menyuruh untuk membunuh Arung Ujumpulu Datu Lamuru yang bernama La Cella anak dari La Malewai Arung Ujumpulu Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dengan isterinya yang bernama We Karoro Datu Lamuru. La Padassajati menyuruh orang mencekiknya sampai mati.

Tindakan La Padassajati ini membuat TellumpoccoE marah dan disuruh tangkaplah La Padassajati untuk dijatuhi hukuman. Untuk menghindari hukuman tersebut La Padassajati disuruh mengungsi ke Beula. Di sanalah ia meninggal dunia sehingga digelar MatinroE ri Beula.

19. LA PAREPPAI TO SAPPEWALI

(1718 – 1721)

La Pareppai To Sappewali menggantikan saudaranya La Padassajati menjadi Mangkau’ di Bone. Inilah anak tertua dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Pattukangang.

La Pareppai To Sappewali di samping sebagai Arumpone, dia juga sebagai Somba ri Gowa dan Datu di Soppeng. Dia menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa pada tahun 1709 M. Dia pula diberi nama Sultan Ismail yang disebut dalam khutbah Jumat.

Ketika menjadi Karaeng ri Gowa, ia bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi permusuhan tersebut berakhir dengan kekalahan Gowa dari serangan Bone.

Karena La Pareppai To Sappewali kelihatannya tidak terlalu menguasai pemerintahan, maka pada tahun 1711 M. dia meletakkan Akkarungeng di Gowa, Bone dan Soppeng. Ketika ia meninggal dinamakan MatinroE ri Somba Opu.

Anaknya kawin dengan We Gumittiri yang melahirkan La Muanneng yang kemudian menjadi Arung Pattiro. La Muanneng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Pakkemme’ Arung Majang, anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama Sitti Abiba.

La Muanneng dengan We Tenri Pakkemme’ melahirkan anak yang bernama La Pajarungi Daeng Mallalengi Arung Majang. Selanjutnya La Muanneng dengan We Gumittiri melahirkan La Massellomo yang menjadi Ponggawa Bone. Inilah yang dinamakan Ponggawa Bone LaoE ri Luwu. La Massellomo kawin dengan Petta ri Batu Pute, melahirkan anak laki-laki yang bernama La Massompongeng, inilah yang menjadi Arung Amali.

Kamudian La Massellomo kawin lagi dengan We Camendini Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappesangka Daeng Makkuling. Inilah yang kawin dengan Besse Tanete Karaeng Bulukumba.

Selanjutnya La Massellomo kawin lagi dengan Arung Tajong. Dari perkawinannya ini lahir La Mappapenning To Appaimeng Daeng Makkuling. Kawin dengan sepupu satu kali ayahnya yang bernama I Mida Arung Takalara anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo, We Yallu Arung Apala, We Oja dan We Banrigau.

Adapun saudara perempuan La Massellomo bernama We Senradatu Sitti Amira Arung Palakka MatinroE ri Lanna. Inilah yang kawin di Mangkasar dengan Makasuma yang kemudian melahirkan I Sugiratu. Karena bercerai dengan Makasuma, maka kawin lagi dan melahirkan We Besse Karaeng Leppangeng. Dengan demikian I Sugiratu dengan We Besse Karaeng Leppangeng bersaudara, tetapi lain ayahnya.

I Sugiratu kawin dengan Arung Ujung anak dari To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi dengan isterinya yang bernama Karaeng Pabbineya. Dari perkawinan itu, lahirlah La Umpu Arung Teko. Selanjutnya We Besse Karaeng Leppangeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Massompongeng Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Rukiyah.

We Rukiyah kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Umpu Arung Teko yang juga sebagai Arung Ujung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Bau Arung Kaju. Kemudian We Bau kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Mappasessu Arung Palakka anak dari La Tenri Tappu dengan isterinya We Padauleng Arung Timurung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Baego Arung Macege.

We Besse kemudian kawin lagi dengan To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE. Dari perkawinan yang kedua ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama To Appasawe Arung Berru. To Appasawe inilah yang kawin dengan Arung Paopao yang bernama Hatijah, anak dari La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama Sitti Abiba. To Appasawe dengan Arung Paopao melahirkan anak laki-laki bernama Sumange’ Rukka To Patarai.

Sumange’ Rukka To Patarai kawin dengan anak sepupunya yang bernama We Baego Arung Macege, anak dari We Bau Arung Kaju dengan suaminya yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinan Sumange’ Rukka dengan We Baego Arung Macege, lahirlah We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

La Pareppai To Sappewali meninggal dunia di Somba Opu, makanya dinamakan MatinroE ri Somba Opu. Digantikan oleh saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi menjadi Mangkau’ di Bone.

20. LA PANAONGI TO PAWAWOI

(1721 – 1724)

Dengan diangkatnya La Panaongi To Pawawoi sebagai Arumpone menggantikan saudaranya, maka telah tiga bersaudara dari isteri La Patau Matanna Tikka yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang yang menjadi Mangkau’ di Bone dan juga Datu di Soppeng. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Panaongi To Pawawoi dikenal sebagai Arumpone yang berhati jernih dan dicintai oleh rakyatnya.

La Panaongi kawin dengan We Sitti Hawang Daeng Masennang, anak dari To Ujama. Dari perkawinan itu, lahirlah La Page Arung Mampu yang juga sebagai Arung Malolo di Bone. Ketika masih kecil, La Panaongi dipelihara oleh neneknya yang bernama La Pariusi Daeng Manyampa Arung Mampu yang juga sebagai Arung Matowa Wajo MatinroE ri Buluna. Pada saat itulah dia diwariskan oleh neneknya Akkarungeng ri Mampu, Sijelling dan Amali. Oleh karena itu sebelum menjadi Arumpone La Panaongi To Pawawoi telah dikenal sebagai Arung Mampu, Arung Sijelling dan Arung Amali.

Anak La Panaongi To Pawawoi dari isterinya We Sitti Hawang yang bernama La Page Arung Mampu Arung Malolo bi Bone, kawin dengan We Cenra Arung Bakung. Dari perkawinan itu lahirlah dua anak laki-laki, yang pertama bernama La Maddussila Arung Mampu, kedua bernama La Pasampoi Arung Kading.

Kemudian La Page Arung Mampu Arung Malolo di Bone kawin lagi dengan We Saloge Arung Weteng. Dari perkawinan itu, lahirlah; pertama La Mappaware Arung Tompo’bulu, kedua La Mappangara Arung Sinri To Marilaleng Bone Pawelaiye ri SessoE, ketiga We Masi Arung Weteng.

We Masi kawin dengan To Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Dari perlawinannya itu, lahir dua anak laki-laki; pertama bernama La Mappaware Arung Tompo’bulu, kedua La Mappangara Arung Sinri, inilah yang menjadi To Marilaleng Pawelaiye ri SessoE.

La Mappangara Arung Sinri, inilah yang melahirkan Haji Abdul Razak seorang ulama’ besar yang memiliki ilmu agama Islam yang sangat luas saat itu. Untuk lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya, Haji Abdul Razak mengunjungi seorang ulama’ ahli tasauf di Berru yang bernama Haji Kalula (Haji Muhammad Fadael). Tarekat yang dipelajari dari Haji Kalula tersebut adalah Tarekat Khalwatiyah.

Ketika ulama besar Tarekat Khalwatiyah yang bernama Haji Kalula meninggal dunia, digantikanlah oleh Haji Abdul Razak sebagai ulama’ besar (Anre Guru Lompo). Selanjutnya setelah Haji Abdul Razak meninggal dunia, maka Anre Guru Lompo Tarekat Khalwatiyah beralih lagi kepada anaknya yang bernama Haji Abdullah. Ketika Haji Muhammad Abdullah meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1967 M. digantikan lagi oleh anaknya yang bernama Haji Muhammad Saleh Daeng Situru. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama Haji Muhammad Amin Daeng Manaba.

Beralih kepada To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE yang bernama To Tenri, anak dari We Maisuri dengan suaminya Petta Tobala, Petta PakkanynyarangE Jennang Bone. Sementara We Maisuri adalah anak dari We Daompo dengan suaminya La Uncu Arung Paijo.Sedangkan Tobala Petta PakkanynyarangE adalah anak dari Ponggawa DinruE ri Bone. We Daompo dengan Ponggawa DinruE ri Bone bersaudara kandung, keduanya adalah anak dari MatinroE ri Bukaka.

Dalam tahun 1724 M. La Panaongi meletakkan AkkarungengE ri Bone dan Soppeng, digantikan kembali oleh saudaranya dari Luwu yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Dengan demikian, Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone untuk kedua kalinya.

  21. BATARI TOJA DAENG TALAGA

(1724 – 1749)

Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi. Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali menjadi Datu di Luwu dan Soppeng.

Batari Toja kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Oki yang tinggal di Ajattappareng. Akan tetapi La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu kali La Oki mengawinkan dengan anaknya yang bernama We Tungke. Oleh karena itu, Batari Toja membatalkan perkawionannya dengan La Oki. Pada tahun 1716 M. Batari Toja kawin dengan Arung Kaju yasng bernama Daeng Mamutu.

Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.

Setelah Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun segera menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut diusir untuk meninggalkan Bone.

Dalam tahun 1735 M. La Maddukkelleng Arung Peneki yang juga sebagai Sultan Pasir di Kalimantan berniat untuk kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi pada saat itu, La Maddukkelleng belum bisa menginjakkan kakinya di wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) karena kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo masih merupakan wilayah kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa pemerintahan La Tenri Tatta Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan La Maddukkelleng meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena memperbuat kesalahan terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka.

Arung Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk meninggalkan Bone, pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa menunggu kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan. Karaeng Bonto Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena dinilai sangat dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja. Dengan demikian, Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto Langkasa dan La Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk melepaskan Wajo dari kekuasan Bone.

Sementara Karaeng Bonto Langkasa ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di Gowa dan Bone, sehingga menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng Mamutu yang memang berniat merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari Toja Daeng Talaga.

Adapun Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang Bone untuk melawan Arumpone.

Setelah membumi hanguskan Bone, La Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan) Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To RisompaE. Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Bone. Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo menggantikan pamannya.

Pergilah La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk memanggil Sitti Napisa Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat menjadi Arumpone. Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah Karaeng Langelo ke Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng.

Selain itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat Bone.

Oleh karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi Arumpone berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah kembali ke Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul Rasyid ke Tanah Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di Belawa Orai, Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.

Ketika sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta. Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone ke Balannipa menemui La Pamessangi.

La Pamessangi kembali ke Bone bersama Kadhi Bone. Ia mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara Suppa. Pada sat itu La Pamessangi menyuruh anaknya yang bernama La Sangka untuk tinggal menjadi Datu di Suppa. Setelah bermalam tiga malam di Suppa, datanglah orang Alitta bersama Pabbicara Suppa di Alitta untuk menemuinya. Lalu La Pamessangi menyuruh lagi anaknya yang bernama La Posi untuk menjadi Arung di Alitta. Tiga malam di Alitta baru pergi di Belawa. Setelah bermalam satu malam di Belawa datanglah semua orang Belawa, orang Wattang, orang Timoreng memberi ucapan selamat ditandai dengan pemberian 10 gantang beras untuk satu kampung.

Setelah empat malam di Belawa dikumpulkanlah orang Belawa dan menyampaikan bahwa La Raga yang akan diangkat menjadi Arung di WattangE. Hal ini disetujui oleh orang Belawa, berdirilah MatowaE sambil berkata ; ”Dengarkanlah wahai orang Belawa bahwa La Raga kita angkat sebagai Arung ri Belawa”.

Sesudah diserahkan AkkarungengE ri Belawa kepada La Raga, Petta MatowaE bersama Kadhi Bone melanjutkan perjalanannya ke Bone.

Ketika Batari Toja berusia tua dan kelihatan semakin lemah, Adat bertanya kepadanya tentang siapa nantinya yang bakal menggantikannya untuk melanjutkan pemerintahannya di Bone. Lalu Batari Toja menunjuk saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng Ponggawa Bone. Mendengar itu, Arung Kaju berkata ;Tennakkarungi cera’ TanaE ri Bone, tennatola rajeng akkarungengE ri Bone” (Yang bukan putra mahkota tidak bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, sedangkan Mangkau’E ri Bone tidak bisa digantikan oleh orang yang kebangsawanannya hanya dari ayah).

Karena merasa tersinggung dengan kata-kata Arung Kaju, La Temmassonge’ menunggu Arung Kaju didekat tangga dan menikamnya sehingga meninggal dunia. Kematian Arung Kaju dikomentari oleh Arumpone Batari Toja bahwa lantaran mulutnya Arung Kaju yang mengatakan La Temmassonge’ hanyalah cera’ sehingga dia meninggal dunia.

Dalam tahun 1749 M. Batari Toja Daeng Talaga meninggal dunia di TippuluE sehingga dinamakan MatinroE ri Tippulunna. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng.

22. LA TEMMASSONGE TO APPAWELING

(1749 – 1775)

La Temmassonge To Appaweling nama kecilnya adalah La Mappasossong. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga, ia telah menjadi Arung Baringeng dan Ponggawa Bone. Disamping itu ia pernah pula menjadi Tomarilaleng di Bone pada masa pemerintahan Batari Toja.

Dia adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng Arumpone yang ke 16 yang menggantikan pamannya La Tenri Tatta MalampeE Gemme’na. Menurut garis keturunannya, dia bukanlah putra mahkota ( anak pattola ) karena ibunya bukan-lah Arung Makkunrai (permaisuri). Oleh karena itu La Temassonge' hanyalah dipandang sebagi cera’ rimannessaE – sengngengngi ri mallinrungE. Artinya pada kenyataannya dia adalah anak cera’, tetapi sesungguhnya adalah anak sengngeng (putra mahkota).

Hal ini terjadi karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.

Tetapi karena putra mahkota sudah tidak ada lagi yang bisa diangkat sebagai Mangkau di Bone pada saat itu, maka pilihan dialihkan kepada La Temmassonge’ untuk diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Posisi La Temmassonge’ sebagai cera ri mannessaE – sengngengngi ri mallinrungE , hanya diketahui oleh saudaranya Batari Toja. Dengan demikian, sebelum meninggal dunia, Batari Toja telah berpesan bahwa yang bakal menggantikannya kelak adalah La Temmassonge’ To Appaweling.

Pada saat-saat terakhir Batari Toja dia dirawat oleh La Temmassonge’ karena Batari Toja menganggap bahwa La Temmassonge’adalah saudaranya yang paling dekat.Itulah sebabnya sehingga banyak putra bangsawan Bone yang menganggap bahwa La Temmassonge’ tidak pantas untuk diangkat menjadi Arumpone, terutama keluarga Arung Kaju yang pernah dibunuhnya. Itu pula sebabnya sehingga Akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung sejak tahun 1749 M. dan nantilah pada tahun 1752 M. baru dilantik sebagai Arumpone.

Untuk itu La Temmassonge’ minta dukungan Kompeni Belanda di Ujungpandang agar kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone bisa dikukuhkan. Datang pula Arung Berru dan Addatuang Sidenreng meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda di Makassar agar kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone segera dikukuhkan.

Karena desakan Arung Berru dan Addatuang Sidenreng yang bernama To Appo, yang kemudian didukung oleh Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Asmaun, maka para anggota Hadat Bone kembali menerima La Temmassonge sebagai Mangkau’ di Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752 M.

Adapun isteri La Temmassonge’ yang diakui sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah anak dari Maulana Muhammad dengan isterinya. Datu Rappeng. We Mommo Sitti Aisah adalah cucu langsung dari Seikh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.

Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Asmaun masuk ke Bone untuk menenangkan situasi dan setelah semua permasalahan dianggap selesai dan kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone dianggap aman, upaya-upaya untuk merebut kekuasan terhadap La Temmassonge’ telah tidak ada, barulah Pembesar Kompeni Belanda membenarkan La Temmassonge’ untuk menetap di Bone.

Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’ memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh dalam beribadah.

La Temmassonge’ dikenal sebagai Mangkau di Bone yang memiliki banyak anak.Dalam catatan terdapat kurang lebih 80 dengan jumlah isteri yang tidak sempat dihitung. Namun isteri yang dianggapnya sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah cucu dari Tuanta Salamaka ri Gowa.

Adapun anak-anak dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah; La Baloso To Akkaottong, inilah yang menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang, lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.

Satu lagi anaknya bernama La Cuwa Arung Lempang, selanjutnya bernama La Balo Ponggawa Pelaiyengi Pattimpa. Berikutnya bernama We Daraima dan We Maukati. Inilah yang kawin dengan La Sau Arung Kalibbong. Selanjutnya bernama We Tenripappa MajjumbaE , inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. La Maddinra Arung Rappeng adalah anak saudara La Baloso yang bernama La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro.dari isterinya yamg bernama We Tenri Ona Arung Rappeng..

Dari perkawinan We Tenripappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng Betti’E lahirlah We Tenri. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau’ Arung Pattojo Ponggawa Bone, We Tenri Pasabbi Arung Rappeng, La Palettei Ponggawa Bone, La Wawo, La Mappajanci, We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, La Massalewe, We Pana dan We Sompa Arung Baleng.

We Tenri Pasabbi Arung Gilireng kawin dengan To Allomo CakkuridiE di Wajo. Dari perkawinan itu lahirlah La Tulu CakkuridiE di Wajo. Berikutnya We Maddilu Arung Bakung, inilah yang kawin dengan La Kuneng Addatuang ri Suppa Arung Belawa Orai. Dari perkawinan itu lahirlah ; We Time Addatuang Sawitto, We Cinde Addatuang Sawitto MatinroE ri Polejiwa, La Cibu Ponggawa Bone Addatuang Sawitto, La Tenri Lengka Datu Suppa, We Maddika atau We Tenri Lippu Daeng Matana Arung Kaju, We Pada Uleng Arung Makkunrai MatinroE ri Sao Denrana dan Muhammad Saleh Arung Sijelling dan sebagai Arung Alitta.

Selanjutnya adik We Maddilu Arung Bakung adalah We Padauleng atau We Tenri Pada , kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo.

Kemudian anak La Temmassonge’ yang merupakan adik dari La Baloso adalah We Pakkemme, inilah yang menjadi Arung Majang. We Pakkemme kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppai To Sappewali MatinroE ri Somba Opu dengan isterinya yang bernama We Gumittiri.

Berikutnya adik We Pakkemme adalah We Tenri Olle, inilah yang menjadi Datu Bolli. We Tenri Olle kawin dengan La Mappajanci Daeng Massuro Datu Soppeng. Oleh karena itu La Mappajanci disebut juga sebagai PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung. La Mappajanci Datu Soppeng adalah anak dari PajungE ri Luwu yang bernama La Mappassili Arung Pattojo MatinroE ri Duninna.

We Tenri Olle dengan La Mappajanci melahirkan anak yang bernama La Mappapole Onro, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Berikutnya bernama We Tenri Ampareng Arung Lapajung, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Barugana.

Adik We Tenri Olle adalah We Rana, inilah yang menjadi Ranreng Towa di Wajo. Kawin dengan La Toto Arung Pallekoreng, anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama I Yabang. Dari perkawinan itu lahirlah Sitti Hudaiya Ranreng Towa Wajo. Inilah yang kawin dengan La Tenri Dolo Arung Telle. Selanjutnya lahir Amirah Ranreng Towa Wajo.

Amirah kawin dengan La Pabeangi Petta TurubelaE anak dari We Tungke MajjumbaE dengan suaminya yang bernama La Cella Patola Wajo. Dari perkawinan Amirah dengan La Pabeangi, lahirlah We Panangareng Arung Tempe Selatan. Selanjutnya La Pawellangi PajumperoE Ranreng Tuwa dan Arung Matowa Wajo.

Selanjutnya adik dari We Rana adalah We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. We Hamidah kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapenning Daeng Makkuling Ponggawa Bone MatinroE ri Tasi’na. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu kawin dengan We Tenri Pada atau We Padauleng anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya We Tenriawaru Arung Lempang. Adik La Tenri Tappu adalah We Yallu Arung Apala. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya La Unru Datu Pattiro, La Mata Esso, We Dende dan We Tenri Kaware Arung Balusu.

Karena We Mommo Sitti Aisah meninggal dunia, maka Arumpone La Temmassonge mengawini adiknya yang bernama Sitti Habiba. Dari perkawinannya itu, lahirlah; La Massarasa Arung Pallengoreng, La Palaguna Arung Nangka dan juga Arung Ugi serta Dulung Awang Tangka. Anak La Palaguna kemudian menjadi Arung Lamatti.

Berikutnya bernama La Patonangi atau La Tone, inilah yang menjadi Arung Amali. La Patonangi kawin dengan We Kamummu Arung Bungkasa. Anak berikutnya berada di Luwu yang bernama La Makkasau Arung Kera juga sebagai Dulung Pitumpanuwa. La Makkasau kawin dengan We Kambo Opu Daeng Patiware anak dari We Tenriwale Daeng Matajang MatinroE ri Limpo Paccing dengan suaminya yang bernama La Tenri Tadang Pallempa Walenrang. Ini adalah cucu dari We Patimana Ware saudara MatinroE ri Tippulunna.

La Makkasau dengan We Kambo Opu Daeng Patiware melahirkan anak ; pertama bernama La Riwu To Paewangi Pallempa Walenrang, kedua bernama La Ewa Opu To Palinrungi, ketiga bernama La Waje Ambo’na Riba Arung Kera Dulung Pitumpanuwa, keempat bernama We Pada Daeng Malele, kelima bernama We Biba Daeng Talebbi.

Semua adik La Makkasau berada di Luwu, kecuali We Seno Datu Citta. We Seno Datu Citta kawin dengan La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete , anak dari We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang Tanete dengan suaminya yang bernama La Mallarangeng To Pasamangi Datu Mario Riwawo juga sebagai Datu Lompulle.

We Seno dengan La Maddussila melahirkan anak ; pertama bernama La Bacuapi , inilah yang menjadi Datu di Citta juga sebagai Dulung Ajangale MatinroEb ri Kananna ri Leangleang pada saat berperangnya Arumpone To Appatunru dengan Inggeris pada tahun 1814. Kedua bernama We Kajao Datu Citta, ketiga bernama We Hatija Arung Paopao.

We Hatija Arung Paopao kawin dengan To Appasawe Arung Berru, anak dari To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE dengan isterinya yang bernama We Besse Karaeng Leppangeng. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Sumange’ Rukka Arung Berru masuk ke Bone kawin dengan We Baego Arung Macege anak dari Arumpone yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata dengan isterinya yang bernama We Bau Arung Kaju. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Pada Arung Berru.

Saudara We Seno yang bernama We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone, anak dari To Appo Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Panidong Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka Ambo Pajala. Inilah yang kawin dengan We Tenri Kaware Arung Saolebbi juga sebagai Arung Balosu anak dari La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na.

Sumange’ Rukka Ambo Pajala dengan We Tenri Kaware melahirkan La Passamula BadungE Arung Balosu. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak dari La Unru Datu Soppeng dengan isterinya We Mariyama Mabbaju LotongE. Selanjutnya We Bonga Petta Indo I Lampoko dengan suaminya La Passamula Bau Baso Arung Balosu, inilah yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng.

Saudara La Passamula BadungE yang lain bernama La Patongai, inilah yang menjadi Datu di Pattiro. La Patongai kemudian kawin dengan We Panangareng Datu Lompulle anak dari La Rumpang Megga Dulung Ajangale, juga sebagai Datu Lamuru dan Mario Riwawo.Disamping itu, La Rumpang Megga juga sebagai Karaeng di Tanete.Dari perkawinan We Panangareng dengan La Patongai, lahirlah La Onro Datu Lompulle dan Datu Soppeng MatinroE ri Galung.

La Onro kawin di Wajo dengan We Cecu Arung Ganra yang juga sebagai Arung Belawa, anak dari To Lempeng Arung Singkang yang juga sebagai Datu Soppeng MatinroE ri Larompong. La Onro dengan We Cecu melahirkan anak bernama La Pabeangi Arung Ganra yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng. Selanjutnya La Pabeangi kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Sitti Zaenab Arung Lapajung yang juga sebagai Datu Soppeng, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo Arung Singkang dengan suaminya La Walinono Datu Botto.

Anak La Onro dengan We Cecu yang lain bernama We Soji Datu Madello. Inilah yang kawin dengan La Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau, anak La Tune Arung Bettempola dengan isterinya yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang. Anak yang lain bernama La Rumpang Datu Pattiro, inilah yang kawin dengan We Bebu Datu Suppa tidak melahirkan anak. Kemudian La Rumpang kawin dengan We Tappa, lahirlah La Makkulawu yang menjadi Ranreng Talotenre.

Selanjutnya La Onro kawin lagi dengan We Dulung, lahirlah La Cube yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan La Sana Arung Lompengeng yang digelar Jenderal Lompengeng.

Anak La Temmassonge’ yang lain dari isterinya yang bernama Sitti Habiba, adalah La Potto Kati Datu Baringeng Ponggawa Bone yang juga sebagai Arung Attang Lamuru. Inilah yang kawin dengan anak Karaeng Agang PancaE dengan Karaeng Popo. Dari perkawinannya itu, lahirlah anaknya; pertama bernama Sitti Hawang Arung Ujung , kedua bernama La Tadampare To Appotase Arung Ujung.

Sitti Hawang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Gau Ambo Pacubbe Arung Tanete. Sedangkan La Tadampare To Appotase kawin dengan Hidayatullah Colli’ PujiE Arung Pancana, anak dari La Rumpang Megga Arung Tanete MatinroE ri Muttiara dengan isterinya yang bernama Sitti Patimah Colli’ PakuE Daeng Tarape.

Dari perkawinan La Tadampare atau La Tenrengeng dengan Colli’ PujiE, lahirlah anak; pertama bernama We Gasi Arung Atakka, kedua bernama La Makkarumpa Arung Ujung , ketiga bernama We Tenri Olle Arung Tanete.

Saudara dari Sitti Hawang yang lain adalah; pertama bernama La Kaseng Arung Raja, kedua bernama La Supu Arung Suli. Selanjutnya We Tenri Olle Arung Tanete kawin dengan La Sangaji Arung Bakke anak dari La Mappatola Arung Bakke dengan isterinya yang bernama We Pada Datu Mario Attassalo. Dari perkawinan La Sangaji Datu Bakke dengan We Tenri Olle Arung Tanete, lahirlah ; pertama We Pancai’tana Bunga WaliE Datu Tanete, kedua bernama We Pattekke Tana Tonra LipuE Arung Lalolang, ketiga bernama La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke.

We Pattekke Tana Arung Lalolang kawin dengan La Mappa Arung Pattojo, anak dari La Sunra Karaeng Cenrapole dengan isterinya yang bernama We Nillang Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Unru Sulewatang Tanete dan We Tenri Aminah.

La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bube Arung Panincong, anak dari La Malleleang Datu Mario Riawa Attassalo dengan isterinya We Pabuka Arung Panincong. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama Baso Jaya Langkara Datu Tanete, kedua Besse Panincong, ketiga We Canno atau We Suhera Datu Bakke.

La Rajamuda Datu Bakke kawin lagi dengan We Daruma Petta Indo’na Cella. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Mastura Petta Karaeng.

Selanjutnya Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan Sitti Sapiyah anak Arung Letta. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro Ponggawa Bone. Puanna La Tenro kawin dengan We Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne, anak dari We Tenri Leleang Datu Luwu MatinroE ri Soreang. Dari perkawinan We Yabang Datu Watu dengan Puanna La Tenro, lahirlah We Muanneng dan La Tatta Petta Ambarala Ambo’ Paggalung.

We Muanneng kawin dengan La Sibengngareng Arung Alitta, anak dari La Posi Arung Alitta dengan isterinya yang bernama We Tenriangka. We Muanneng dengan La Sibengngareng melahirkan anak, yaitu; We Lewa, La Dadda, La Paduppai dan We Nandong.

We Lewa Arung Alitta kawin dengan La Rumanga Karaeng Barang Patola, anak dari We Ninnong Arung Tempe dengan suaminya yang bernama La Patarai Arung Lamunre. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; La Pamessangi Petta Towa. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama E Maragau Daeng Nadi, anak dari La Pawelloi Petta Datu ri JampuE dengan isterinya yang bernama E Kutana. E Maragau dengan Petta Towa melahirkan anak yang bernama We Patima Arung Lerang. Inilah yang kawin dengan La Bode Karaeng Jampu anak dari We Passulle, Addatuang Sawitto dengan suaminya La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone.

We Patima Arung Lerang dengan suaminya La Bode Karaeng Jampu melahirkan anak yang bernama Daeng Rawisa Mabbola SadaE Arung Jampu. Inilah yang kawin dengan I Koso Karaeng Allu. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawelloi. Kemudian La Pawelloi kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Tenri anak dari We Dalaintang dengan suaminya To Sangkawana. Dari perkawinan We Tenri dengan La Pawelloi lahirlah La Parenrengi Bau Ila dan E Siseng Bau Polo.

Adapun La Tatta Petta Ambarala kawin dengan orang Melayu yang bernama Encik Sitti Mainong. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pakkamunri Daeng Patobo. Inilah yang melahirkan La Maddiolo Daeng Pabeta. Selanjutnya La Maddiolo Daeng Pabeta melahirkan Bumihari. Bumihari inilah yang kawin dengan Encik Hatibe Abdullah Saeni. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama Encik Zainul Abidin, Encik Bala, Encik Jauhar Manikam dan Encik Cahaya.

La Pakkamunri Daeng Patobo kawin lagi dan melahirkan La Kangkong Petta Nabba. Inilah yang kawin dengan I Jaleha Daeng Jenne dan melahirkan dua anak laki-laki, pertama bernama Tuan Panji dan yang kedua bernama Encik Padu Salahuddin Daeng Patangnga. Kemudian Daeng Patangnga melahirkan anak satu laki-laki dan dua anak perempuan. Laki-laki bernama Encik Abdul Karim Daeng Pasau dan perempuan bernama masing-masing Encik Kebo dan Encik Innong Daeng Tono.

Selanjutnya La Kasi Puanna La Tenro kawin lagi dengan We Tenri Ona Arung Rappeng anak dari We Senru Arung Rappeng dengan suaminya La Cella Datu Bongngo Arung Gilireng. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Pappa MajjumbaE anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya yang bernama We Tenri Awaru Arung Lempang.

We Tenri Pappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng melahirkan anak perempuan yang bernama Qwe Matana Arung Rappeng. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng anak dari La Canno Arung Gilireng Lampe Uttu dengan isterinya We Mappanyiwi Daeng Takennang Datu Lagosi.

We Matana Arung Rappeng dengan La Makkulawu Arung Gilireng melahirkan anak ; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone, ketiga bernama We Tenri Pasabbi Arung Gilireng, keempat bernama We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, kelima La Palettei Ponggawa Bone, keenam We Sampa Arung Baleng, ketujuh bernama La Wawo, kedelapan bernama We Pana, kesembilan bernama La Mappajanci dan kesepuluh bernama La Massalewe.

Kemudian Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan We Salima Ajappasele, melahirkan anak perempuan bernama We Nime. Inilah yang kemudian kawin dengan Datu Bengo. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Dekke Daeng Silasa Petta Bekka’E. Kemudian Petta Bekka’E kawin dengan Karaeng SombaE yang kemudian melahirkan La Mapparewe Daeng Makkuling Datu Bengo.

Pada hari Senin 29 Jumadil Akhir 1133 H. Arumpone La Temmassonge’ memperjelas pemberian saudaranya Batari Toja MatinroE ri Tippulunna baik semasa hidupnya maupun setelah meninggal dunia yang dipesankan kepadanya. Setelah itu iapun masuk kepada Kompeni Belanda untuk mempersaksikan pemberian Batari Toja tersebut.

Inilah penjelasan Arumpone La Temmassonge’ ;

” Adapun yang diberikan Batari Toja kepada saya ketika masih hidup, seperti; Baringeng, Amali, Pattiro, PaddakkalaE di Bantaeng, saya diberikan ketika berada di Kessi. Sedangkan yang dipesankan, adalah ; Timurung, Majang, Pallengoreng, Kera, Tuwa, Ugi, Citta, Lapajung,Tellu Latte’ E dan Ta’.

Selanjutnya Tuwa saya serahkan kepada We Rana, Citta saya serahkan kepada We Seno, Majang saya serahkan kepada We Pakkemme’, Pallengoreng saya serahkan kepada La Massarasa, Ugi saya serahkan kepada La Palaguna, Kera saya serahkan kepada La Makkasau, Takalar saya serahkan kepada We Yamida. Sedangkan Timurung dan NakkaE, itulah yang akan saya tempati sampai tiba ajalku. Siapa saja yang merawat saya sewaktu saya sakit, itulah yang akan memilikinya.”

Pada saat menjadi Mangkau’ di Bone, anaknya di Soppeng, di Tanete, di Luwu dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Addatuang ri Lompulle, ditulis dalam lontara’ Bone dan Soppeng bahwa; Bone dan Mario Riwawo tempat lahirnya KadhiE, Lompulle tempat asal SengngengngE, Tanete sumber pas- seajingeng dan Soppeng tempat untuk memilih.

Dalam tahun 1775 M. Arumpone La Temmassonge’ Arung Baringeng meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Dalam khutbah Jumat, dia dinamakan Sultan Abdul Razak Jalaluddin. Karena dia meninggal di Malimongeng, maka digelar MatinroE ri Malimongeng.

23. LA TENRI TAPPU TO APPALIWENG

(1775 – 1812)

La Tenri Tappu To Appaliweng adalah cucu La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng, dari anaknya yang bernama We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. La Tenri Tappu menggantikan neneknya menjadi Arumpone pada tanggal 4-6- 1775 M.

Arumpone La Tenri Tappu inilah yang berkedudukan di Rompegading, sehingga ketika ia meninggal dunia digelar MatinroE ri Rompegading. Sebagai Arumpone, ia pernah berperang dengan Addatuang Sidenreng yang bernama La Wawo. Persoalannya adalah karena La Wawo akan melepaskan diri dari keterikatannya dengan Bone. La Wawo bertegas tidak akan memberikan lagi – sebbukati yaitu semacam persembahan yang menjadi kewajiban Addatuang Sidenreng.

Setelah melalui pertimbangan yang matang, berangkatlah orang Bone dibawah komando Arumpone untuk menyerang Sidenreng. Karena merasa terancam, Addatuang Sidenreng La Wawo minta bantuan kepada Karaeng Tanete. La Wawo minta kepada Karaeng Tanete agar Arumpone La Tenri Tappu bersama segenap pasukannya dapat dibendung untuk tidak memasuki wilayah Sidenreng. Addatuang Sidenreng La Wawo menyanggupi untuk menyediakan –ubba yaitu semacam bahan peledak kepada Karaeng Tanete dalam membendung serangan Bone.

Setelah bermusuhan kurang lebih tiga tahun, ternyata orang Bone tidak mampu untuk melewati Sungai Segeri karena dibendung oleh orang Tanete dengan bantuan Petta TollaowE ri Segeri.

Untuk mencegah terjadinya perang yang berkerpanjangan, Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang segera turun tangan. Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Yacobson Wilbey mengingatkan kepada Arumpone La Tenri Tappu untuk mundur ke Bone. Begitu pula kepada Addatuang Sidenreng La Wawo agar menarik pasukannya kembali ke Sidenreng. Dengan demikian, perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir.

Ketika perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir, datanglah La Wawo kepada Karaeng Tanete membawa 40 orang Batu Lappa dan 20 orang Kasa sebagai pengganti harga ubba yang digunakan Karaeng Tanete selama perang. Dalam masa pemerintahan La Tenri Tappu di Bone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda tahun 1814 M.

La Tenri Tappu To Appaliweng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Padauleng untuk dijadikan sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. We Padauleng adalah anak dari La Baloso, saudara ibunya dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang.

We Padauleng dengan La Tenri Tappu melahirkan anak; pertama bernama La Mappasessu To Appatunru, inilah yang kemudian menjadi Mangkau’ di Bone, kedua bernama We Manneng Arung Data, ketiga bernama Batara Tungke Arung Timurung, keempat bernama La Pawawoi Arung Sumaling, kelima bernama La Mappaseling Arung Panynyili, keenam bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara, ketujuh bernama We Kalaru Arung Pallengoreng, kedelapan bernama Mamuncaragi, kesembilan bernama La Tenri Bali Arung Ta’, kesepuluh bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kesebelas bernama La Paremma’ Rukka Arung Karella, kedua belas bernama La Temmu Page Arung Paroto Ponggawa Bone MatinroE ri Alau Appasareng, ketiga belas bernama La Pattuppu Batu Arung Tonra.

La Mappasessu To Appatunru kawin dengan We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah; We Baego Arung Macege. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kali ibunya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Selanjutnya dari perkawinan We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai, lahirlah; We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

Adapun La Tenri Sukki Arung Kajuara To Malompo di Bone, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Daeng Matana adalah anak dari We Maddilu saudara kandung We Padauleng Arung Makkunrai di Bone.

Sedangkan La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kawin dengan We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari We Mudariyah MappalakaE Ranreng Talotenre dengan suaminya yang bernama La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinan Bau Cina dengan Petta Anre Guru AnakarungE ; pertama bernama La Parenrengi Arung Ugi. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru atau Pancai’tana Besse Kajuara anak dari We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana dengan suaminya yang bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara.

Adik dari La Parenrengi bernama Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone yang juga sebagai Ranreng Talotenre Wajo. Selanjutnya adik dari Toancalo bernama Sitti Saira Arung Lompu. Adik berikutnya bernama We Rukka, We Ciciba. We Ciciba inilah yang kawin dengan La Pangerang Arung Cimpu.

Kembali kepada saudara perempuan La Tenri Tappu yang bernama We Yallu Arung Apala. Inilah yang melahirkan Datu Pattiro, Datu Soppeng MatinroE ri Tengngana Soppeng dengan suaminya yang bernama La Mappapole Onre Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Anak berikutnya bernama La Mata Esso Sule Datu di Soppeng MatinroE ri Lawelareng. Selanjutnya bernama We Tenri Kaware Arung Saolebbi Arung Balosu. Selanjutnya We Dende, meninggal dunia ketika masih kecil.

La Unru Datu Pattiro kawin dengan We Selima Mabbaju NyilaE anak dari We Mariyama Mabbaju LotongE dengan suaminya yang bernama La Pede Daeng Mabela Pabbicara Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke, kedua bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko.

Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke kawin dengan We Waru, kemudian We Kacici. Keduanya adalah anak dari La Patau Petta Janggo Arung Leworeng. Dari perkawinan dengan We Waru lahirlah; pertama bernama We Nibu, kedua bernama La Salengke. Selanjutnya We Kacici melahirkan anak; pertama bernama La Palloge, kedua bernama We Jenna, ketiga bernama We Takka.

Sedangkan We Tenri Kaware Arung Balosu kawin dengan Sumange’ Rukka Ambo’ Pajala Arung Tanete anak We Soji Arung Tanete dengan suaminya yang bernama La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah dua anak laki-laki; pertama bernama La Patongai Datu Pattiro, kedua bernama La Passamula BadungE.

La Patongai Datu Pattiro kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Panangareng Datu Lompulle, anak dari We Pancai’tana Arung Akkampeng dengan suaminya yang bernama La Rumpang Megga Karaeng Tanete. We Panangareng dengan La Patongai melahirkan anak bernama La Onro Datu Lompulle.

La Passamula BadungE kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko. Dari perkawinan itu lahirlah anaknya; pertama bernama Bau Baso Arung Balosu, inilah yang menjadi Sule Datu di Soppeng. Kedua bernama Sitti Hawang, ketiga bernama We Mira.

Bau Baso Arung Balosu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta anak Baso Sidenreng dengan isterinya We Waru. Dari perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama We Matta, kedua bernama Mahmud Petta Bau, ketiga bernama We Besse.

Sitti Hawang kawin dengan La Cakkudu Petta Amparita, anak La Panguriseng Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Bangki Arung Rappeng. We Sitti Hawang dengan La Cakkudu melahirkan anak bernama La Pasanrangi Datu Taru.

We Taka kawin dengan La Sanreseng Datu Lamuru, anak dari Jaya Langkara Datu Lamuru dengan isterinya yang bernama We Tellongeng. Dari perkawinan itu lahirlah We Sengngeng. Inilah yang kawin dengan La Sana Arung Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya yang bernama We Bonga. We Sengngeng dengan La Sana melahirkan anak bernama We Yasiyah. We Yasiyah inilah yang kawin dengan La Coppo Daeng Mangottong, anak dari La Massikkireng Arung Macege dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Arung Pallengoreng.

We Jenna kawin dengan La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenre Arung Matowa Wajo MatinroE ri Batubatu. Anak dari La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre dengan isterinya Besse Arawang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappe Datu Mario Riawa. Kemudian La Mappe kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Besse anak Sule DatuE Arung Balosu dengan isterinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta. Selanjutnya We Besse dengan La Mappe melahirkan anak perempuan yang bernama Isa Arung Padali.

We Matta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Pasanrangi Datu Taru, anak dari Sitti Hawang dengan suaminya La Cakkudu Petta Amparita. Kemudian We Matta dengan La Pasanrangi melahirkan anak ; pertama bernama La Bandu, kedua bernama We Selo. We Selo kawin dengan La Jojjo Arung Berru Karaeng Lembang Parang, anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya La Mahmud Karaeng ri Baroanging. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri.

La Onro Datu Lompulle kawin dengan We Cecu Arung Ganra yang juga Arung Belawa Orai. Anak dari We Sitti Tahirah Patola Wajo dengan suaminya To Lempeng Arung Singkang yang juga Datu Soppeng Rialau. Kemudian We Cecu dengan La Onro melahirkan anak ; pertama bernama We Soji Datu Madello, kedua bernama La Pabeangi Arung Ganra, ketiga bernama La Rumpang Datu Pattiro Ranreng Talotenre.

We Soji Datu Madello kawin dengan Loa Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau anak dari La Tune Arung Bettempola dengan isterinya Sompa Ritimo Arung Penrang. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Cella, kedua bernama We Tenri Arung Belawa , ketiga bernama We Panangareng Datu Madello, keempat bernama La Patongai Datu Doping.

La Pabeangi Arung Ganra kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Datu Watu Arung Lapajung Patola Wajo, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo dengan suaminya yang bernama La Walinono Datu Botto. We Tenri Sui dengan La Pabeangi melahirkan anak; pertama bernama La Wana Arung Ganra, kedua bernama La Jemma Datu Lapasung, ketiga bernama We Yaddi Luwu Datu Watu, keempat bernama Sitti Tahira Patola Wajo Datu MallanroE. Sitti Tahira inilah yang kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Bandu, tidak melahirkan anak.

La Wana kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama Isa Arung Padali anak dari La Mappe dengan isterinya yang bernama We Besse. Kemudian La Mappe kawin lagi dengan We Cingkang anak dari La Jalante Jenderal Tempe. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mori. Selanjutnya Isa dengan La Wana Arung Ganra melahirkan anak; pertama bernama La Walinono Arung Laleng Bata, kedua bernama We Tenri Dio Datu Lompulle, ketiga bernama Galette, keempat bernama Abu Baedah.

We Yaddi Luwu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona Datu Mario Riwawo anak dari La Wawo Datu Botto dengan isterinya yang bernama We Tenri Leleang Datu Mario Riwawo. We Yaddi Luwu dengan La Mangkona melahirkan anak; pertama bernama La Sade, kedua bernama We Tenriabeng, ketiga bernama We Tenriangka, keempat bernama We Cecu, kelima bernama We Tenri Pakkemme’.

La Onro Datu Lompulle kawin lagi dengan We Dulung, melahirkan seorang anak bernama La Cube. Inilah yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan Jenderal Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya We Bonga. Dari perkawinan La Cube dengan We Munde ; pertama bernama La Singke, kedua bernama We Sukki, ketiga bernama Sitti Saleha, keempat bernama La Mahmud.

La Rumpang kawin lagi dengan We Tappa dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Makkulawu.

Sampai disinilah keterangan tentang keturunan We Yallu Arung Apala yang bersaudara kandung dengan We Banrigau Arung Tajong. We Banrigau Arung Tajong kawin dengan La Tenriangka Arung Ujung anak dari Tomarilaleng Pawelaiye ri Gowa dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Karaeng Somba Opu yang juga Karaeng Tallo. Perkawinannya itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Tenri Wari.

Kemudian We Banrigau Arung Tajong kawin lagi di Wajo dengan La Sampenne Petta La Battowa CakkuridiE ri Wajo yang juga sebagai Arung Liu. Anak dari La Paulangi To Saddapotto Daeng Lebbi Arung Bette dengan isterinya We Tenri Ampa Arung Singkang. We Banrigau dengan Petta La Battowa melahirkan anak; pertama bernama We Sawe Arung Liu, kedua bernama La Olli Maddanreng Bone, ketiga bernama We Sikati Andi Ecce

We Sikati kawin dengan La Sampo Arung Ugi yang juga sebagai Arung Belawa. Anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama We Bakke Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama We Busa Petta WaluE Arung Belawa, kedua bernama La Rappe Arung Liu Arung Ugi yang juga Maddanreng di Bone dan Sule Ranreng Tuwa ketika sepupu satu kalinya yang bernama We Hudiyah menjadi Ranreng Tuwa. Ketiga bernama La Maggalatung Daeng PaliE Arung Palippu.

We Busa Arung Belawa kawin dengan La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo. Anak dari La Sengngeng Arung Bettempola MatinroE ri Salawa’na dengan isterinya We Mappangideng Arung Macanang. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Kalaru Arung Bettempola, kedua bernama La Paramata atau La Tatta Raja Dewa Arung Bettempola, ketiga bernama La Tune Mangkau atau La Tune Sangiang Arung Bettempola MatinroE ri Tancung.

We Kalaru kawin dengan La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre, anak dari We Mudariyah MappalakaE dengan suaminya La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama laki-laki bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE Datu Alau Wajo dan juga sebagai Arung Palippu.

La Rappe Arung Liu kawin dengan We Besse Daeng Taleba Arung Penrang anak dari We Jiba Datu Bulu Bangi dengan suaminya La Saliwu Petta KampongE Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang MatinroE ri Cinnong Tabi. Kemudian Sompa Ritimo kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tune Mangkau Arung Bettempola. Anak dari We Busa Petta WaluE dengan suaminya La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo.

Sompa Ritimo dengan La Tune Sangiang melahirkan anak yang bernama La Gau, inilah yang kemudian mejadi Ranreng di Bettempola Wajo. La Gau kemudian kawin dengan We Tenri Sampeang Denra WaliE Arung Patila. Anak dari We Baru Arung Patila dengan suaminya yang bernama La Saddapotto Maddanreng Pammana. Kemudian La Gau dengan We Tenri Sampeang melahirkan anak yang bernama La Jamarro, inilah yang kemudian menjadi Paddanreng Bettempola. Anak berikutnya adalah La Cengke Manciji Wajo, La Tengko Arung Belawa Alau, juga sebagai Manciji Wajo, La Jollo Datu Patila, La Mamu Petta Yugi, La Come, We Gallo Arung Liu,

We Gallo Arung Liu, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE, tidak ada anaknya. Kemudian PajumpungaE kawin lagi dengan sepupu satu ayahnya yang bernama We Nyili’timo Arung Baranti, anak dari La Panguriseng .

Arumpone La Tenri Tappu yang tempat tinggalnya Rompegading dan Bone secara bergantian. Pada tahun 1812 M. ia meninggal dunia di Rompegading, maka dinamakanlah MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading digantikan oleh anaknya yang bernama La Mappasessu To Appatunru sebagai Mangkau’ di Bone.

24. LA MAPPASESSU TO APPATUNRU

(1812 – 1823)

La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka menggantikan ayahnya menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1812 M. Namun pelantikannya nanti pada tahun 1814 M. La Mappasessu To Appatunru dikenal banyak bersaudara, anak dari La Tenri Tappu To Appaliweng MatinroE ri Rompegading dengan isterinya We Padauleng MatinroE ri Sao Denrana.

Pada saat menjadi Arumpone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda. Inggerislah yang menyuruh Arung Mampu yang bernama Daeng Riboko untuk mengambil SudengE dan segenap benda Kerajaan Gowa yang selama ini dipegang oleh Arumpone. Tetapi Arumpone tetap mempertahankan segenap milik ArajangE ri Gowa karena memang Arumpone punya niat untuk menjadi Arung di Gowa. Baik Arumpone La Tenri Tappu maupun La Mappasessu anaknya, merasa memiliki hak untuk menjadi Karaeng di Gowa karena memang adalah cucu dari KaraengE ri Gowa MatinroE ri Somba Opu. Apalagi banyak sekali orang Gowa yang tinggal di pegunungan yang menyerahkan diri.

Oleh karena itu, Arumpone La Mappasessu berkeras untuk menjadi Karaeng ri Gowa. Pada saat itu belum ada yang jelas tentang Karaeng di Gowa. Bagi orang Gowa beranggapan bahwa siapa saja yang memegang benda –benda Arajang, itulah yang dianggap sebagai Karaeng ri Gowa. Walaupun telah dilantik sebagai Karaeng, tetapi tidak memiliki benda-benda ArajangE ri Gowa, maka tidak bisa memerintah di Gowa

Pembesar Inggeris yang bernama Residen Philips menyuruh kepada Arung Mampu Daeng Riboko pergi menemui Arumpone untuk minta agar benda-benda Kerajaan Gowa yang disimpan oleh Arumpone La Tenri Tappu pada masa hidupnya dikembalikan ke Gowa. Tetapi Arumpone La Mappasessu tetap mempertahankan untuk tidak memberikan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa tersebut.

Karena Pembesar Inggeris merasa tidak dipatuhi, maka direncanakanlah untuk menyerang Bone. Arumpone saat itu berkedudukan di Rompegading dan Inggeris melakukan serangan kepada Arumpone. Karena persenjataan Inggeris jauh lebih kuat, maka pada akhirnya Arumpone kalah setelah Rompegading dibumi hanguskan. Arumpone La Mappasessu serta seluruh keluarganya kembali ke Bone dan berkedudukan di Laleng Bata. Adapun SudengE serta segenap benda-benda Kerajaan Gowa, Arumpone menyerahkan kepada Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na yang memberikan kepada Arung Mampu untuk dilanjutkan kepada Kompeni Inggeris.

Pada tanggal 4 Juni 1814 M. Kompeni Inggeris menyerahkan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa kepada Bate SalapangE ri Gowa . Jenderal Perang Inggeris yang menyerang Rompegading bernama Tuan Nightingale. Dalam tahun 1816 M. Gubernur Jenderal Belanda kembali memerintah.

Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Mappasessu To Appatunru disebut sebagai Sultan Muhammad Ismail Mukhtajuddin. Inilah Arumpone yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah anak perempuannya yang bernama We Baego yang kemudian menjadi Arung Macege. Dalam tahun 1823 M. Arumpone La Mappasessu To Appatunru meninggal dunia di Laleng Bata dan dinamakanlah MatinroE ri Laleng Bata.

We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Anak dari Arung Berru To Appasawe dengan isterinya yang bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao adalah anak La Maddussila Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama We Seno Datu Citta. We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai melahirkan ; pertama bernama We Pada Arung Berru, kedua bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

We Pada Arung Berru kawin di Gowa dengan I Mallingkaang Karaeng Katangka. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama I Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, kedua bernama I Topatarai Karaeng Pabbundukang. Ketiga bernama I Togellangi Karaeng Silajo, keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru, kelima bernama We Bau , keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji, ketujuh bernama Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, kedelapan bernama Butta Intang Karaeng Mandalle, kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete, kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga, kedua belas bernama Sitti Rugaiya Karaeng Langelo, ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo.

Kembali kepada La Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang. Inilah yang menjadi Karaeng ri Gowa. La Makkulawu Daeng Parani kawin di Alitta dengan We Tenri Paddanreng atau We Bunga Singkeru’ anak La Parenrengi Arumpone MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Besse Kajuara Arumpone MatinroE ri Majennang Suppa. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Petta Alitta, kedua bernama La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa.

La Panguriseng Petta Alitta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung. Anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya I Mahmud Karaeng Baroanging. La Panguriseng dengan We Seno melahirkan anak; pertama bernama We Cella Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi

La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddilu Karaeng Bonto Masuji anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggimae. Namun tidak melahirkan anak dan We Maddilu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi dengan We Batasi anak Gallarang Tombolo Bate SalapangE ri Gowa dengan isterinya yang bernama I Cikopo. Dari perkawinan yang kedua itu lahirlah La Pangerang Arung Macege. Selanjutnya La Mappanyukki kawin lagi di Massepe dengan We Besse Petta Bulo anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinannya yang ketiga itu lahirlah; Abdullah Bau Massepe, We Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi dan terakhir bernama We Bulaeng.

Karena Besse Bulo meninggal dunia, maka La Mappanyukki kawin lagi dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Manenne Karaeng Balangsari anak dari I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo dengan isterinya yang bernama I Nako Karaeng Panakukang. Dari perkawinannya itu, lahirlah; We Tenri Pada Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi.

I Mallingkaang Karaeng Riburane di Wajo kawin dengan We Ninnong Ranreng Tuwa Wajo anak dari La Mappanyompa Ranreng Tuwa Wajo Arung Ujung dengan isterinya yang bernama We Dala Tongeng Arung Tempe. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Manawara Besse Tempe, kedua bernama Baharuddin Bau Akkotengeng Karaeng Mandalle, ketiga bernama Mahmud, keempat bernama We Mudariah Karaeng Balangsari, kelima bernama Hasan Karaeng Riburane, keenam bernama Sulaeman.

I Sugiratu Andi Baloto kawin dengan La Parenrengi Karaeng Tinggimae anak dari I Manggabarani Karaeng Mangeppe Arung Matowa Wajo dengan isterinya We Dala Wettoeng Karaeng Kanjenne. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Maddilu Daeng Bau, kedua bernama We Seno Karaeng Lakiung.

We Maddilu kawin dengan La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa, tidak melahirkan anak. Selanjutnya We Seno kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Kumala Karaeng Cenrapole. Kemudian I Magguliga Andi Bangkung kawin dengan We Patima Banri atau We Banri Gau Arung Timurung anak Singkeru’ Rukka Arung Palakka Arumpone MatinroE ri Topaccing dengan isterinya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu.Selanjutnya We Banri Gau dengan I Magguliga Karaeng Popo melahirkan anak bernama We Sutera Arung Apala, meninggal dunia diwaktu masih kecil. Kemudian Karaeng Popo kawin dengan I Nako Karaeng Panakukang anak dari I Mappatunru Karaeng Riburane dengan isterinya I Patimasang Daeng Ngasseng.

Karaeng Popo dengan I Nako melahirkan anak bernama I Manenne Karaeng Balangsari Arung Makkunrai ri Bone yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappanyukki.

We Batari Daeng Marennu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Mahmud Karaeng ri Baroanging anak dari I Manginyareng Karaeng Lembang Parang dengan isterinya I Woja Karaeng Balangsari. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama I Jojjo Kalamullahi Karaeng Lembang Parang Arung Berru, kedua bernama I Kumala Karaeng Cenrapole, ketiga bernama We Seno Karaeng Lakiung, keempat bernama I Sari Banong Karaeng Tanete Arung Berru, kelima bernama I Malingkaang Karaeng Riburane.

I Jojjo Kalamullahi kawin dengan We Ica Arung Manisang anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anaknya yang bernama La Saddapotto. Kemudian I Jojjo Kalamullahi kawin lagi di Soppeng dengan We Selo anak dari La Pasanrangi Datu Taru dengan isterinya yang bernama We Matta. Dari perkawinannya itu melahirkan anak yang bernama We Tenri.

I Kumala Karaeng Cenrapole kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae. Dari perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama I Manggabarani, kedua bernama Singkeru’ Rukka, ketiga bernama Sumange’ Rukka Karaeng Mangeppe Arung Berru dan satu bernama We Oja, meninggal diwaktu kecil.

We Seno Karaeng Lakiung kawin dengan La Panguriseng Petta Alitta anak dari I Makkulawu KaraengaE ri Gowa dengan isterinya We Cella Arung Alitta.

I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo kawin dengan We Kunjung Karaeng Tanatana anak dari I Nyulla Daeng Tappa Manyoro Attabone dengan isterinya We Patimasang, cucu Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Kedua seorang perempuan bernama I Maisa Karaeng Rappocini dan ketiga seorang perempuan bernama I Patimasang Karaeng Panaikang.

I Mangimangi Daeng Matutu sewaktu dilantik sebagai Somba atau Karaeng ri Gowa –ripasekkori lalla sipuwe pada tanggal 4 Januari 1937 ketika Tuan Boslaar sebagai Pembesar Kompeni di Ujungpandang. Datang semua TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenrempulu, Cappa GalaE. Datang juga Sultan Butung.

La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang kawin dengan Daeng Tuji. Kawin juga dengan Daeng Ngai. Inilah Karaeng ri Gowa dan Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta.

Sampai disinilah catatan tentang keturunan Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Adapun yang menggantikan sebagai Mangkau’ di Bone adalah saudara perempuannya yang bernama I Manneng Arung Data.

25. I MANNENG ARUNG DATA

(1823 – 1835)

I Manneng Arung Data menggantikan saudaranya MatinroE ri Laleng Bata menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat nama I Manneng Arung Data dikenal dengan sebutan Sultanah Salimah Rajiyatuddin. Dalam tahun 1824 M. pada masa pemerintahannya di Bone, Belanda kembali memerintah.

Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya , yaitu perjanjian antara La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda untuk bekerja sama dalam pemerintahan.

Arumpone I Manneng Arung Data dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7 Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan Perjanjian Bungaya.

Arumpone I Manneng Arung Data dikenal tidak memiliki anak karena tidak pernah menikah. Ia meninggal dalam tahun 1835 M. dan dinamakan MatinroE ri Kessi. Selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bernama La Mappaseling Arung Panynyili.

26. LA MAPPASELING ARUNG PANYNYILI

(1835 – 1845)

La Mappaseling Arung Panynyili menggantikan saudaranya I Manneng Arung Data MatinroE ri Kessi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Adam Najamuddin. Adapun yang menjadi penengah untuk mendamaikan kembali Bone dengan Gubernur Belanda, adalah La Mappangara Arung Sinri, anak dari We Masi Arung Weteng dengan suaminya yang bernama To Tenri Tomarilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE.

La Mappangara menggantikan ayahnya menjadi Tomarilaleng ri Bone dan setelah meninggal dunia, dinamakanlah PawelaiyE ri SessoE. Ketika La Mappangara menjadi Tomarilaleng di Bone, terjalinlah kembali persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda yang pernah terputus. Pada tanggal 13 Agustus 1835 M. diperbaharuilah perjanjian yang pernah disepakati oleh Petta To RisompaE dengan Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang.

Dalam tahun 1838 M. Arumpone La Mappaseling bersama TomarilalengE Arung Sinri berangkat ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres guna mempererat hubungan Bone dengan Kompeni Belanda.

La Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Bone yang kawin dengan saudara perempuan Arumpone yang bernama We Kalaru Arung Pallengoreng. Dari perkawinannya itu, tidak melahirkan anak. Begitu pula Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili, juga tidak memiliki Arung Makkunrai (permaisuri) yang melahirkan anak.

Dalam tahun 1845 M. Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili meninggal dunia dan dinamakanlah MatinroE ri Salassana. Dengan demikian, para Hadat Bone bermusyawarah untuk menentukan pengganti Arumpone. Setelah terjadi berbagai pertimbangan, maka disepakatilah La Parenrengi Arung Ugi menggantikan pamannya sebagai Mangkau’ di Bone.

27.LA PARENRENGI ARUNG UGI

(1845 – 1857)

La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Mangkau’ di Bone. La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng.

Anak MappalakaE dengan Petta CambangE, adalah ; pertama bernama La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre. Inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta CambangE berperang dengan saudaranya yang bernama La Panguriseng sehingga kedudukan tersebut direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua bernama La Unru Arung Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng Kanjenne dan yang keempt bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil.

We Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu.

Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.

La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri. Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Parenrengi disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda.

Karena jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.

Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua bahwa sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun tidak ada yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi dengan Kompeni Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja merenggang.

Karena La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan pintas yaitu untuk minta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh Arumpone La Parenrengi dengan pertimbangan bahwa pamannya itumemang sudah tua dan ingin istirahat.

Dalam tahun 1849 M. setelah tugasnya sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya, maka naiklah ke Ujungpandang untuk minta perlindungan kepada Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Kompeni Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marus. Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.

Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE.

Di tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya singgah dan menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan keluarganya.

Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah ditempatnya yang baru itu. Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi Pangulu Lompo tarekat Khalwatiyah itu.

Pada tanggal 16 Februari 1857 M. Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Ajang Benteng. Selanjutnya digantikan oleh janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.

28. WE TENRIAWARU PANCAI’TANA BESSE KAJUARA

(1857 – 1860)

Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.

La Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.

Pada masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.

Kemanakannya inilah yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri Laleng Bata.

Dengan demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang.

Arumpone Besse Kajuara berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.

La Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta. Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap.

Selanjutnya Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia. Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri Majennang Suppa.

Adapun anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.

Selanjutnya Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,

Anaknya yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru Karaeng Baine ri Gowa.

Setelah I Malingkaang Karaeng Katangka meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang menjadi Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri). Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu.

Dari perkawinan Arung Alitta dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu Suppa. La Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya yang bernama La Mahmud Karaeng ri Baroanging.

We Seno dengan La Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi, kedua bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak pernah menikah.

La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae Datu Suppa. Dari perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We Maddelu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak Gellarang Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.

Ketika We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone, Pembesar Kompeni Belanda menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.

29. SINGKERU’ RUKKA ARUNG PALAKKA

(1860 – 1871)

Singkeru’ Rukka Arung Palakka adalah anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Cucu dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’ Rukka Arung Palakka pernah juga menjadi Arung Bulobulo.

Dia diangkat menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni Belanda dan bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan akkarungeng di Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu menemani Kompeni Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa.

Pada tanggal 13 Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni Belanda selesai, sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk sementara, karena Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam khutbah Jumat namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun 1871 M. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah MatinroE ri Topaccing.

Arumpone Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng. Anak La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone dengan isterinya We Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Patima Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo. Anak We Pada Arung Berru dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri Kalabbiranna. We Patima Banri Arung Timurung dengan I Magguliga Andi Bangkung melahirkan seorang anak perempuan bernama We Sutera Arung Apala.

Selanjutnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I Kalossong Karaeng Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi Karaeng Sigeri. Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I Jora, lahirlah La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone. Kemudian La Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung Data. E Suka Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung Melle. Anak dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya We Kusuma, anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone. Dari perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng.

La Mandapi kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung Ponceng. Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian La Patarai kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan isterinya We Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La Patarai dengan We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La Takdir dan We Megawati.

We Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela dengan suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu JowaE kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya itu lahirlah Amirullah.

Arumpone Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di Bone dari tahun 1860 sampai tahun 1871. Kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing, sehingga dinamakan MatinroE ri Topaccing.

30. FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)

(1871 – 1895)

We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta.

Dalam tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.

Setelah Arumpone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arumpone We Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan isterinya sebagai Arumpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na.

Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.

Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat anak Fatinah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru berusia 13 tahun.

Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkau’ ri Bone adalah saudara MatinroE ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri.

31. LA PAWAWOI KARAENG SIGERI

(1895 – 1905)

La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate.

Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.

Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.

Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.

Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.

Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.

Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.

Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.

Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo.

Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.

Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta.

Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.

Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.

Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident.

Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.

Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.

Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;

1. Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.

2. Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.

3. Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.

4. Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda

di Tosora) diperintah oleh Controleur.

5. Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.

Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng.

Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.

Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.

Yang pertama - tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.

Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit.

Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.

Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.

Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.

Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang).

Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.

Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa.

Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.

Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.

Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.

32. LA MAPPANYUKKI DATU LOLO RI SUPPA

(1931 – 1946)

La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga dikernal dengan nama Datu Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya.

Adapun sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.

Perang Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.

La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Bone.

Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata.

Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.

Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.

Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.

Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.

Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.

La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.

Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.

Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.

Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.

Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).

Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.

Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.

Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.

Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.

La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi

Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.

Anak La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.

Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;

1. Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.

2. Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.

3. Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.

Hal yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya Watampone.

Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.

33. LA PABBENTENG PETTA LAWA

(1946 – 1951)

La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwi Tunggal Sukarno- Hatta.

La Pabbenteng adalah anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid Ponggawa Bone yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta, Arumpone ke 31.

Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi Mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Hadat Tujuh Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.

Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler.

Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya.

Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyatannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga.

La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya.

Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan.

Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).

Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.
Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.
0 comments share

Blog Entry SONGKOK TO BONE Apr 6, '08 1:55 PM
for everyone

Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan. Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?

Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.

Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.

Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.

Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)
0 comments share

Blog Entry BONE DALAM RIWAYAT Apr 6, '08 1:06 PM
for everyone
Bone dahulu disebut TANAH BONE. Berdasarkan LONTARAK bahwa nama asli Bone adalah PASIR, dalam bahasa bugis dinamakan Bone adalah KESSI (pasir). Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan BONE. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone tepatnya di Kelurahan Bukaka. Kabupaten Bone adalah Suatu Kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu sejak adanya ManurungngE Ri Matajang pada awal abad XIV atau pada tahun 1330. ManurungngE Ri Matajang bergelar MATA SILOMPO’E sebagai Raja Bone Pertama memerintah pada Tahun 1330 – 1365. Selanjutnya digantikan Turunannya secara turun temurun hingga berakhir Kepada ANDI PABBENTENG sebagai Raja Bone ke– 33 Diantara ke – 33 Orang Raja yang telah memerintah sebagai Raja Bone dengan gelar MANGKAU, terdapat 7 (tujuh) orang Wanita.

Struktur Pemerintahan Kerajaan Bone dahulu terdiri dari :

• ARUNG PONE (Raja Bone) bergelar MANGKAU

• MAKKEDANGNGE TANAH ( Bertugas dalam bidang hubungan/urusan dengan kerajaan lain (Menteri Luar Negeri)

• TOMARILALENG (Bertugas dalam Bidang urusan dalam daerah Kerajaan lain (Meteri dalam Negeri)

• ADE PITU (Hadat Tujuh)

Terdiri dari Tujuh orang, merupakan Pembantu Utama/Pemimpin Pemerintahan di Kerajaan Bone, masing-masing :

1. ARUNG UJUNG

Bertugas mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone.

2. ARUNG PONCENG

Bertugas mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintaha.

3. ARUNG T A’

Bertugas mengepalai Urusan Pendidikan, dan mengetuai Urusan perkara Sipil.

4. ARUNG TIBOJONG

Bertugas mengepalai Urusan perkara/Pengadilan Landschap/ badat besar dan mengawasi urusan perkara Pengadilan Distrik/ badat kecil.

5. ARUNG TANETE RIATTANG

Bertugas mengepalai memegang Kas Kerajaan, mengatur Pajak dan Pengawasan Keuangan.

6. ARUNG TANETE RIAWANG

Bertugas mengepalai Pekerjaan Negeri (Landschap Werken-LW) Pajak Jalan dan Pengawas Opzichter.

7. ARUNG MACEGE

Bertugas mengepalai Urusan Pemerintahan Umum dan Perekonomian.

•PONGGAWA (Panglima Perang )Bertugas dibidang Pertahanan Kerajaan Bone dengan membawahi 3 (tiga) perangkat masing-masing :

1. ANREGURU ANAKARUNG

Bertugas mengkoordinir para anak Bangsawan berjumlah 40 (Empat puluh) orang bertugas sebagai pasukan elit Kerajaan.

2. PANGULU JOA

Bertugas mengkoordinir pasukan dari rakyat Tana Bone yang disebut Passiuno artinya : pasukan siap tempur dimedan perang setiap saat; rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya Kerajaan Bone dari gangguan Kerajaan lain.

3. DULUNG (Panglima Daerah)

Bertugas mengkoordinir daerah Kerajaan bawahan, di Kerajaan Bone terdapat 2 (dua) Dulung (Panglima Daerah) yakni Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara dan Dulungna Awang Tangka dari Bone Selatan.

•JENNANG (Pengawas)

Berfungi mengawasi para Petugas yang menangani bidang pengawasan baik dalam lingkungan istana, maupun dengan daerah/ kerajaan bawahan.

•KADHI (Ulama) Perangkatnya terdiri dari Imam, Khatib, Bilal, dan lain-lain, bertugas sebagai Penghulu Syara dalam Bidang Agama Islam, Keberadaan Kadhi (Ulama) di Kerajaan Bone ini senantiasa bekerja sama demi kemaslahatan rakyat, bahkan Raja Bone(Mangkau) meminta Fatwa kepada Kadhi khususnya menyangkut hukum islam.

•BISSU ( Waria) Bertugas merawat benda – benda Kerajaan. Disamping melaksanakan pengobatan tradisional, juga bertugas dalam kepercayaan kepada Dewata SeuuwaE. Setelah masuknya Agama Islam di Kerajaan Bone, kedudukan Bissu di non aktifkan. Waktu bergulir terus maka pada tahun 1905 Kerajaan Bone di kuasai oleh Penjajah Belanda. Kemudian atas persetujuan Dewan Ade PituE Ri Bone nama LALENG BATA sebagai Ibu Kota Kerajaan Bone diganti namanya menjadi WATAMPONE sampai sekarang. Pada tanggal 2 Desember 1905 oleh Pemerintah Belanda di Jakarta menetapkan bahwa adapun pengertian TELLUMPOCCOE ( Tri Aliansi) di Sulawesi Selatan ialah : Bone, Wajo dan Soppeng. Disatukan dalam satu sistem pemerintahan yang dinamakan AFDELING. Dimana Afdeling Bone dibagi menjadi 3 (tiga) bagian dengan nama Onder Afdeling masing-masing :

1. Onder Afdeling Bone Utara Ibu Kotanya Pompanua, Ibu kota Afdeling ini ditempati oleh Asisten Residen.

2. Onder Afdeling Bone Tengah Ibu Kotanya Watampone diperintah oleh Controler.

3. Onder Afdeling Bone Selatan Ibu kotanya Mare diperintah Oleh Aspiran Controler.

Pada tahun 1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh Sekutu,Jepang berusaha mengajak rakyat untuk membela Tanah Airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah lainnya terbentuk oleh suatu Wadah untuk menghimpun rakyat untuk mencapai Kemerdekaan, maka di Tana Bone dibentuk suatu Organisasi yang dikenal dengan nama SAUDARA kepanjangan dari SUMBER DARAH RAKYAT. SAUDARA ini dibentuk adalah merupakan persiapan Badan persetujuan yang sesungguhnya berjuang untuk mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia. Kabupaten Bone setelah lepas dari Pemerintahan Kerajaan, sampai saat ini tercatat 13 (tiga belas) Kepala Daerah di beri kepercayaan untuk mengembang amanah pemerintahan di Kabupaten Bone masing-masing :

1. Andi Pangeran Petta Rani

Kepala Afdeling/ Kepala Daerah Tahun 1951 sampai dengan tanggal 19 Maret 1955.

2. Ma’Mun Daeng Mattiro

Kepala Daerah tanggal 19 Maret 1955 sampai dengan 21 Desember 1957.

3. H.Andi Mappanyukki

Kepala Daerah/ Raja Bone tanggal 21 Desember 1957 sampai dengan 21 1960.

4. Kol. H.Andi Suradi

Kepala Daerah tanggal 21 M e i l960 sampai dengan 01 Agustus 1966.

5. Andi Baso Amir

Kapala Daerah Tanggal 02 Maret 1967 sampai dengan 18 Agustus 1970.

6. Kol. H. Suaib

Bupati Kepala Daerah tanggal 18 – 08 - 1970 sampai dengan 13 Juli 1977.

7. Kol.H.P.B.Harahap

Bupati Kepala Daerah tanggal 13 Juli 1977 sampai dengan 22 Pebruari 1982.

8. Kol.H.A.Made Alie

PGS Bupati Kepala Daerah tanggal 22 Pebruari 1982 sampai dengan 6 April 1982 sampai dengan 28 Maret 1983.

9. Kol.H.Andi Syamsul Alam

Bupati Kepala Daerah tanggal 28 Maret 1983 sampai dengan 06 April 1988.

10. Kol.H.Andi Sjamsul Alam

Bupati Kepala Daerah tanggal 06 April 1988 sampai dengan 17 April l993.

11. Kol. H.Andi Amir

Bupati Kepala Daerah tanggal 17 April 1993 Sampai 2003

12. H. A. Muh. Idris Galigo,SH

Bupati Kepala Daerah tahun 2003 Sampai Sekarang (sebagai catatan bahwa pemilihan calon Bupati dan wakil Bupati untuk periode 2008-2013 akan dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2008)

GAMBARAN UMUM KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BONE

A.SEJARAH BERDIRINYA KABUPATEN BONE

Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA Dengan datangnya TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) diberi gelar MATA SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG , sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone

berbunyi sebagai berikut ;

“ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG

KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO

KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE.

MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG

TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “

Terjemahan bebas ;

“ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU

KAMI MENURUT KEMAUAN DAN

KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU

MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT

DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK

ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK

MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,

ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR

DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘

Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara

yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat

yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya

itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( Norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya ;

SIPAKATAU artinya : Saling memanusiakan , menghormati / menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku.

SIPAKALEBBI artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat

SIPAKAINGE artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka system pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis dimana MenurungE sebagai Ketuanya Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI BETTUNG pada akhir abad ke XVI.

Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone ke X LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Pada masa itu pula sebuatan Matoa Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MaTOA MENGALAMI PULA PERUBAHAN MENJADI Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.

Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI KABUPATEN BONE dan diperingati setiap tahun .

B. LETAK GEOGRAFI DAN POTENSI WILAYAH

Daerah Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, secara Geografis letaknya sangat strategis karena adalah pintu gerbang pantai timur Sulawesi Selatan yang merupakan pantai Barat Teluk Bone memiliki garis pantai yang cukup panjang membujur dari Utara ke Selatan menelusuri Teluk Bone tepatnya 174 Kilometer sebelah Timur Kota Makassar, luas wilayah Kabupaten Bone 4,556 KM Bujur Sangkar atau sekitar 7,3 persen dari luas Propinsi Sulawesi Selatan, didukung 27 Kecamatan, 335 Desa dan 39 Kelurahan, dengan jumlah penduduk 648,361 Jiwa.

Kabupaten Bone berbatasan dengan daerah-daerah sebagai berikut ;

- Sebelah Utara Kabupaten Wajo

- Sebelah Selatan Kabupaten Sinjai

- Sebelah Barat Kabupaten Soppeng, Maros, Pangkep dan Barru

- Sebelah Timur adalah Teluk Bone yg menghubungkan Propinsi SulawesiTenggara

Untuk jelasnya 27 Kecamatan di Kabupaten Bone dicantumkan sebagai berikut ;

1. Kecamatan Tanete Riattang

2. Kecamatan Tanete Riattang Barat

3. Kecamatan Tanete Riattang Timur

4. Kecamatan Palakka

5. Kecamatan Awangpone

6. Kecamatan SibuluE

7. Kecamatan Barebbo

8. Kecamatan Ponre

9. Kecamatan Cina

10. Kecamatan Mare

11. Kecamatan Tonra

12. Kecamatan Salomekko

13. Kecamatan Patimpeng

14. Kecamatan Kajuara

15. Kecamatan Kahu

16. Kecamatan Bontocani

17. Kecamatan Libureng

18. Kecamatan Lappariaja

19. Kecamatan Bengo

20. Kecamatan Lamuru

21. Kecamatan Tellu LimpoE

22. Kecamatan Ulaweng

23. Kecamatan Amali

24. Kecamatan Ajangale

25. Kecamatan Dua BoccoE

26. Kecamatan Tellu SiattingE

27. Kecamatan Cenrana

C. TOPOGRAFI DAN PEMANFAATAN LAHAN

Kalau kita amati Kabupaten Bone termasuk daerah tiga demensi yaitu ; Pantai, Daratan dan Pegunungan, luas sawah sebagai lahan pertanian adalah 455.600 Ha, sehingga Kabupaten Bone ditetapkan sebagai daerah penyangga beras untuk Propinsi Sulawesi

Selatan yang biasa dikenal dengan istilah BOSOWA SIPILU singkatan dari Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu, begitu pula daerah pantainya sangat panjang membujur dari Utara ke Selatan yang menyusuri Teluk Bone dari 27 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bone, 9 diantaranya adalah masuk daerah pantai seperti Kecamatan Cenrana, Tellu SiantingE, Awangpone, Tanette Riattang Timur, SibuluE, Mare, Tonra, Salomekko dan Kajuara, dengan demikian sumber mata pencaharian penduduk Kabupaten Bone sebagaian besar adalah Petani dan Nelayan.

Pemanfaatan lahan ;

- Sawah : 455.600 Ha

- Kebun / Tegalan : 55.052 Ha

- Hutan : 162.995 Ha

- Tambak : 1.450 Ha

D. ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BONE DIERA OTODA

Otonomi daerah yang sebagaimana digariskan oleh Undang – Undang No. 22 Tahun
1999 yang secara efektif diberlakukan pada 1 Januari 2001, memang akan menyita berbagai pemikiran bagi pemerintah ditingkat Kabupaten Karena dalam pelaksanaannya memerlukan transportasi para digmatik terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dari pemikiran ini pemerintah Kabupaten Bone berupaya merumuskan langkah-langkah yang strategis serta berbagai kebijakan untuk menjawab tuntutan yang sifatnya mendesak seperti peningkatan Sumber Daya Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Potensi Bone merupakan salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki peranan yang penting dalam perdagangan Barang dan jasa dikawasan Timur Indonesia, apalagi Kabupaten yang berpenduduk 648.361 Jiwa memiliki Sumber Daya Alam disektor pertambangan misalnya bahan industry atau bangunan, emas, tembaga, perak, batubara dan pasir kuarsa. Seluruhnya dapat dieksplorasi dan eksploitasi, namun hal ini akan menjadi peluang emas bagi masyarakat Bone dalam peningkatan Kesejahteraan dimasa yang akan dating dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sedikitnya hal ini akan menjadi penunjang utama peningkatan pembangunan….. Insya Allah.
1 comment share

Blog Entry RIWAYAT SUKU BUGIS Apr 2, '08 2:23 PM
for everyone

Suku Bugis adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Riau Kepulauan, dan bahkan sampai ke Malaysia dan Brunei Darussalam.

Sejarah

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.

Mata Pencaharian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Hubungan Aspek Sejarah

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui didaerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb atau setingkat Kecamatan, yang bernama Maccassar, sebagai tanda tangan penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
1 comment share

Blog Entry Lamellong Mar 28, '08 2:01 PM
for everyone

Lamellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.

Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng”.

Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatua” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.

Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.

Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :

1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;

2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;

3.Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan

4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.

Gelar Kajao

Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).

Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang.. Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.

Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.

Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.

Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :

Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone : Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.

Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :

1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;

2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;

3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.

Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.

Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :

1.ADE’

Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :

a. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanenatau menetap dengan sukar untuk diubah.

b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

2.BICARA

Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.

3.RAPANG

Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.

4.WARI

Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.

Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, rapang, dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.

Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.

Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.

Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.

Saat-saat Terakhir dalam Hidupnya

Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang berpendapat, bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.

Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.

Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.

Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan “Mallajang” (menghilang).

Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.

Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Nanti pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehinnga sekaran nampak lebih unik dari kuburan lainnya.

Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.

Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.

Tongkat Lamellong

Di dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.

Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” Nyelle “ yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.
Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu “angker” (Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.)
0 comments share

Pages:12
 
telukbone
telukbone

  * Photos of gita
  * Personal Message
  * RSS Feed [?]
  * Report Abuse