jejak sejarah wajo
SELASAR SEJARAH WAJO
Pembentukan Kerajaan Wajo
Wajo berarti
bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai
identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan
merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.
Di
bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan
kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk
Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora
yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada
versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri
dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau
dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng,
berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau
dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli
(sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat
beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru,
hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan
Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata
mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah
kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni,
tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan
pada zaman La Tadampare Pang Timaggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6
pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung
Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu
terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Pada
abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo)
dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi
tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat
Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat
Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa
Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani
perjanjian Bungayya.
Akibatnya
pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora
selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka.
Setelah
Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang
merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.
Hingga
saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung
Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat
gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).
Kontroversi
Arung Matowa Wajo masih kontroversi,
yaitu:
·
Versi pertama, pemegang jabatan Arung
Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45,
setelah beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke
Republik Indonesia.
·
Versi kedua hampir sama dengan yang
pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan
Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.
·
Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan
Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat
Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan
kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.
·
Demikianlah
sejarah Wajo hingga melebur ke Republik Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai
sebuah kabupaten sampai saat ini.
Kecamatan
Kabupaten Wajo dulunya terdiri dari 10 kecamatan, akan tetapi sejak tahun
2000 terjadi pemekaran hingga saat ini terdapat 14 kecamatan, yaitu:
·
Belawa
·
Bola
·
Gilireng
·
Keera
·
Majauleng
·
Maniang Pajo
·
Pammana
·
Penrang
·
Pitumpanua
·
Sabbang Paru
·
Sajoanging
·
Takkalalla
·
Tana Sitolo
Negeri Wajo
adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan
yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami
bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh
pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun,
melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung
Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa
bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek
Ammaradekangenna to Wajoe.
Ikhwal
pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri
Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah
sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal
bakal kerajaaan Wajo).
Suatu
ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk
menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah
kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak
menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya
kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?,
Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli
“Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko
Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’,
Mangkasa’itu”. (Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka
lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka
menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk
Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.)
Setelah
Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun
yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti,
Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada
imperium Luwu maupun Gowa.
Inilah
asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi
Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja
sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI
LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA” (Bahkan sejak dalam kandungan, orang
Wajo sudah merdeka”)
Dalam
catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para
pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :
Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I
Setetelah
terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat
La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah
wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil
di dataran Wajo saat itu . Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali
mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut
“MARADEKA TO WAJOE TARO PASORO GAU’NA,
NAISSENG ALENA, ADE’NA NAPOPUANG”1 (Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung
jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang
dijadikan anutan.)
Pesan Latiringen To Taba
La
Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun
1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo
I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI).
Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri
Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV). Beliau adalah
Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.
Pada
tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah
perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain
menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek
amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :
·
Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
·
Orang Wajo tidak boleh dilarang
mengeluarkan pendapat
·
Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke
Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
·
Jika orang Wajo hendak bepergian atau
bermigrasi maka tidak boleh diatahan
·
Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan
perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
·
Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo,
atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau
jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh
sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh
meninggalkan negeri Wajo.
·
Orang Wajo, harus senantiasa menjaga
prilaku dan sopan santun.
·
Orang tidak diperkenankan melanggar
hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak
boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.
Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai
dalam adagium :
“NAPOALLEBIRENGNGI
TO WAJOE, MARADEKAE, NA MALEMPU, NA MAPACCING RI GAU’ SALAE, MARESO MAPPALAONG,
NA MAPAREKKI RI WARANG PARANNA”. (Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur,
bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.)
Perjanjian
di Lapaddeppa (sekarang Lapaduppa, penulis) tersebut diprakarsai oleh Arung
Saotanre yang bergelar Arung Bettengpola, salah satu …. (negara bagian)
Kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua. Sepanjang masa pengabdiannya,
sedikitnya 5 kali (setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan) beliau ditawari
bahkan ditekan oleh dewan adat menjadi Arung Matowa Wajo, tapi selalu
ditolaknya, karena tidak mau menghianati isi perjanjian Mallamungpatue ri
Lapadeppa.
Pesan Lataddampare Puang Rimaggalatung,
Arung Matoa Wajo IV (1491-1521)
La
Taddampare Puang Rimaggalatung, adalah salah satu cendikiawan hebat yang
dimiliki oleh Kerajaan Wajo, sama dengan La Tiringen To Taba, beliau juga
berkali-kali menolak untuk menjadi Arung Matoa Wajo, namun setelah berkali-kali
didesak oleh dewan adapt, akhirnya pada tahun 1491 beliau dilantik menjadi
Arung Matoa Wajo IV. Sumber lain mencatat, Puang Rimaggalatung sempat dua kali
menjabat sebagai Arung Matoa Wajo yakni pada tahun 1482-1487, dan menjabat
kembali pada tahun 1491-1521 , sayangnya penulis belum menemukan catatan
tentang latar belakang dari peristiwa tersebut.
Setelah
mendapatkan persetujuan dewan adat, Puang Ri Maggalatung menetapkan Hukum adat
seperti berikut :
·
Harta benda orang Wajo tidak boleh
dirampas.
·
Orang Wajo tidak boleh ditangkap, jika
tidak terbukti kesalahannya.
·
Orang Wajo tidak boleh dihukum, jika tidak
terbukti melakukan kejahatan, apalagi jika tidak mempunyai kesalahan.
·
Barang-barang atau orang-orang yang
serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas atau ditangkap, jika mereka tidak
sekongkol atau seniat dengan mereka.
·
Siapa saja yang menggali lubang, maka
dialah yang harus mengisinya, tidak boleh orang lain. (berani berbuat, berani
bertanggung jawab, pen)
·
Orang Wajo tidak diperkenankan menyita
barang orang lain, kecuali telah ada keputusan Pengadilan Adat.
·
Orang Wajo tidak diperkenankan saling
menanami sawah atau kebun orang lain. (Tidak boleh mengusai tanah orang lain,
pen)
·
Tidak saling memfitnah dalam hal terjadi
pencurian.
·
Walaupun seorang Putra Mahkota, mengenali
suatu barang miliknya yang ada ditangan orang lain, ia tidak boleh langsung
mengambilnya tanpa ada keputusan Pemangku adat.
·
Orang Wajo tidak boleh saling memfitnah
·
Orang Wajo tidak boleh menyatakan sesuatu
ada, padahal tidak ada.
·
Orang Wajo harus saling percaya dan
bersaksi pada Tuhan Yang Maha Esa.
Butir-butir adek amaradekangeng tersebut
teruntai dalam adagium :
“MARADEKA
TO WAJO’E NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMI ATA, NAIA TAU MAKKETANAE MARADEKA
MANENG, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG” (Orang Wajo merdeka, dan terlahir
dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka
yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat
turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.)
engulang
ungkapan dari Puangnge Ri Timpengeng, La Taddampare Puang Rimaggalatung
menambahkan asas kemerdekaan orang Wajo dengan bunyi; “RI LALENG TAMPU’ MUPI
NAMARADEKA TO WAJO’E”. (ahkan sejak dalam kandungan, sudah merdekalah orang
Wajo)
alam
versi lain, adapula ungkapan yang berbunyi; ”MARADEKA TO WAJOEE, NAJIAJIAN
ALENA MARADEKA, NAPOADA ADANNA, NAPOBBICARA BICARANNA, NAPOGAU GAU’NA, ADE’
ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG” (erdeka orang Wajo, terlahir dalam kondisi sudah
merdeka, mereka bebas mengutarakan pendapat, bebas berbicara, bebas
berekspresi, dan hanya adatlah yang mengikat mereka.
esemua
adagium atau ungkapan kemerdekaan tersebut, kemudian dirumuskan oleh Prof. Mr.
DR. H. Andi Zaenal Abidin Farid, sebagai berikut :
ADE’ ASSIMARADEKANGENGNA TO WAJOE
aradeka
To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka
manengngi, ade assamaturusengnami napopuang.
aia
riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau,
lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’.
Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama,
ajenamato pattamai.
allekku
tenri pakke’de, tenrirappa, tenrireppung, tenrisampoate’, tenripateppai elo
arung mangkau’. Naia pali’na Wajo ri to WajoE teppuppu, tenripinra,
tenripaleangi.
amua
naware’ rikoangngi, naiamua napopali, nakkalukkukengngi nalao.
amua
nacappa loli risampakengngi natania napapoli nalajerengngi iarega
naoppokengngi, apa ia palina Wajo ri to WajoE, pangaja.
aia
pa’bunona, pakkatuo. Apa ia to WajoE, tempeddingi riuno sangadinna gau’na
mpunoi.Temppeddingtoi risalang bicaranna sangadinna gauna memeng, tutunna
memeng pasalai. Tenriampa’i ri ada-adanna, iakia naita alena, naissengtoi
alena.
ennapasalaleng
ammaradekangenna temppeditoi riatteang mapada eko padana maradeka. Naripatammutoi
naripakedde mato narekko nattamaiwi Wajo bali, iaregga engka bicaranna teppura
napuraparosokkang balie purapi repettui bicaranna nalajepaimeng nallekku
paimeng. Mabbojo-wajo macekkemi to WajoE ri Wajo.(rang Wajo merdeka, dan
terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap
mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat
turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.)
erdeka
bagi orang adalah, ia bebas pergi kemana ia suka, ia bebas bermigrasi, tidak
dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka
lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, mereka juga bebas memasuki Wajo
kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka
tidak mentaati atau tidak melaksanakan sebuah perintah yang tidak ada dasar
hukumnya.
arta
benda dan orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas, tidak
boleh dikebat, tidak boleh disita, tidak juga ikut dipertanggung jawabkan, jika
tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kehendak
Raja tidak boleh dipaksakan dan ditimpakan secara mutlak kepada mereka.
eraturan,
hukuman atau kewajiban yang telah ditetapkan tidak boleh dirubah atau diganti.
Namunn, peraturan, hukuman atau kewajiban sekecil dan sebesar apapun, jika
tidak memiliki dasar hukum adapt, maka mereka boleh menolaknya. Karena
sesungguhnya amar hukum yang berlaku di Wajo adalah nasehat. Adapun ketetapan
hukum yang sesungguhya adalah ketetapan hukum pemilik kehidupan, Tuhan Yang
Maha Esa. Karena, sesungguhnya orang Wajo tidaklah boleh dibunuh, kecuali ia
membunuh dirinya sendiri dengan aib sebagai akibat dari perbuatannya yang
tercela. Mereka, tidaklah boleh dituduh persalahkan kecuali sudah terbukti di Pengadilan,
bahwa mereka melakukan perbuatan atau perkataan yang tercela.
rang
Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat, tapi pada diri mereka terikat
ketetapan untuk tahu diri dan mengetahui batasan-batasan dari segala
pendapatnya. Mereka, tidak diperkenankan menyalahgunakan kemerdekaannya. Mereka
dibebaskan melakukan perjanjian atau kerjasama dengan orang merdeka lainnya.
rang
Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya
jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum
diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah
diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo. Sesungguhnya
orang Wajo, hanya akan merasa tentram jika tinggal ditanah Wajo.
ungguh
sebuah kearifan lokal yang sangat maknawi nan adiluhung, sangat bersebrangan
dengan kondisi Wajo saat ini. Pemerintah dan Rakyat tidak lagi segendang
sepenarian. Bahkan cenderung menggunkan hukum hutan rimba sebagaimana dalam
ungkapan bugis kuno sianre bale tauwwe. Budaya sipakatau, sipakalebbi,
sipakainge, kini berubah menjadi sipakatau-tau, sipakalebbi-lebbi, dan
sipakalinge-linge. Pesan leluhur untuk saling sirenreseng peru, seperti dalam
ungkapan mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, kini berubah
menjadi malii sipareppa-reppa, rebba sipatongko-tongko, malilu
sipakalinge-linge.
ungguh
ironis, dalam lambang pemerintah kabupaten Wajo, tertulis jelas semboyang
“maradeka to WajoE ade’na napopuang”. Kini, adagium itu tidaklah lebih dari sekedar
coretan yang tertimbung endapan dikedalaman dua puluh tujuh (27) Kilo Meter
didasar danau Tempe. Mungkin adagium yang layak kita ungkapkan sekarang adalah
“maddareke’ to WajoE, matanre siri’mi nade nappau” atau “madoraka to Wajo,
Andi’E-na napopuang”. Tapi apapun itu, saya tetap cinta dengan Wajo saya,
seperti orang Inggris berkata “Right or wrong is my country”.
Kebesaran
tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan,
kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep
pemerintahan adalah :
·
Kerajaan
·
Republik
·
Federasi, yang belum ada duanya pada masa
itu
Hal tersebut
semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan
bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana
Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
Ø LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
Ø PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
Ø LAMUNGKACE TOADDAMANG
Ø LATENRILAI TOSENGNGENG
Ø LASANGKURU PATAU
Ø LASALEWANGENG TO TENRI RUA
Ø LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
Ø LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih
banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar
kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi
tentang kelahiran Wajo, yakni :
·
Versi Puang Rilampulungeng
·
Versi Puang Ritimpengen
·
Versi Cinnongtabi
·
Versi Boli
·
Versi Kerajaan Cina
·
Versi masa Kebataraan
·
Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi
tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi
Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399,
dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih
bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap
bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE
secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang
bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering
berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI
BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur
Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput
rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara
pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan
rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE
MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di
bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan
perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara,
dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi
Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan
untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
·
Versi tanggal 18 Maret, ketika armada
Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan
Koddingareng.
·
Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam
peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan
gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
·
Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru
Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
·
Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo,
menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada
Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi
tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi
tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu
mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun
1741.
Dengan
perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah
Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan
kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana
telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu
mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya
terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade
Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai
falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan
ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja
terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian
dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada
saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola
mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan
”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di
Lapaddeppa’).
Inti dari
perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan
atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa
mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya
:
”IO TO WAJO,
MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’
RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO
MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang
Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu,
hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan
tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud
jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian
lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola
mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU
SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI
PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING
MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang
menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan
hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai
titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat
terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta
benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah
diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa
berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT:
LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan
inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat,
pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan
demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public
servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade
Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang
selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun
disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA
TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA
MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang
Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri
mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya
hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo
disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI
ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA
MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA
IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU
TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO
WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA
NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA
TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI,
PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG,
MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula
Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah
peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat
kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam
negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan
persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan
kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan
menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan
mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke
barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh
orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai
luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo
adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita
kembangkan dan lestarikan.
Sumber :
Wajo Abad
XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu
Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Sejarah
Singkat Hari Jadi Wajo;
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar
Jabbar, Maret 2000
Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun
2009
You might also like:
Sejarah Kabupaten Wajo
Amanat Arung Matowa Wajo La Mungkace’ To
Uddama
Sengkang/ Wajo adalah Kota Niaga ,
Pengrajin Sutera
Arti Lambang
Asal Kata Bugis
Situs situs sejarah wajo
Dibalik Sejarah Mesjid Kuno Tosora 1
Mesjid kuno
tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin
Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan
para Wali di Jawa
Salah satu
peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten
wajo yang yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid
kuno yang berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah
daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi
oleh 8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah
mulai dari makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi
kerajaan.
Konon, mesjid
yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar
bujur sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat
ditemukan pada daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa,
Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan
Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan
menggunakan perekat semacam kapur yang dicampur putih telur dan lokasi
ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah.
Sementara,
Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum
diketahui tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah
dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99
centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis,
Kepala Desa Tosora Asri Prasak Mas’ud mengatakan bahwa mesjid ini sangat
membutuhkan perhatian khusus karena ini merupakan cagar budaya peninggalan
sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan
sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa
batara dan arung matowa.
Lebih lanjut
dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada
masa dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur
sebagai bahan perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa
kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan mesjid.
“Dulu sesuai
cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang
tua kita dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa
diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti yang
ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan baru mereka
mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,” Jelasnya
Terkait dengan
keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana
pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai
memudar sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding
mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak
keaslian bangunannya.
“Selain itu
mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang
dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada
perbaikan setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa
ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,” Pintanya
Selain itu
katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian
bagi pemuka agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi
akan sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,”
Cetusnya. (*)
Makam Arung Matoa Wajo
Di Tosora
beberapa makam arung matoa diantaranya: Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung.
Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang
ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli
dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal
baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang
berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur
kira-kira tahun 1498 sampai 1528. Makam seanjutnya adalah Lamungkace
Toaddamang, merupakan arung matoa wajo ke 11 putra dari La Cella Ulu Paddanreng
Talotenreng, kira-kira 1567 sampai 1607 selanjunya makam Lasalewangeng
Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja
di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat
persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda
kira-kira tahun 1715 sampai 1736. Selanjutnya makam Latenrilai’ Tosenggeng,
bliau merupakan arung matoa Wajo yang ke 23. Beliau memegang tampuk
pemerintahan tari tahn 1658 smpai 1670, beliau pulalah yang menditikan Tosora
menjadi ibu Kota kerajaan Wajo.
Sejarah masuknya
Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan datangnya tiga
ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang.
Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi
diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar
pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah
kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau
titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka
jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada
tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Sayyid
Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa
Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl al-bayt
yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung
dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo
yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid
Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam
Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin
Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel
bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja
Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta
rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi
Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten
Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi
pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di
Sulawesi Selatan.
Kiai
Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis
Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia)
bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan
Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam
bernama La Maddusila, raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M.
Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang
mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila
yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini.
Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa
pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).
Keterangan
serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para
wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid
Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah
lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan.
Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin
al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam.
Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke
Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161).
Lalu mengapa
nama Jamaluddin al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal
perannya cukup penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan
sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Jamaluddin al-Husaini telah
memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri
Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di
kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin
atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah di
bawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini pada tahun 1320 M
di daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).
Boleh jadi
karena Jamaluddin al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan
Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar saat itu
di Sulawesi Selatan sehingga proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak
dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan
sesungguhnya tidaklah tunggal.
Yang menarik
kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan
Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo
Sultan Abdullah diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah
nabi sendiri. Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi
lalu menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk
memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke
Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia
lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun
heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu.
Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada
ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa
nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah
ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh
beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di
Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya
(Noorduyn, 1972: 31).
Ini kemudian
menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah
islamisasi di Nusantara atau Sulawesi secara khusus. Tapi bagaimana akar
polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses
islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh
Jamaluddin al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo,
dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Sayyid Jamaluddin
justru mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya.
Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan
tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu
adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan
yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang
memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat
setempat menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian
memohon menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena
permainan latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid
Jamaluddin dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga
turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta
latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.
Geddongnge
(Gedug Mesium)
Lingkungan
Geddongnge adalah salah satu wilayah yang elevasi tanahnya berbukit dan berada
di wilayah kota di Sulawesi Selatan, yaitu di kotamadya Parepare, tepatnya di
kelurahan Cappa Galung, Kecamatan Bacukiki Barat. Kelurahan Geddongnge dihuni
oleh warga pendatang dari daerah dan berbagai etnis sekitar, utamanya
Enrekang, yang telah berpuluh tahun menempati wilayah tersebut.
Hampir
sebagian besar warga di lokasi tersebut berpenghasilan di bawah rata-rata.
Dengan wilayah yang berbukit-bukit itu, warga menemui permasalahan dalam
mengakses kebutuhan air bersih dalam keseharian mereka. Apalagi ketika musim
kemarau kembali melanda daerah tersebut.
Padahal, daerah Geddongnge banyak tersebar sumur yang kini tidak lagi dimanfaatkan, akibat tercemar lumut, akibat terik matahari, limbah dan sampah rumah tangga yang disebabkan dinding sumur yang rendah, lantai retak dan tidak ditunjang sanitasi yang baik.
Permasalahan
ini menjadi prioritas usulan warga sejak adanya peluang untuk dapat berperan
serta dalam program PNPM Mandiri Perkotaan. Peran serta warga dalam pelaksanaan
Pemetaan Swadaya (PS) menghasilkan beberapa usulan yang dapat menunjang
perbaikan lingkungan dan penyediaan prasarana, yang selama ini menjadi
permasalahan warga sekitar. Alhasil keinginan mereka untuk memiliki sumur yang
sehat dan bersih dapat terakomodasi dalam PJM Pronangkis.
Salah satu
nilai kearifan lokal yang dimiliki warga Geddongnge adalah nilai Kebersamaan
masyarakat yang masih kuat. Hal ini ini dapat terwujud dengan terbentuknya
kelompok KSM Nusantara yang dimotori oleh Laharia sebagai ketua, dibantu oleh
Rio sebagai sekertaris, dengan bimbingan fasilitator teknik Tim 21 Kecamatan
Bacukiki Barat Kota Parepare.
Setelah
mendapat prioritas dalam BAPPUK/RPD BLM 2, KSM Nusantara merencanakan gambar
dan RAB yang dibutuhkan. Dalam perencanaannya, KSM Nusantara banyak berembuk
dengan masyarakat terkait apa yang menjadi penyebab pencemaran sumur tersebut.
Kesepakatan anggaran awal perencanaan yang dibuat adalah Rp 11.685.000 dari BLM
dan Rp 2.056.500 dari swadaya masyarakat dengan waktu pelaksanaan 14 hari
kerja.
Ternyata,
dalam proses pelaksanaannya, dukungan warga terlihat semakin besar. Hal ini
ditunjukkan bukan saja pada penambahan nilai swadaya, tetapi juga peran serta
nyata warga yang datang berbondong-bondong guna membantu kelompok kerja yang
telah disepakati. Kaum hawa pun tidak ketinggalan turut menyiapkan
konsumsi untuk para pejuang kepedulian tersebut.
Ini terjadi
selama kegiatan berlangsung. Akhirnya, dari perencanaan 14 hari kerja, KSM
Nusantara mampu menyelesaikan pekerjaan hanya dalam 5 hari kerja. Selama
kegiatan terlaksana, tak kurang dari 30 orang berpartisipasi setiap harinya,
sehingga realisasi swadaya juga meningkat melalui tenaga.
Ketika proses
pelaksanaan selesai, masyarakat di lingkungan Geddongnge mengaku sangat
bersyukur, karena sumur yang telah direhab akan banyak yang dimanfaatkan, di
antaranya untuk mencuci. Mereka tidak lagi kepanasan di musim kemarau atau
kehujanan di musim hujan. Diperkirakan, sumur ini berguna bagi sekitar 125
orang pemanfaat langsung.
Dari rasa
syukur dan kebersamaan ini, masyarakat sekitar Geddongnge menyepakati Kelompok
Pemelihara yang nantinya melalui warga pemanfaat akan memberikan sumbangsihnya.
Inilah salah satu kebersamaan dan kepedulian yang dapat dicontoh dan
diteladani, sehingga permasalahan apapun dapat diselesaikan melalui
gotong-royong. (Hasyim, Askot Infra Korkot 2, KMW OC-8 Sulsel/Tim Infrastruktur
KMP PNPM Mandiri Perkotaan; Team Web)
Daftar berpustakaan
·
Tempehttp://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar