Kamis, 09 Juni 2011

KISAH PANJANG SEORANG SAHABAT

Istiqlal.Rabu 25 Juni 2008

Hari ini aku mulai coretan penaku dalam lembar pertama buku ini, coretan yang mewakili perasaan senang, gundah, dan emosi yang pernah saya rasakan ketika mengawali hari pertamaku di ibukota, sampai perjuanganku melawan rasa egois yang tak kunjung mencapai ujung yang pasti. Coretan ini pula yang mewakili ucapan lisanku untuk mengatakan ribuan terimakasih buat teman-temanku,sahabatku sekaligus saudara-saudaraku yang telah memberiku kesempatan merasakan cakrawala kebahagian bersama mereka.

Coretan ini aku persembahkan buat mereka yang mempertanyakan apa bentuk suatu kebahagian? Untuk apa hidup ini di perjuangkan? Untuk mereka yang bertanya mungkinkah takdir akan berubah dengan ikhtiar? Untuk mereka yang bertanya kenapa kita harus berbagi? Semoga coretan ini dapat memberi inspirasi kepada setiap orang yang pernah meliriknya.

Asmar wong Bugis


BAB I

PERJALANAN YANG MELELAHKAN

Tak terasa pesawat Garuda Indonesia Airways membumbung diatas hamparan mega putih yang bertebaran diatas angkasa menambah kemegahan dirgantara nusantara, pelan tapi pasti pesawat itu bertolak dari bandara Sepinggan internasional di Balikpapan menuju ke Jakarta. Diatas deretan kursi empuk kelas ekonomi duduk berjejer utusan provinsi Kalimantan Timur yang dikirim untuk menempuh tugas belajar selama satu tahun di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik demi memperdalam ilmu dan teori statistik. Mereka meninggalkan bumi Borneo semata-mata untuk menunaikan kewajiban sebagai abdi masyarakat agar kelak ilmu yang mereka peroleh dapat dipergunakan untuk membangun Kalimantan Timur.

Diantara rombongan yang diutus, duduk seorang pemuda di kursi dekat jendela. Ia adalah pemuda asli suku bugis yang selama dua bulan terakhir ini bertugas di kantor BPS Kabupaten Berau, perjalanan takdir yang membawanya menginjakkan kaki di tanah Kalimantan karena sebelumnya dia lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Di matanya, bumi Kalimantan merupakan daerah yang tak asing baginya karena sebagian besar penduduk Kalimantan Timur Khususnya di Kabupaten Berau mayoritas pendatang dan banyak diantara mereka perantau suku Bugis. Maka tak heran kalau dia merasa betah ditempat tugasnya, tapi rasa nyaman itu seketika hilang saat dia menerima faximile dari pusat yang mengharuskannya ikut dalam program tugas belajar di Jakarta. Baginya dua bulan di kota Tanjung Redeb belum cukup membantu dirinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat lingkungan tempat tinggalnya, dia pun belum mengenal dan memahami kondisi topografi dan kultur budaya suku Banjar yang merupakan penduduk asli kabupaten Berau karena baru dua bulan yang lalu dia tinggal di kota tersebut yang akhirnya dipindahkan lagi ke Jakarta, dan semuanya harus di mulai lagi dari awal.

Dari jendela kecil pesawat Garuda Indonesia Airways yang berada dipinggir tempat duduknya, dia dapat melihat betapa indah pemandangan hutan belantar jika disaksikan dari angkasa, namun sungguh sangat memillukan saat melihat hutan Kalimantan sudah tidak perawan lagi, hampir disetiap jengkal terjadi kegundulan yang disebabkan oleh para pembalak liar, mereka selalu mengatas namakan pemanfaatan hasil hutan bagi kesejahtraan masyarakat, padahal kenyataannya eksploitasi hutan secara besar-besaran yang tidak terkontrol malah mendatangkan kerugian besar-besar bagi masyarakat, dampak yang tak dapat kita pungkiri hampir setiap saat Sungai Mahakam menjadi langganan banjir sehingga kota Samarinda akan menjadi korban luapan air bah, bahkan negara tetangga kita Malaysia selalu protes saat musim kemarau tiba sebab sudah dapat dipastikan negara kita akan mengekspor asap tebal dalam skala besar bahkan angka pengirimanya melampaui jumlah TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) yang bekerja disana, ini semua terjadi karena pembakaran lahan hutan yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Kejadian ini akan terus terulang bila sistem yang ada di negara ini tidak diperbaiki, khususnya mengenai pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan yang tepat guna dan ramah lingkungan. Kalau anda menempuh perjalanan dari kota Balikpapan menuju kota Samarinda via transportasi darat maka akan sangat terasa betapa sejuknya udara yang anda hirup disepanjang perjalanan dan anda akan menikmati betapa rimbungnya pepohonan bukit Soeharto dan pepohonan yang berdiri tegap di kiri kanan badan jalan beraspal. Pemandangan yang tersaji tersebut akan sangat menambah kenyamanan perjalanan anda sehingga jarak tempuh jalan beraspal 105 km yang menghubungkan kota Balikpapan - Samarinda tidak akan terasa, tapi sungguh ironis pemandangan tersebut sangat jauh berbeda dengan kondisi hutan yang ada di pedalaman Kalimantan, jika anda jauh melihat lebih dalam lagi maka akan terlihat betapa hancur ekosistem hutan yang kita miliki, mungkin sebagian orang-orang yang suka menebang pohon tidak menyadari bahwa jutaan makluk hidup ciptaan sang Khalik menggantungkan kehidupannya dari rimbunya pepohonan dan lebatnya dedaunan, bahkan manusia pun sangat bergantung dengan kelestarian hutan.

Maka tak salahlah kalau dunia mengakui bahwa hutan adalah paru-paru dunia dan faktanya 80 % paru-paru itu ada di bumi Kalimantan. Akankah sologan itu hanya tingggal kenangan, kalau manusia tidak bertindak secara bijak dan arif maka hutan hanya akan menjadi legenda bagi anak cucu kita.

Di benaknya banyak sekali kekagumam yang melimpah di tanah Kalimantan. Selain terkenal dengan kandungan mineral buminya yang banyak, sektor pariwisata juga sangat menjanjikan dan tak kalah hebatnya dengan pulau dewata Bali, seperti di kabupaten Berau banyak tersimpang potensi pariwisata budaya dan Bahari. Jika anda melihat peta Indonesia, maka anda akan menemukan deretan pulau-pulau kecil yang berjejer di selat Makassar, salah satunya adalah pulau derawan yang secara administratif berada dalam lingkup kecamatan pulau derawan kabupaten Berau.

Eksotika pulau derawan sangat terkenal apalagi masyarakatnya sangat menjaga kebersihan lingkungan dan daerah pantai, bila kita berdiri di bibir pantai pulau derawan maka yang ada dibawah pijakan kaki anda adalah hamparan butiran-butiran pasir putih yang sangat lembut dan cahaya keemasanya akan berkilauan seiring terpaan cahaya senja sang surya yang ingin berlabuh di balik birunya air laut, dan jika beruntung biasanya di salah satu sudut bibir dermaga akan tampak ribuan makhluk kecil bertempurung merayap seakan menari-nari diatas luasnya pasir putih, mereka itu sekawanan penyu yang menghuni pulau Sangalaki dan dikala senja sebagian akan mampir dipulau derawan sekedar beristirahat (mungkin karena kecapean berenang, heeeee).

Penyu memberikan berkah tersendiri bagi masyarakat kabupaten Berau disamping dijadikan lambang kabupaten, keberadaan penyu juga memberi tambahan penghasilan bagi masyarakat diantaranya telurnya dapat dijadikan panganan yang sehat karena mengandung gizi yang lengkap, dan masih banyak keunikan dari khazanah kota Batiwakkal provinsi Kalimantan Timur.

Tiga puluh menit sudah dia duduk diatas kursi nomer 16C, hanya sesekali dia menatap keluar melalui jendela kecil yang berukuran 30 x 20 cm. Tapi dari jendela itu dia bisa menyaksikan hamparan daratan dan lautan yang lama kelamaan tampak kecil dan akhirnya akan menghilang tertutup awan putih yang begitu tebal. Bahkan satu pulau yang dihuni oleh ribuan manusia dan makhluk hidup lainya tampak begitu kecil, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan betapa Allah SWT telah menciptakan muka bumi ini dengan sangat sempurna. Dari kejauhan pun tampak terlihat pulau kecil yang diyakininya merupakan pulau yang ditempati keluarganya.

“Mungkin saja itu kampungku, tempat ibu dan adik-adikku tinggal.” Lirihnya dalam hati, kembali dia berucap

Astagfirullah..,aku sangat rindu sama kalian, rasanya sudah lama aku tidak melihat senyuman ibu canda tawa Asdi, kenakalan Ari, serta nasehat ayah.” Kembali dia berujar dalam hati.

Dia semakin memandangi pulau tersebut walau terkadang jarak pandangnya terhalang mega putih yang seakan bergelantungan diatas cakrawala, tapi itu tak mengahalangi niatnya sama sekali, pandanganya pun tak berpindah dari pulau itu sampai akhirnya hanya terlihat seperti titik kecil dan akhirnya hilang sama sekali.

Seandainya pesawat ini seperti angkot yang bisa singgah dimanapun, ingin rasanya dia berteriak “Pak pilot aku singgah disini saja” tapi sayang diangkasa tidak ada halte bahkan rambu buat pemberhentian pun tidak ada. Sepanjang mata memandang yang tampak hanya gumpalan awan yang menghiasi setiap sudut kosong langit biru.

Sangat jelas diraut wajahnya rasa rindu yang sejak lama tertahan, karena di usianya yang masih belia dia sudah mendapat amanah untuk mengabdi sebagai statistisi di Kabupaten Berau, semuanya berawal dari ketidaksengajaan saat dia masih dibangku kuliah semester satu di Universitas Hasanuddin. Dia diajak Masrur yang tak lain sepupunya untuk mengikuti seleksi CPNS Badan Pusat Statistik (BPS) yang persyaratanya pada saat itu menerima lulusan SMA/Sederajat dan alhasil dari seribuan pendaftar dari Sulawesi Selatan akhirnya terpililah 15 orang yang lulus. Karena BPS merupakan Badan Non Departemen yang garis herarkinya langsung dari pusat atau sifatnya vertikal maka dua orang yang lulus dari daerah seleksi Provinsi Sulawesi Selatan saat penyerahan SK PNS ditempatkan di Kabupaten Berau dan Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu dia harus berpisah dari keluarganya dan harus meninggalkan tanah kelahiranya. Dia terpanggil untuk mengabdi di usia 19 tahun kepada bangsa dan negaranya.

Dia kembali menatap keluar melalui jendela dengan tatapan yang nanar, diujung matanya ada butiran air mata yang sangat lembut mengalir, dia begitu sedih saat dihadapanya tampak pantulan bayangan sesosok ibu yang telah melahirkan dan membesarkanya, sosok itu tersenyum ramah kepadanya, sebuah senyuman yang terakhir dia lihat saat diantar oleh keluarganya di Bandara Hasanuddin, saat pertama kali dia berangkat ke Kalimantan Timur.

Saat itu hanya senyuman rasa bangga yang terlihat diwajah ayu ibunya, tak terlihat raut mimik sedih melepas putra pertamanya pergi merantau, tapi jauh di lubuk hatinya dia tahu kalau wanita yang telah melahirkannya itu menangis, bersedih, dan tak sedikit pun keinginan untuk berpisah dengah putranya. Bagaikan slide photo yang di tampilkan sebuah layar komputer, sekarang berganti wajah ayahnya yang hadir di khayalannya, wajah yang sangat yakin kalau kelak anak kebanggaannya akan menjadi pria yang sukses dan dapat membahagiakannya di hari senjanya.

Terlintas pula bayangan kedua adiknya yang penuh canda.

Ya, allah..,yang maha pengasih, kuatkanlah hambamu yang lemah ini, aku yakin dibalik ini semua pasti ada hikmahnya, Ya..Allah.., yang maha penyayang lindungilah aku dan keluargaku dari fitnah dunia dan siksaan api neraka, lindungi dan sayangi kami sebagaimana engkau melindungi dan menyayangi rasullullah dan keluarganya…Amin ya rabbal alamin.” Doanya dalam hati.

Kembali dia teringat saat dua bulan yang lalu sebelum meninggalkan tanah kelahirannya. Diruang tamu rumah mungil itu ibu, ayah, dan adik-adiknya berkumpul.

“Nak, apa besok kamu jadi berangkat ke Berau?”

“Iye..,Insya allah,Etta…,besok aku sudah harus berangkat ke samarinda karena secepatnya aku harus melapor ke kantor provinsi sebelum aku ke Berau, lagian tiket pesawatnya sudah disiapkan oleh pihak provinsi Sulawesi Selatan, mau nggak mau aku harus berangkat.”

“Syukurlah kalau semuanya sudah disiapkan, aku hanya ingin pastikan saja biar nanti saat tiba disana nanda tidak kerepotan, soalnya ini pertama kalinya nanda akan berpisah dengan kami ?”

“Aku sudah biasa ko..Etta.., waktu aku SMA , aku kan ngekos dan nggak tinggal sama kalian, setidaknya pengalaman itu sudah cukup saya jadikan bekal buat bertahan di tanah rantau.“

“Iya aku mengerti anakku, tapi yang ini beda soalnya nanti nanda akan berada jauh disebrang pulau dan jaraknya sangat jauh. Jadi, pesanku jaga diri baik-baik dan kamu harus yakin bahwa merantau itu bukanlah suatu pilihan tapi itu merpukan suatu kewajiban dari setiap lelaki Bugis yang telah diwariskan leluhur kita jauh sebelum republik ini terbentuk. “ Ayahnya menarik nafas panjang sambil melanjutkan ucapanya

“Nak…, tentu kamu masih ingat dengan pamanmu La Patau yang tinggal di Palembang. Bayangkan saja pamanmu itu pergi merantau ke tanah melayu sana hanya bermodalkan semangat dan rasa percaya dirinya karena tamat SD-pun tidak, tapi untung saja dia masih bisa baca tulis, ayah masih ingat saat pamanmu minta izin dan doa restu sama almarhum kakekmu, saat itu pamanmu berkata.“ Dia berhenti sejenak sambil mengambil secangkir kopi yang ada di atas meja lalu perlahan di menyerumputnya perlahan, lalu ayah kembali melanjutkan ceritanya.

Etta, maeloka lao sompe, nasaba dena usedding nasicocoki atikku, narekko degage ujama?“ Kata paman ( Ayah, sekarang aku ingin pamit untuk merantau karena aku sudah tidak nyaman lagi kalau berlama-lama tanpa pekerja yang tetap )

Iko mito Mbe’, de muelo makkareso, maega wedding mupegau.., diattang sideppena soraja caleppa engka galung eppa hekto wedding mujama. Maego to iko saramu mbe’. “ Kata kakek ( Kamu saja yang tidak mau bekerja, disini banyak yang dapat kau lakukan, didaerah selatan dekat istana caleppa ada sawah empat hektar yang biisa kau garap )

Mateddeni usedding nyawaku, maelo sompe Etta, mammuaregi sulo watang caleppa nasagenangengi ati, maleppessangngi ana’ na laosompe sappai wanua naiya pabbanuana maeloi maccueri ada uteppue ricappalilaku, sibawa naturusi jello cappa jari ataukku. ” Kata paman (Besar keinginan dan semangatku ingin merantau ayah, semoga junjungan rakyat caleppa berkenang menginjinkan anaknya untuk berangkat merantau mencari kehormantanya, supaya kelak ada kampung yang masyarakatnya mau mendengar kata-kata yang terucap dari ujung lidahku dan mau mengikuti perintah apa yang aku suruhkan)

Narekko mateddeni nyawamu jokka sompe’, nasibawai ateke mapaccing weloreng muako jokka, agana bokong maeloe mutiwi Na’ ?” Kata kakek ( Kalau tekadmu sudah bulat disertai niat yang tulus dan bersih, aku ijinkan kamu berangkat, tapi bekal yang akan kau bawah serta ?”

Naiyya bokokku Etta, Tellu mi, “ Kata Paman (Bekalku hanya tiga ayah )

Teppuni gare’, upaggenekekko “ Kata Kakek (Sebutkanlah bekalmu nanti saya tambahkan )

Naiyya maeloe utiwi jokka barakkana tanah Bone sibawa paddoangenna sulo watang caleppa, naiyya bokokku tellumi : masseddinna alemmangenna cappa lilaku, madduanna atajangenna tenre ulugajakku, matellunna awatangenna lekke ulu lasoku. “ Kata Paman ( Yang ingin aku bawah pergi hanya berkat tanah Bone yang bertuah dandoa restu dari ayahanda junjungan rakyat caleppa. Adapun bekalku hanya ada tiga : pertama, lemah lembutnya tutur kataku maksudnya bagaimana caraku bertutur kata yang baik dan sopan serta caraku berdiplomasi dengan baik dalam mengatasi segala masalah yang aku hadapi dan selalu mengedepankan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Kedua, Tajamnya ujung keris ku maksudya kalau dengan berdiplomasi tidak ditemukan jalan keluar dan harga diri mulai direndahkan maka saat itu aku pastikan badik yang aku bawah akan tercabut dan akan aku sarungkan kembali setelah menumpahkan darah musuhku, agar leluhurku tidak malu mengakuiku sebagai keturunannya. Ketiga, tangguhnya kemaluanku maksudnya aku akan mengawini anak perempuan dari kalangan terpendang dikampung tempatku merantau, sekalipun itu anak musuhku demi untuk meredam rasa permusuhan yang ada )

Sejenak ayahku berhenti bercerita sambil meneguk kopinya kembali, lalu seiring helaan nafas panjangnya dia kembali berkata,

“Itulah yang dikatakan pamanmu sebelum berangakat karena dia berpegang teguh dengan prinsip dan kata-katanya, Alhamdulillah, sekarang beliau sudah berhasil menjadi pengusaha wallet dan petani koprah di Musi Banyuasin Palembang setidaknya dia sudah hidup mapan. Jadi, kamu juga harus yakin kalau kamu akan berhasil Nak, apalagi kamu ke Samarinda untuk bekerja kantoran bukan kerja serabutan, kami semua akan selalu mendoakanmu.” Ayah menyeka air matanya sambil menarik nafas panjang, ada perasaan berat dihatinya disaat akan berpisah dari anak pertamanya.

“Iye Etta, insya allah.., aku akan ingat nasehat Etta dan aku janji akan bersungguh-sungguh dalam bekerja “

“Kak…, kenapa sih mesti ke Samarinda? di Bone juga ada kantor BPS, kakak kerja aja disitu. “ Tanya adikku yang paling bungsu dengan polosnya

Aku hanya diam, aku ingin menangis tapi aku harus tegar biar orang tua ku bisa melepasku dengan perasaan lega.

“Ade…., kakak ke Samarinda karena itu sudah menjadi keputusan dari pimpinan, tapi kakak pasti kembali kok ke Bone “ Ibu mencoba menjelaskan

“Kalau Asdi sudah besar pasti aku menyusul kakak. Jadi, jangan takut disana ya kak”

Kata-kata itu selalu terngian di telingannya sampai dia tak sadar sebulir air bening keluar dari ujung matanya, sebuah kesedihan yang teramat sangat.

Dari balik jendela itu dia hanya bisa menatap tanpa berbicara sepatah katapun. Tiba-tiba kehenian yang menyelimuti hatinya menjadi buyar saat gadis yang duduk di sampingnya menepuk bahunya.

“Mar…, kamu melamun ya? apa kamu takut naik pesawat soalnya matamu mera? pasti kamu nangis karena ketakutan” Kata Asrafiah gadis yang lulus bersamanya utusan Kabupaten Bulungan.

Dia memang tipekal gadis yang ramah, periang, dan sedikit bawel. Semenjak dua bulan aku di Samarinda dia selalu ngerjain aku, tapi aku bersyukur kenal sama dia walaupun cerewet tapi dia baik dan ramah. Dia selalu menemaniku ngobrol sehingga aku jadi kerasan tinggal disana. Tidak seperti teman-temannya yang lain mereka sedikit sombong dan tidak peduli sama teman baru mungkin karena mereka perpikir hanya anak Kalimantan asli yang boleh kerja di tanah Borneo, sungguh sebuah paham Dualisme yang sudah tidak cocok ditrapkan pada zaman ini. Atau mungkin saja mereka belum welcome karena perbedaan latar belakang budaya.

“Ko….melamun lagi sih???? Apa sakin takutnya sehinggga kamu uda nggak bisa ngomong ya?..hehehehe ”

“Sorry…tadi aku cuma ngantuk aja ko, soalnya semaleman aku nggak bisa tidur.., maklum lah aku uda nggak sabar pengen ngeliat kota Jakarta ”

“Sama dong aku juga gitu bah, tadi malam aku nggak bisa tidur karena takut ketinggalan pesawat apalagi kalo aku terlambat terus pesawatnya penuh, bisa-bisa aku nggak dapat tempat duduk….hehehehehe”

“Emangnya Bus, sampai nggak dapat tempat duduk..Haaaaa”

“Nah, gitu dong, dalam hidup ini kita harus selalu tersenyum.., jangan melamun terus, Oia, sekarang jam berapa ya Mar…?”

“Uda jam 9.30, Emang kenapa?”

“Berarti 30 menit lagi kita akan mendarat di Cengkareng”

Tiba-tiba pesawat bergoyang, seperti menabrak sesuatu. Mirip delman kalau melawati jalanan berkerikil.

Astagfirullah…, ya…allah.., tolong hamba mu..ini. Mar pesawat ini kenapa sih?” Kata fhia sambil menutup mukanya, seketika itu dia pucat.

“Jangan panggil aku Mar ya.., entar di Jakarta ada yang bisa salah tanggap loh…, bisa-bisa nama ku di sangka Marni atau Marimar..hehehe” Aku berusaha membuatnya tersenyum karena aku tahu kalau dia takut.

“Dasar, sempat-sempatnya bercanda, tadi aku nanya serius?” wajahnya sudah sedikit santai

“Iya…., deh…maaf, tadi itu pesawatnya goyang karena kesandung batu besar, biasalah kalo jalanannya berlubang bannya kan bisa tersandung makanya goyang, ya nggak jau bedalah sama Taxi Tepian. Mungkin saja jalanannya belum di aspal, biasalah dinas PU kan terkadang ogah-ogahan ngerjain proyek yang dananya minim” jawab ku dengan serius

“Itu kan becanda lagi….. Asmar jahat.. aku nggak mo nanya lagi, aku mo tidur aja karena aku males ngobrol lagi” Sambil buang muka.

Tampak dia kesal banget, aku juga merasa bersalah jangan sampai dia takut betulan atau jangan-jangan ini baru pertama kalinya dia naik pesawat makanya panik sekali. Mungkin saja dia masih trauma soalnya tiga bulan yang lalu pesawat Adam Air jatuh di Perairan Barru Selat Makassar.

“Iya-iya maaf…., tadi itu pesawatnya nabrak awan makanya goyang, tapi nggak papa ko…, Tidur aja lah entar aku bangunin kalo uda nyampe, tapi tidurnya jangan sampai ngorok dan jangan sampai ilernya keluar ya…, bisa-bisa aku tinggalin loh”

Dia berbalik sambil mencubit lenganku.

“Dasar jahat…”

“he…he….he…” aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.

Tidak terasa 40 menit telah berlalu, aku kembali melihat keluar melalui jendela pesawat. Ternyata gedung-gedung perkantoran sudah tampak dengan jelas, bahkan puluhan perahu nelayan pun terlihat berbaris ditengah lautan. Bahkan sebuah very pengangkut penumpang terlihat mengarungi samudera, kapal itu mengarah ke timur dan berlawanan arah dengan pesawat yang ku tumpangi. Mungkin kapal tersebut akan berlabuh ke kota Makassar. Andai saja aku yang berada di kapal itu berarti aku bisa bertemu orang tuaku, serta adik-adikku. Aku jadi teringat sama ibu. Tiba-tiba aku kaget dan sadar dari khayalku karena mendengar suara seorang perempuan yang begitu indah melalui mikrofon pesawat.

‘’Para penumpang yang terhormat 10 menit lagi kita akan mendarat di bandara internasional SOEKARNO HATTA , tetap menggunkan sabuk pengaman untuk kenyamanan anda. Terima kasih.”

Dengan segera aku membangunkan Asrafiah.

‘’fiah, fiah, eh….ehhh…., pesawat udah mau mendarat nich. Siap-siap gih..”.

“Makasih ya..”(dengan nada suara lemes)

Tak lama kemudian terdengar lagi suara dari mikrofon dengan bahasa Inggris, aku sama sekali tidak mengerti arti dari kalimat yang keluar dari speaker yang terpasang di langit-langit pesawat, meskipun aku pernah menjadi mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Universitas Negeri Makassar. Tapi toh, sama sekali aku tidak pernah mengerti mengenai bahasa dari negeri paman Sam tersebut. Mungkin karena aku tidak ikhlas memilih jurusan itu makanya semua pelajaranya tidak masuk ke otakku yang memorinya pas-pasan ini. Harus gimana lagi, ini semua untuk membahagiakan orang tua ku. Mereka berpikir mungkin dengan memilih jurusan itu kelak aku akan jadi seorang guru dan mengikuti jejak mereka yang mengabdi pada negara untuk mencerdasarkan anak-anak bangsa ini. Maka dengan terpakasa akupun mengikuti saran beliau. Tapi apa yang di harapkkan oleh orang tuaku tidak seperti hasilnya. Ya..., bisa dibilang aku malah mengecewakan beliau. Sekali lagi karena aku tidak ikhlas masuk jurusan itu (dulu aku pengen banget jadi polisi karena aku ingin mewujudkan harap seseorang yang dengan setia selalu menantiku).

Alhasil, aku jadi malah sering ketinggalan mata kuliah bahkan sering tawuran. Soalnya didalam diriku, sama sekali tidak mengalir jiwa orang tuaku yang selalu mendewakan ajaran-ajaran sang pahlawan pendidikan yakni Ki Hajar Dewantara. Malah yang aku rasakan pada saat itu sebuah semangat yang berkobar-kobar seperti semangat yang dimiliki SHOE HOK GIE , CHARIL ANWAR, dan Para senior-senior bahkan saudara-saudaraku yang menjadi korban tragedi amarah 1998 dari UMI.

Dalam benakku aku ingin selalu menyerukan kata “hidup mahasiswa’’ dengan suara yang lantang bahkan kalau bisa aku ingin mengetarkan bulu kuduk para penentu kebijakan karena mendengar suara seruan dan jeritan rakyat jelata. Walau terkadang aku tidak tahu rakyat seperti apa yang harus aku bela, mungkin saja rakyat yang berdasi atau bahkan para saingan politik dari penentu kebijakan itu sendiri.

Dengan berbekal semangat itu akupun selalu aktif mengikuti aksi demonstrasi yang selalu menyuarakan perubahan untuk kesejahtraan rakyat yang lebih baik. Sampai pada akhirnya sebuah tragedi menimpaku. Dengan kedua mataku, sebuah aksi mahasiswa yang diluar nalar kepalaku terjadi, mereka tak lebih baik dari segerombolan orang-orang Barbar yang lagi berkelahi hanya untuk urusan perut, sahabatku Antonio Patodingan mahasiswa asal kota Makale (Tanah Toraja) tergeletak berlumuran darah didepan mataku karena tangannya terkena sabetan Kalewang yang di hantamkan Mahasiswa fakultas tetangga. Bentrok pun terus terjadi antar mahasiswa, dan seperti di fil-film Bollywood pada umumnya, hampir dipastikan Inspektur Vijay dan teman-temannya selalu datang setelah kejadian redah, hal serupa pun berlaku di negeri ini, mungkinkah para aparat tidak tanggap oleh kejadian yang terjadi di masyarakat kampus yang katanya beradab (Kalau menurut penulis sih, kata beradab tidak jauh beda dengan kata Biadab) atau mungkin para aparat yang berseragam itu sudah jengah melihat kaum terpelajar negeri Angin Mammiri yang hidupnya selalu diwarnai aksi kekerasan.

Entah kita harus mempersalahkan siapa??? Sebuah tanda tanya besar yang tidak akan terjawab selama masih tumbuh sifat-sifat Rasisme di kampus. Setiap kali aksi bentrok mahasiswa selesai, dihati kecilku selalu berucap syukur kehadirat sang pecipta karena hari itu aku bisa melawatinya dengan selamat.

Sangat ironis sekali bila kita menelisik jauh ke dalam lingkungan kampus Parang Tambung sebuah kampus ber-Genre Pendidikan ternyata di dalamnya ditumbuhi para aktivis yang salah kaprah mengartikan sebuah makna “Kebebasan Berpendapat” sebuah eksotika kampus yang jauh dari kata nyaman, disaat kami mahasiswa baru dituntut orang tua untuk belajar baik-baik demi masa depan yang cerah, bahkan tak jarang diantara mahasiswa itu ada anak-anak yang kurang mampu sehingga saat orang tua mereka memutuskan mengirim anaknya untuk kuliah tak jarang harta berharga mereka pun melayang, mungkin saja para rentenir atau lintah darat di kampung akan menjadi satu-satunya malaikat bersayap yang akan menolong mereka.

Ternyata harapan para orang tua pun akan sia-sia bila mereka melihat anaknya di tv terlibat bentrok dengan fakultas lain, apa yang salah dari dunia kampus kota Makassar??? Semuanya selalu atas dasar solidaritas sesama mahasiswa yang sangat tidak masuk akal, ingat bung!!! Sekarang bukan zamannya lagi berperang karena kita sudah merdeka, kalau mau sok jagoan mungkin suatu saat nanti pemerintah akan menfasilitasi pengiriman relawan ke jalur Gaza, semoga itu terjadi biar bentroknya lebih berarti.

Selepas tahun 2006, tepatnya pertengah tahun 2007, aku keluar dari kampus itu dan mencoba untuk mendaftar di Kepolisian dengan harapan kelak aku bisa menjadi bagian dari penegak hukum yang berseragam, yang akan bisa menangani atau bahkan membongkar tindak dan aksi kekerasan yang terjadi antar mahasiswa di UNM Parang Tambung. Namun sayang Allah SWT berkehendak lain disaat Pantukhir ( Penentuan Terakhir ) diantara secaba utusan kabupatenku yang ikut, hanya diriku seorang yang tidak lolos. Namun kegagalan itu tidak membuatku merasa kecewa. Cuma aku sangat merasa menyesal karena disaat bersamaan aku kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku ( Para pembaca pasti penasaran ya…, tapi tahan dulu entar kisah selengkapnya dibaca pada Bab berikutnya ).

Awal Agustus 2007, walau kekecewaan yang aku rasakan selalu menjadi bayangan hitam yang selalu menemani langkahku, tapi biarlah jadi pembelajaran dan cambuk untuk menujuh masa depan yang lebih baik karena perjalanan masih panjang. Setelah itu aku mendaftarkan diri jadi mahasiswa baru di salah satu fakultas ternama di Makassar yakni Universitas Hasanuddin (UNHAS).

Alhasil, Alhamdulillah aku diterima sesuai jurusan yang aku inginkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP UNHAS ). Di fakultas inilah bakat demonstrasi yang aku miliki ku salurkan karena kami anak Ilmu Politik memeliki ideologi yang sama yakni “mahasiswa agen perubahan jadi ketika mahasiswa bungkam maka bangsa dan negara ini akan runtuh“.

Atas dasar pemikiran itu jadilah kami mahasiswa paduan suara yang selalu berteriak menyuarakan suara Wong Cilik . Ternyata setiap aksi demonstrasi pasti ada yang memback-up, setiap selesai demonstrasi pasti ada bayaran 20 ribu dari senior. Dengan mengatas namakan “sumbangan dari teman-teman yang tidak sempat ikut demonstarsi dikarenakan sakit sebagai wujud solidaritas”. Mengenai dari mana asal muasal duit itu sebagai junior mungkin tidak penting mempertanyakan sama senior. Tapi, tidak mengapa itu sudah masa lalu biarlah berlalu.

MENDAPAT BEA SISWA

Disaat berada diatas ketinggian 1200 kaki diatas permukaan laut. Pesawat yang kutumpangi sedang menempuh perjalanan menuju ke ibukota untuk memenuhi panggilan negara menjalani beasiswa di salah satu sekolah tinggi kedinasan di Jakarta. Semenjak lulus menjadi pegawai negeri di salah satu instansi pemerintah maka, saat itu aku wajib mengikuti aturan itu. Ya, mungkin sama dengan wajib militer (Heeee….lebay banget). Saat itu aku masih tergolong masih muda, umurku masih 19 tahun. Rasa bahagia selalu menyelimuti karena diusiaku yang tergolong masih dini aku sudah harus menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL pangkat Pengatur Muda golongan IIa. Aku merasa bangga dan bersyukur karena diantara ribuan orang yang mendaftar se-provinsi Sulawesi Selatan hanya 17 orang yang diterima. Diantara 17 orang hanya 15 orang yang di tempatkan di Sulawesi Selatan, sedangkan lebihnya harus dimutasi ke Kalimantan Timur.

Salah satu dari kedua orang yang harus dimutasi itu adalah laki-laki yang berparas muka ganteng ( uweek…uweek ).

Sebenarnya kata ganteng sering aku dengar dari kata nenek saya (Petta Tasa) jadi siapapun yang menyangsikan atau nggak percaya kalau saya ganteng maka nenek saya akan ngomel-ngomel, seperti saat beliau membangunkan ku shalat subuh..hehehe “

Jadi terima saja kenyataan ini dengan lapang dada…heeee ( walau aku sendiri tahu kalau nenek saya hanya ingin membahagiakan ku ).

Aku Punya lesun pipi (Lebih detailnya kiri dan kanan. hahahaha), Tinggi 163, Berat ya….agak gemuk tapi imut loh (Jangan tertawa). Karena di lahirkan Tanggal 11 Maret 1988 maka aku dianugerahi Nama Asmar yang artinya Aku Lahir Sebelas Maret biar lebih keren ditambahkan Syam Singkatan dari Syamsul – Aminah (Bokap – Nyokap Gue) terus dikasih gelar kebangsawanan maklum gini – gini aku masih ada hubungan kekerabat dengan “The Koning King Of Bugis” (Raja diraja suku Bugis) Arung Palakku jadi lengkaplah namaku Andi Asmar Syam. (He . . . He….. .he…, aku narsis banget ya).

Ko mirip bidoata sih . . . . ., katanya inikan novel . . . ., tapi ngak apa-apalah. Biar beda dikit.

***

Berselang sepuluh menit kemudian pesawat akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno – Hatta.

“Syukurlah kita sudah mendarat dengan selamat” Kata Fhia sambil mengusap mukanya dengan kedua tangan.

“ Fhia, emang baru kali ini ya kamu naik pesawat, ke nervous banget?“ Tanyaku heran

Senyumnya menjuntai kearahku.

“Iya.., ini emang pertama kalinya aku naik pesawat. Emang kenapa? mau ledekin ya, mau bilangin aku katro, wong deso ato kampungan???” Jawabannya Ketus

“Santai bu, aku cuma nanya, ko sewot banget sih! emang kamu lagi M ya ?” Tanyaku ingin tahu

“Iya . . . dikit . . .” Belum selesai dia menjawab tiba-tiba dia diam dan matanya mengikuti sosok yang lewat disampingnya.

“Mar.., itu Adit dan Nia Afi (Akademi Fantasi Indosiar)“ Dia bersorak.

“Usss . . , diam banyak orang. Entar malu diliatin, entar dibawah aja baru foto bareng. Key. Jadi sekarang tenang aja ya“ Aku berusaha menenangkannya

“ Ayo cepat . . . (sambil menarik tanganku). Sekarang aku duluan ya, entar tasku bawain. Aku tunggu dibawah ya“ (dia berlari melewati koridor pesawat menuju pintu terdekat yang bisa di jangkau dengan mudah. Ternyata tepat di pintu bagian depan pesawat tampaklah Jum, Murni, Selvi, Hikmah bergerumul dan dalam sekejap mereka sudah hilang ditengah kerumunan orang yang turun dari pesawat).

“Kalo kaya gini aku bisa-bisa dijadiin OB seperti Simail dalam Sitkom OB yang kerjanya cuma angkat-angkat barang ” (Aku bersungut-sungut melewati lorong pesawat yang sempit, pas diujung pintu, seorang pramugari dan awak pesawat lainnya mengembangkan senyumnya jadi aku pun tersenyum sekarang).

Pas turun tangga sebelum menginjakkan kakiku ditanah rantau, aku mengucapkan doa yang pernah aku pelajari dari nenek setidaknya ini salah satu ikhtiar untuk tetap selamat dan sehat walafiat ditanah rantau.

Bismillahirahmanirahim . . . . . HHHHH (sensor red)” aku kembali menjinjing tas Asrafiah karena dipundakku sudah ada ransel besar

“Asmar…, ayo foto-foto bareng Adit dan Nia, kebetulan Pak SBY berbaik hati mengirim artis untuk menjemput kita, padahal salah satu tujuanku ke Jakarta untuk foto bareng sama artis untung Pak SBY ngerti dengan kemauanku . . .,Hehehe“ Dia cengengesan sambil melanjutkan aktivitasnya

“Kalian aja lah, aku malas foto bareng mereka nanti orang-orang malah akan bertanya Asmar yang fans ama Adit atau Adit yang fans sama Asmar“ Kataku dengan penuh percaya diri

Sekilas aku juga sempat melirik Adit dan ternyata dia ganteng juga dan wajahnya putih, mulus, bak putri kraton ya mungkin aja tiap hari sesudah mandi dia memakai citra . . . He . . . He. . . He.

Setelah acara foto-foto bareng artis selesai kami menuju lobi bandara dan setelah mengambil barang-barang bagasi, aku dan kedelapan temanku menyusuri lorong-lorong yang saling terhubungan dan bersambungan. Keadaan seperti yang membuat kami pusing, maklum saja belum ada yang pernah ke Jakarta sebelumnya jadi Bandara ini sangat asing bagi ke delapan anak Kalimantan yang mengusung misi khusus selama satu tahun kedepan. Walau koridor bandara sangat rumit tapi hal itu tidak jadi masalah soalnya banyak petunjuk yang tertera untuk membedakan arah penumpang yang menuju ke setiap terminal keberangkatan atau kedatangan pesawat karena setiap pesawat memiliki terminal yang berbeda maka wajarlah kalo bandara ini besar sekali.

Berselang dua puluh menit kemudian kami keluar dari lobi bandara, di depan lobi sudah banyak orang-orang yang berkerumun. Aku sempat merasa nervous karena aku kira orang-orang ini lagi menunggu kedatanganku. Siapa tau aja Om Ucu Kalla sudah nyiapin penyambutan kedatangan kami ( Gini-gini aku satu kampung loh dengan Yusuf Kalla. Setidaknya waktu beliau kecil dan beranjak remaja beliau dan keluarganya tinggal di Watampone Ibu Kota Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan yang tak lain Tanah Kelahiranku).

Diantara kerumunan itu tak sedikit yang membawa selembar kertas yang bertulis seruan atau sekedar info, pokoknya mirip ibu-ibu yang lagi demonstrasi didepan kantor Gubernuran Makassar yang menuntut harga sembako di turun kan, banyak tulisan yang tertera pada kertas itu sala satu contoh “ Jemputan Santi dari Cirebon” bahkan ada juga “Emmak ini Arjuna dari Ponorogo“ yang paling lucu ada penumpang yang keluar dari lobi bandara sambil menentang kopernya di tangan, dan dibahunya juga bergantungan sebuah ransel besar tapi didepan dadanya ada kartun kecil yang mirip papan reklame yang bertuliskan “Tulang, ini Togar dari Binjai“. Aku hampir tertawa terbahak-bahak, soalnya hari gini, dimana telekomunikasi sudah canggih masih banyak orang yang tak berpikir praktis. Apa susahnya menggunakan HP untuk mengabarkan kalau Hari ini gua datang dari Binjai, pake baju merah, rambutnya ekor kuda (Kok mirip lagu Play Group ya !!!) tolong dijemput aku tunggu di depan pintu kedatangan bandara. Gampangkan. Ini sih sekedar tips aja !!! Hehehe

Setelah jemputan kami datang, tidak lama kemudian bus jemputan kami melesat melewati jalan tol menuju ke arah kota. Perjalanan dari bandara ke Gambir cukup lama, aku menyaksikan banyak pemandangan yang selama ini hanyalah sebatas impian aku, tapi sekarang semuanya tampak nyata di depan ku di sebelah kiri aku melihat stadion kebanggaan Laskar Sipitung yang tak lain markas besar PERSITARA dari sisi lain berdirilah gedung - gedung pencakar langit yang tinggi mungkin disetiap jengkal tanah yang ada di Jakarta sudah di isi oleh perumahan, perkantoran, bahkan pusat-pusat perbelanjaan. Sejurus kemudian didaerah yang cukup padat kendaraannya, bus jemputan kami melesat menanjak melewat flay over, dari sisi inilah aku untuk pertama kalinya melihat jalan raya yang bersusun empat. “Subhanallah” Gumanku dalam hati, inilah hasil daya cipta dan karsa manusia yang mengagumkan, Maha Besar Allah SWT yang menciptakan akal di atas diri manusia dan tak salahlah Allah SWT memberikan posisi mulia kepada manusia ciptaannya sebagai Khalifah diatas muka bumi ini.

Dari ketinggian flay over aku pun menyaksikan sisi lain dari kota Jakarta, dibalik gedung-gedung yang menjulang itu ternyata ada pemandangan yang sangat jauh berbeda. Dibawah jalan-jalan raksasa berdirilah gubuk-gubuk yang berlapiskan kardus bekas lengkap dengan barang rongsokannya, sungguh pemukiman yang jauh dari kota sehat dan aman. Aku menggelengkan kepala seraya terus memandang kearah pemukiman itu.

“Inilah potret lain dari ibu kota yang dirindukan setiap orang“ Gerutuku

Tiba-tiba Pak Kardi yang duduk disampingku berkata

“Inilah Jakarta Bung, Jakarta emang kejam, kerjaan yang haram aja susah. Apalagi yang halal kalo gak siap mental, jangan coba-coba menginjakkan kaki ditanah ini. Jadi mumpung kamu dapat fasilitas dari Pemerintah manfaatkanlah sebaik-baiknya belajar yang rajin dan carilah pengalaman sebanyak-banyaknya “ Tutur Pak Kardi dengan mantap, Pak Kardi kelihatannya sudah tau betul tentang seluk beluk kota Jakarta karena dengan fasih beliau menerangkan kepada kami setiap jalan yang dilalui padahal beliau juga bukan orang Betawi asli, dari si Hendro aku tau kalo dulunya dia mahasiswa STIS utusan Kota Balikpapan dan dia termasuk lulusan yang memiliki IPK tinggi makanya dia ditempatkan di BPS pusat. Dan hal inilah yang menjadi impian setiap mahasiswa STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) paling tidak kita bisa dapat kesempatan menentukan tempat penempatan kerja, bagi mahasiswa yang kangen sama tanah kelahirannya maka dia memiliki kesempatan untuk bermohon ditempatkan disana.

Setelah melewati tikungan tajam Pak Kardi menunjukkan sebuah gedung yang dari kejauhan mirip dengan Mesjid.

“Itulah Tanah Abang, bagi yang ingin berbelanja pakaian yang murah, kapan-kapan kalian harus kesana” Beliau menjelaskan dengan sangat detail kamu semua hanya manggut-manggut.

Tak berselang lama bus memasuki sebuah terminal. Lalu kondekturnya menyuruh para penumpang untuk segera mengemasi barang bawaan karena bus sudah memasuki daerah stasiun Gambir. Akupun mengangkat ransel eiger yang ada di bawah jok kursi tempat dudukku. Setelah semua penumpang turun bus kembali melesat menuju ke bandara.

“Selamat datang di Jakarta,” Kata Pak Kardi

“Sekarang kita akan cari Taxi, agar kita bisa cepat sampai di Kampus, semoga aja kita tidak terjebak kemacetan karena hari ini akan ada demonstrasi besar-besar menuntut penolakan kenaikan BBM “ Sambung Pak Kardi.

Setelah melewati jejeran mobil Pak Kardi lalu berhenti dan menyulut sebuah rokok kretek Dji Sam Soe, “Anak-anak dibelakang mobil ini ada sebuah bangunan yang menjadi simbol kota Jakarta (sambil menunjuk kearah sebuah bus) itulah Monas”.

Astagfirullah, monas!!! apa aku mimpi ya Allah dulu waktu aku kecil, aku hanya bisa menyaksikannya di berita TVRI, tapi sekarang Monas berdiri di depanku menjulang sangat tinggi, dan diatasnya berlapiskan kilauan warna terang, katanya sih itu adalah lambang api abadi yang terbuat dari emas murni” Gumamku dalam hati takjub.

“Wah . . . . ., Monas itu ternyata gede banget ya….., kirain kecil, soalnya di TV kelihatan kecil banget” Celetuk Fhia dari belakang, gadis ini memang pembawaannya rame, dan gak bisa diam.

“Ayoooo.., foto-foto dong” katanya sambil menarik Murni dan Jum.

“Wah, penyakit selebnya kambuh lagi” Kata si Hendro.

“Foto-fotonya bentar aja yah karena sapa tau kita kena macet“ Pak Kardi mengingatkan

“Iya Pak“ Jawabnya kompak.

“Satu, dua, tiga”(kilatan menyebar dari kamera digital milik Fhia”.

“Foto-fotonya udah ya, soalnya taksinya udah datang” Dari kejauhan tampak 2 taxi menuju kearah kami.

Taxi pun melesat melalui jalan protokol setelah memyalib sebuah bus taxi membelok melawati jalanan yang tidak padat kendaraan. Aku sempat melihat tepat di ujung taman patung selamat datang berdiri sebuah bangun dengan gaya arsitektur tradisional tapi tidak meninggal kan unsur kemegahan, Bangunan megah yang tampak itu adalah Hotel Borobudur. Ada juga bangunan tempoe dolue soalnya arsitekturnya masih bergaya eropa dengan sentuhan khas bangunan-bangunan Belanda tapi di masa sekarang bangunan itu ditempati Bapak Sofyan Jalil di bawah bendera Departemen Perhubungan, jauh meleset kedepan taxi melewati hotel borobudur yang berdiri kokoh didepan taman lawang (sekedar info taman ini base camp para makhluk jadi – jadian, banci red) terus menuju ke Utara sampai pada pertigaan lampu merah pas gedung pertunjukan wayang orang BHARATA yang ada disenen setelah lampu hijau menyala, taxi berbelok kekanan menuju arah timur melewati pasar senen lurus menuju ke Pal Putih, sesaat setelah memasuki Matraman tampaklah antrian kendaraan yang sangat panjang dari arah yang berlawanan tampak segerombolan manusia yang sedang berjalan mirip peserta karnaval karena tampak jelas mereka memakai jas warna-warni mulai dari kuning, hijau, merah bahkan ada pula yang membawa bendera-bendera yang kuyakini itu bukan bendera negaraku, semakin dekat kerumunan itu, suara teriakannya pun semakin jelas mirip paduan suara tapi yang satu ini beda karena kolaborasi suaranya tak jelas.

“Wah …. Ini demonstrasi” kata sopir taxi

“Kita terjebak macet, arak-arak inilah yang menjadi salah satu keunikan Jakarta” Kata Pak Kardi

“Ini demonstrasi mahasiswa apa pak? “ tanyaku

“Wah.., kalo dilihat dari warna jasnya..ini sih kolaborasi dari berbagai mahasiswa, yang jelas jas kampus kita, nggak ada di antara kawanan itu” Pak Kardi menjelaskan.

“Emang dikampus kita nggak ada senat mahasiwanya pak??”

“Dikampus sih, senatnya ada cuma mereka tidak mengurusi hal-hal seperti ini, yang jelas tugas kita disana hanyalah belajar karna porsi kita sebagai mahasiswa kedinasan yang disiapkan untuk mengabdi dan loyal terhadap Negara, yang jelas disana kalian akan mengerti dengan sendirinya”

Setelah terjebak macet hampir 1 jam akhirnya taxi yang kami tumpangi bisa menembus blokade massa dan berhasil melewati jalan protokol menuju terminal kampung melayu kemudian menuju kearah jalan Oto Iskandardinata

Dari sebelah sisi kanan jalanan berdirilah sebuah gedung yang cukup megah yang takkalah megahnya adalah mesjid yang berdiri kokoh disamping sebuah gang.

“Inilah stis, tempat kalian akan berjuang selama satu tahun kedepan, terhitung sejak hari ini”

“Pokoknya ikuti saja semua peraturan kampus, dan rajin-rajinlah belajar karna kalian putra-putri terbaik bangsa ini” kata Pak kardi.

“Oya, siapa ketua rombongannya ” Tanya Pak Kardi.

“Saya pak ” jawab Hendro

“Hari ini kalo emang masih sempat, kamu melapor ke kampus biar panitianya tahu kalo rombongan Kal-Tim sudah tiba. Sekaligus serahkan bukti tiket kalian” jelas Pak Kardi.

“Iya pak” jawab Hendro sambil manggut-manggut.

Setelah taxi memutar arah di perepatan lampu merah, akhirnya taxi itu memasuki sebuah gang kecil. Pas dimulut gang berdirilah sebuah gapura yang terbuat dari bambu yang berhiaskan sebuah tulisan “welcome to gang sensus” sesaat kemudian taxi yang membawa fhia dan teman-temannya membuntuti taxi yang kami tumpangi dari belakang.

“Stop, pak” kata pak Kardi

Setelah membayar taxi akhirnya kami memasuki sebuah rumah yang cukup besar, berlapiskan ubin merah jadi tampak indah dipandang mata.

“ini kos-kosan untuk asrama putri, yang cowok katanya sudah siap di kebon nanas, pas depan kampus” kata Pak Kardi

“Silahkan istirahat dulu, dan untuk sementara cowok2 nginap di lantai bawah dan ceweknya diatas , besok pagi kalian boleh mencari tempat kosan, Oia, si hendro mana?” Tanya pak Kardi

“iya pak”

“Sekarang kamu ikut aku ke kampus untuk laporan sekalian aku mau pamit soalnya di kantor masih ada kerjaan, kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan telpon saya, Insya Allah saya akan Bantu semampuku”.

“Iya pak” jawab kami kompak

Kemudian Fhia menyerahkan sebuah bungkusan.

“Pak, mohon diterima, ini amplang oleh-oleh khas Samarinda” Kata fhia. “Terima kasih yah” Pak Kardi mengambil bingkisan itu lalu berlalu bersama Hendro.

Hari ini cukup melelahkan setelah mengatur barang dan bersih-bersih aku melepas lelah dengan melemparkan tubuhku diatas sofa yang empuk itu. Inilah hari pertama aku di Jakarta dan selanjutnya aku akan melewati 366 hari kedepannya… Semangat


BAB II

STIS YANG IMUT

Hari masih gelap, tapi sayup-sayup terdengar suara dari mikrofon mesjid.

“Ayo.., bangun…, Bangun…, Lebih baik shalat dari pada tidur”. Suara itu terdengar berkali-kali hingga kuping sedikit tegang mendapat getaran di atas 20.000 Mhz. seketika aku terperanjat dari mimpi indahku …

“Sialan suara itu, berisik banget! Padahal inikan bukan Bulan Suci Ramdhan, ngebanguninnya nafsu banget” gerutuku dalam hati.

Tiba-tiba adzan subuh sudah berkumandang dengan lantunan yang begitu syahdu mengiang-ngiang di terbawah oleh semilir angin yang memecah keheningan subuh di tanah Jakarta.

“Astaghfirullah, kok aku mengumpat, padahal orang itu berniat baik dengan membangunkan umat Islam disekitar Mesjid untuk sholat subuh. Maafkan hambamu ini ya Allah” gumamku dalam hati. Sambil mengusapkan kedua telapak tanganku kemuka.

Sejenak aku melihat sekeliling ruangan itu disudut ruang tamu yang berdekatan dengan pintu keluar tampak sebuah rak sepatu yang terbuat dari besi. Tak jauh dari rak itu tepatnya disudut dinding ruangan tampak sebuah kertas pengumuman yang bercoretkan tinta spidol berwarna hitam yang tulisannya :

“Pengumuman Bagi Penghuni Kost Borneo”

· Hanya boleh bertamu dibawah jam 9

· Cowok hanya sebatas ruang tamu

· Dilarang ribut-ribut

Ternyata kosan ini dulunya ditempati oleh anak-anak utusan Kalimantan yang sekarang sudah lulus dan sudah ditugaskan untuk bekerja. Pantaslah fhia dan teman-temannya nggak kelabakan cari kost-kosan. Akupun kembali mengamati ruangan yang berukuran 4 x 5 m itu. Lantainya dilapisi ubin berwarna putih susu sehingga berkesan rapi dan bersih. Pantaslah Hendro dan Novi terlelap tidur sampai-sampai keduanya bergantian mendengkur, tapi wajar saja kalau mereka kecapean soalnya semalam mereka begadang nonton pertandingan Final Piala Inggris antra MU Vs Liverpool. Kata ibu kost, Tv itu merupakan warisan dari anak-anak kost yang sudah menyelesaikan kuliahnya di STIS. Rumah ini tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan aman untuk ditempati anak-anak cewek, pasalnya ibu kost berada persis di depan rumah jadi nggak sulit ibu kost untuk mengawasi mereka, lagian rumah ini dihuni oleh temanku dari Kal-Tim. Kebetulan kak Hikmah yang sedang mengandung 3 bulan tinggal dilantai bawah bersama suaminya. Sedangkan Jum, fhia, Murni, Selfi tinggal di kamar lantai dua. Kalau anak perempuan ini sudah mendapat kosan yang layak setidaknya aku bebas mencari kosan dengan tenang. Soalnya sebelum berangkat kami diamanatkan oleh kepala BBS Provinsi Kalimantan Timur untuk saling menjaga nama baik Instansi kami, walaupun aku bukan orang Kalimantan asli tapi aku sudah menjadi bagian dari mereka karena kelak disanalah aku akan mengabdi.

Setelah shalat subuh aku langsung mandi karena kalau kesiangan bisa-bisa akan terjadi antrian panjang seperti pembagian sembako di Pasuruan dan bisa terjadi korban lagi he..he. Semuanya serba dipercepat mulai dari mandi sampai makan karena pagi ini kami harus melapor dan akan ada pemotretan untuk administrasi kampus.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 wib tiba-tiba hpku berdering.

“Halo.., asalamualaikum nak” terdengar suara dari ujung telfon suara yang sangat aku rindukan

Walaikumsalam mam. Sekarang aku sudah di Jakarta mam”

“Syukurlah nak, kami semua selalu mendoakanmu agar sehat selalu dan jaga diri baik-baik” kata ibu dengan nada yang sedikit serak mungkin beliau nangis.

“Insya Allah, aku akan selalu mendengarkan nasehat ibu, akupun selalu berdoa agar keluarga disana dalam keadaan sehat walafiat” Kataku penuh kemantapan aku ingin terlihat tegar, aku tidak boleh menangis walaupun sebenarnya aku ingin menangis karena kangen sama mereka.

“Nak sudah dulu ya… karena sekarang mama lagi di sekolah. Jaga diri baik-baik ya nak”

“Iya mam, salam buat etta, Ari, dan Asdi”

“Nanti salamnya aku sampaikan. Assalamualaikum

Walaikum salam” telpon dari ibunya pun terputus.

Pukul 07.30 wib kami, Sembilan orang utusan provinsi Kalimantan Timur berangkat ke kampus STIS yang berada tak jauh dari kosan borneo. Tampak sudah banyak orang yang berkerumun di lobi kampus bahkan di pelataran masjid al-khasanah banyak yang duduk berjejer saling mengobrol. Aku dan teman-temanku menelusuri tempat itu sambil menebar senyum kepada meraka. Banyak keaneka ragaman Indonesia yang terlihat karena seluruh putra-putri Indonesia utusan setiap provinsi berkumpul di kampus ini untuk menuntut ilmu di jenjang diploma 1 STIS Jakarta. Ada sekelompok mahasiswa yang berkulit hitam legam rambut keriting postur tubuh tinggi-tinggi mereka selalu tersenyum, adapula yang putih bening seperti kaca transparan ibaratnya kalau mereka makan, makanan yang tertelan bisa terlihat, apalagi perempuan yang berada di kelompok itu sangat putih dan manis. Tapi ada juga kelompok yang rata-rata berjilbab dan aura arabnya tampak jelas. Aku mengusap dadaku lalu menggelengkan kepala, takjub dengan apa yang aku saksikan hari ini. Terima kasih ya Allah atas berkat dan rejekimu sehingga hari ini aku berada di tempat ini dan berkumpul dengan orang-orang yang baik dan cerdas.

“Perhatian… kepada seluruh calon adik mahasiswa tugas belajar diploma 1 STIS diharapkan berkumpul dan berbaris menurut provinsinya, mulai aceh dari sebelah ujung bagian barat lapangan, harus berurut ya dilanjutkan kontingen dari Sumut, Sumsel, Riau, Kepri, Bangka Belitung, Banten, Jabar, Jateng, Kaltim, Kalbar, Kaltim, Sulut, Sulsel, NTB, NTT, Maluku, Malut, Papua, Papua Barat, ayo berbaris dengan rapi “ Komando salah satu kakak berseragam STIS lengkap dengan atribut di pundak, lambang sigma yang merupakan kebesaran stis dan sepatu kulitnya mengkilat. Dia kelihatan gagah dengan segala atribut yang melekat dibajunya. Setelah berbaris dengan rapi muncullah seorang sosok yang tidak terlalu tua tapi dari pakainnya pasti dia salah satu dosen di tempat ini

Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatu dan salam sejahtera bagi kita semua” ucapan pembukanya

“Adik-adik sekalian hari ini cuma akan diadakan pemotretan untuk kepentingan pembuatan id card adapun tujuan kalian di kumpulkan di lapangan ini bukan untuk upacara penyambutan karena waktunya telah di jadwalkan senin depan. Aku harap kalian melakukan pemotretan dengan tertib kalaupun kalian ingin berkenalan kami panitia tidak melarang. Cuma jangan ribut. Cukup sekian penyampaian saya. Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatu”.

Setelah penyampaian singkat itu semua mahasiswa bubar dari barisan dan kembali berkelompok dengan satu daerahnya. Pokoknya keadaan hari itu ribut banget. Bahkan ada sekelompok mahasiswa yang asyik bercerita sambil sesekali tertawa. Nah dari sekilas aku dapat kenali beberapa mahasiswa dari cara bicaranya. Tepat di bawah pohon mangga yang ada disudut lapangan kampus sekelompok mahasiswa yang bercengkrama dengan suara yang keras tak jauh beda dengan kondektur bus yang suka berteriak-teriak keras

“Blok...m…blok...m…pancoran…”

“Tarik…, bus awak sudah penuh”

Sepertinya sekelompok mahasiswa itu masih saudara dengan bang Ruhut Sitompul Raja Minyak dari Medan. Ada juga mahasiswa bercerita dengan dialog cukup cepat. Beta sonde pernah terlambat bangun karena sumber air sudah dekat mirip iklannya aqua, kali ini sih pasti kelompok anak-anak NTT bahkan ada juga yang bicara melankolis banget bahkan bisa buat orang tertidur.

“Gimana kabarnya aa.?”

Ini pasti mahasiswa dari Jawa Barat. Kalau di kampus ada yang menemukan mahasiswa yang selalu berbicara dengan kata-kata berlebihan “O” maka sudah pasti dia utusan dari Sumatra Selatan. Pokoknya kampus STIS merupakan kampus yang menampung ke-Bhinekaan Indonesia, jempollah buat pemerintah.

Tidak jauh dari tempat anak-anak Kaltim, tampaklah segerombolan mahasiswa yang berbincang-bincang serius. Sepertinya meraka sibuk kenalan, ada juga yang cuma numpang menjadi pendengar. Aku menghampiri salah seorang dari mereka. Maksudnya pengen ikutan kenalan.

“Assalammualaikum” kataku ke salah satu pria yang berjenggot cukup panjang, bertampan pas-pasan, tubuh tinggi jauh dari kata sejahtera karena kurus banget bahkan jakungnya terlihat sangat lancip mungkin dia cuma makan 2 kali sehari.hehehehehe.

“Walaikum salam akhi…” sambil jabat tanganku.

“Maaf namaku Asmar bukan akhi” jawabku setengah kesal orang ini asal nebak aja mirip ki gendeng pamungkas

“Oh…ternyata nama antum Asmar, kalo ana Hadi Riyanto dari Jawa Tengah, yang sebelah kana namanya mas Joko dari Marauke, dan yang sebelah kiri ini (menepuk bahu pria yang berdiri kekar, item, rambut keriwil-keriwil tapi murah senyum) namanya bang Rimba Womsiwor dari Jaya Wijaya kalau abang yang ini sambil menonjok seorang laki-laki yang sangat berwibawa namanya Bang Dedi Satria Parinduri dari Binjai Sumatra Utara” paparnya panjang lebar.

“Antum sendiri asalnya dari mana?” Tanya Riyan

“Nama aku Asmar bukan antum key, aku asli orang Sulawesi Selatan penempatan Kalimantan Timur” jawabku

“Ko bisa Antum ditempatkan di luar Provinsi antum?” Tanya dengan wajah heran

(Aku sempat jengkel juga, soalnya orang ini bego atau pura-pura bolot, aku sudah bilang nama saya Asmar bukan Antum. Tapi biarlah, nggak baik cari musuh) geramku dalam hati.

“Ko Antum diam?” tanyanya lagi

“Kebetulan pas pengumuman namaku ternyata lulus tapi penempatan di Kalimantan Timur. Kalau bang Rimba penempatannya dimana?” tanyaku sok akrab (lebih baik aku bicara sama orang ini dari pada sama si Riyan yang selalu salah menyebut namaku)

“Kita orang dari papua ada 19 orang, kebetulan dikirim kesini buat belajar agar kelak bisa membangun papua yang sejahtera, jauh dari kaemiskinan, pemerintah sudah tidak memperhatikan kami, maka dari itu kami akan berjuang buat tanah Papua”

Jawabnya dengan nada tegas.

Toeng…… ini orang ditanya apa, jawabnya apa, cocok aku kasih pantun

Jaka sembung bawa golok

Gak nyambung goblok

Tapi aku memperhatikan dengan khidmat, miris juga aku mendengarkan kata-katanya secara dia kan menggambarkan tentang papua. Moga-moga aja perjuangan yang dimaksud bukan berjuang bersama opm.

“Bah abang rimba cakap apa? (langsung suara itu menggelengar bagaikan petir, tapi suara ini mirip dengan suara Jenderal Naga Bonar ) tak usalah bepikir kesana boy, mending di Jakarta kita happy-happy ajalah. Tulang aku pernah berkata, ucok kalo kau dijakarta cobalah kau tengok teman abang di kampung melayu, terus sampaikan salam tulangmu ini, jadi awak pasti ngajak bang rimba ke kampung melayu, orang-orang melayu itu banyak yang cantik-cantik dan putih-putih bang, apalagi disana ada teman tulang jadi kita langsung milh-milih aja cewek-cewek kampung melayu. Jadi tak usahlah bang rimba mikirin tanah papua, oke boy” kata dedi dengan nada penuh semangat tak pakai jedah titik dan koma.

Jadilah kami berempat bercerita panjang-lebar sambil nungguin giliran di potret. Katanya sih bang Rimba ini sudah tiga tahun ngacah di bps (mitra juru sensus BPS, biasanya di rekrut oleh KSK untuk membantu pada saat pencacahan) semua pekerjaan mencacah sudah di lakukannya, jadi pantaslah dia banyak tahu tentang seluk beluk perstatiskan di daerah khususnya tanah Papua yang daerahnya sangat terjal dan hutannya masih perawan. Tak jarang bang Rimba harus berjalan menyusuri hutan, keluar masuk hutan melalui pemukiman papua apalagi kalo ingin mencacah suku Dani yang tinggal di lereng gunung Jaya Wijaya muka Rimba dan KSK lainnya harus membawa perlengkapan karena dari ibukota kecamatan / distrik perlu 2 hari berjalan kaki mak wajarlah kalau kerasnya tanah Papua telah menjadikannya sosok pria berbadan tegak mirip Samson dan tangannya lebih dahsyat lagi. Secara semua badannya aja gede banget dan tadi pagi aku liat dia bantuin panitia buat ngangkat tribun upacara tanpa sedikitpun ngos-ngosan.

Banyak banget cerita dari bang Rimba. Menurut bang Rimba, menjadi pegawai BPS itu merupakan salah satu pekerja yang paling mulia, bayangkan saja salah satu contoh kegiatan yang di hasilkan oleh BPS adalah sensus penduduk. Yang data diperoleh langsung dari responde di seluruh pelosok negeri dengan konsep tidak ada yang masyarakat yang lewat cacah. Setelah di lakukan pencacahan di lapangan maka akan di akumulasi jumlah penduduk yang kemudian di olah untuk mendapatkan data yang akan menjadi dasar pembuatan publikasikan dalam bentuk buku. Atas refrensi data tersebut maka penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah dapat mengambil langkah-langkah lebih baik. Tak salah jika kita melewati kantor BPS pusat yang berdiri megah di Jl. Dr. Sutomo maka akan terpampang sebuah tulisan dengan font yang sangat besar

“Membangun data sangat mahal”

“Tapi lebih mahal lagi membangun tanpa data”

Setelah tiga tahun mengabdi sebagai mitra akhirnya di penghujung 2007 bang rimba beserta putra-putri terbaik bangsa ini di rekrut bekerja di pegawai bps (Kordinator Statistik Kecamatan (KSK, red. ) yang merupakan pilar pertama dan pilar terdapat ketajaman Badan Pusat Statistik.

“Pernah suatu ketika aku survei biaya hidup di lembah Jaya Wijaya tepatnya di suku Dani (dia berhenti sejenak sambil berhenti mengambil sebungkus rokok sampoerna lalu menyulutnya)

“Rokok teman-teman” dia menawarkan kepada kami tapi hampir serentak kami bertiga menggeleng tiba-tiba sebuah tangan yang besardengan warna hitam mengambil bungkusan rokok itu

“Tak usalah malu-malu, bang rimba sudah menawarkan rokok, tak enaklah hati ini kalo menolak rejaki itu tak usah di tolak-tolak karena allah akan murka jika tidak menghargai pemberian orang lain “kata bang dedi panjang lebar sambil menyantap sebatang rokok. (cape…..deh….udah bawel tak tau diri lagi)

“Maaf bang, ana dan akhi-akhi yang ini memang tidak merokok” kata Ryan dengan logatnya yang medok banget.

(Nah..!!! si jenggot ini sudah ngatain aku akhi-akhi, payah Indonesia memang unik)

“Aku lanjutkan ya” kata bang Rimba

“Mangga atu” kata si Joko

“Aku Cuma mau bercerita bukan mau makan mangga” suaranya agak keras mirip suara penjual kaset bajakan di glodok.

“Maaf bang rimba maksud akhi ini silahkan lanjutin ceritanya” kata Riyan

“Kalo ngomong yang jelas dong, katanya orang Merauke ko suaranya mirip penjual jamu” kata Rimba

“Ya….udah ceritalah bang, soalnya asyik nih“ Aku menengahi karena sudah berbau sarah dan sedikit lagi tragedi poso akan terulang.

Ketika suasana sedikat tenang bang Rimba mulai bercerita kembali.

“Saat aku melakukan sensus di suku Dani, aku melontarkan pertanyaan sesuai kousener point demi point yang di jawab Kaeng (sebutan kepala suku di pedalaman papua) dengan baik. Tapi pas sampai pertanyaan tentang berapa umur Kaeng malah dia menjawab, coba lihat pohon di depan Honai ini setidaknya umurku sama dengan umur pohon itu karena setiap bayi yang lahir disini maka sudah menjadi tradisi kami untuk menanam sebuah kayu (bagus juga tradisi ini pantaslah papua menjadi hijau dan pohonnya merupakan paru-paru dunia ke-tiga). Saat dia menjawab seperti itu langsung saja aku berpikir, gimana caranya aku menafsir usia pohon itu padahal waktu pelantihan hal seperti ini tidak di ajarkan,” kata Rimba dengan rinci

Serentak kami terbahak-bahak, ini suatu pengakuan yang sangat menarik, untung saja aku di tempatkan di Kalimantan. Setidaknya nantinya aku tidak repot dalam menjalankan tugas soalnya aku cukup menjadi KSK untuk BPS. Nah, kalau bang Rimba disamping jadi KSK dia juga merangkap menjadi ahli botani (ahli tumbuh-tumbuhan) karena dia harus mempelajari karakteristik untuk menafsir setiap umur pohon yang kemudian dijadikan dasar untuk mengeyahui umur setiap penduduk yang di cacahnya. Heheeeee

Bang Rimba………tetap semangat….!!!

Tak terasa satu persatu telah melakukan pemotretan setelah namaku di sebut lari menuju ruangan dekat lobi rektorat pas keluar dari ruang aku aku ditemui Joko.

“Bang Asmar, tadi aku perhatikan setiap Riyan memanggil kamu dengan sebutan antum maka rawut mukamu terlihat jengkel“ kata Joko

“Ya iyalah, masa ya iya dong, secara dia telah mempelesetkan namaku dari Asmar menjadi antum andai saja ini bukan hari pertama di kampus aku sudah pasti marahin dia, gini-gini aku orang Sulawesi yang pantang di lecehkan” suaraku meninggi, tiba-tiba darah bugisku mendidih dan sudah mencapai ubun-ubun.

“Sabarlah teman, istiqfar, justru itu aku kesini tadi Riyan nggak ngerti dengan sikap kamu makanya dia tidak menjelaskan, antum merupakan bahasa arab yang berarti anda, kalo aki itu pun merupakan bahasa arab yang berarti saudara laki-laki atau bahasa tertinggi pengganti kata aku, maklum aja Riyan itukan selalu ikut pengajiannya Aa Gym jadi bahasanya seperti itu tapi memang sepantasnyalah kita generasi Islam menggunakan bahasa Arab walaupun hanya sebatas sapaan”.

Toeng….toeng…. kepalaku terasa mau pecah, mau aku sembunyikan dimana muka ini malu….. banget. Inilah akibatnya waktu SMA nongkrong dipinggir jalan dengan harapan agar bisa dibilang anak gaul. Eh….., nyampe Jakarta malu-maluin, kalah sama anak masjid.

Astagfirullah ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang manis ini, aku sudah bersalah ya Allah. Insyaallah aku akan lebih banyak bergaul dengan orang-orang mukmin yang baik agar termasuk hamba yang kau sayangi.”

***


BAB III

SEUNTAI SENYUM IBU DRAGON

Sudah tiga hari aku di Jakarta. Tak terasa selama ini pula aku numpang dikosan putri anak-anak borneo rasanya berat juga tapi sekaligus asyik…….(ets, jangan pikir kotor ya) kata asyik disini gratis, dan asyik selalu di bangunin sholat jadi nggak repot malah nonton pun asyik rame-rame dan yang paling penting gratis hehehe… tapi tidak enak juga sih soalnya takut digrebek hansip setiap malamnya ada dua aparat yang dengan seragam lengkap dengan atributnya dan senjata pentungannya yang berpatroli. Pokonya dari seragamnya aja sudah terlihat galak apalagi di lengkapi aksesoris cambang dengan kumisnya yang bertengger di kulit wajah kedua hansip itu tapi yang buat aku geli soalnya seragamnya warna “pisang ijo” (makanan khas Sulawesi selatan yang terbuat dari pisang raja yang di bungkus dengan adonan yang terbuat dari tepung terigu air, gula, garam, yang menjadiknnya pisang ijo plus daun pandan sebagai pewarna….hehehe kok mirip cara memesak sih……inikan novel…. Hehehe ) dengan bangganya dia selalu membusungkan dada saat berpatroli saat tengah malam, padahal dikampung ga’ada tuh orang yang mau jadi hansip apalagi satpamsoalnya satpam itu akronim dari sampai mati tidak naik pangkat aku juga ndak tau akronim ini nyambung apa nda.

Pernah disuatu hari di saat aku melihat jam malam aku baru bertandang ke mes mereka, dicegat oleh dua sosok kolor ijo…… “ups maaf salah tulis” maksudnya pak hansip.

“Eh….berhenti kata hansip” yang satu

“Elo warga sini ato bukan “ kata hansip yang lain

“Mana KTP elo”

“Maaf pak saya baru di Jakarta, jadi belum punya ktp disini” kataku menjelaskan

“Elo anak baru ya, disini elo kerja nggak, ato mau nambahin bebannya bang yos”

“Bukan bang yos, diakan kemaren udah lengser sekarang di gantiin oleh……” sejenak dia berpikir dan saling memendang

“Tau nggak gubernur Jakarta sekarang“ tanyanya dengan galak (parah juga ini aparat kok gubernurya nggak tau)

“Anu…..bang, setahuku pak gubernur yang terpilah pak Sahrul Yasin Limpo…”

“Ya…..dia yang gue maksud” kata hansip sambil mengacungkan jempol padaku

(Aku sih cuma mau bilang setahuku gubernur yang baru terpilih Sahrul Yasin Limpo tapi di Sulawesi selatan kalo di Jakarta nggsak tau pak)

“Kamu pasti anak STIS ya, soalnya kamu pintar menjawab pertanyaanku. Ya…udah lain kali jangan kelayapan ya soalnya kalo malam rawan terjadi pemerkosaan, dan pencabulan di bawah umur” Kata pak hansip dengan mantap

Nah…. Hubungannya apa coy emang ada orang yang mau perkosa cowok segede aku ini….hehehe…..Pak hansip malang benar nasib dikau aku doain semoga suatu hari kelak aku jadi presiden pasti aku angkat kau jadi jendral hansip.

***

Sekarang sudah pukul 09.00 pagi cuaca di Jakarta terasa sangat panas dan ini berlangsung sejak pagi sampai sore tapi kalo malam sih gerah banget. Mungkin lapisan ozon di atas ibu kota republik ini sudah semakin menipis. Seolah menandai dunia semakin dekat kiamat sedikit aja bumi bergesekan dengan benda langit maka bumi akan luluh lantah karena tidak ada lagi pelindung. Itupula yang mengkibatkan kulitku tak putih-putih soalnya sinar ultraviolet langsung melahap kulitku yang licin ini pas keluar dari kosan. Atau emang aku nggak ada keturunan yang berkulit putih. Hehehe…

Tiba-tiba HP Nokia 6600 ku berdering. Rupanya ada satu pesan yang dikirim Anca sahabatku dari Sengkang menelfon, dia mengabarkan kalau hari ini anak-anak sul-sel pengen cari tempat kosan, rencananya sih pengen ngontrak rumah, aku bisa sekamar dengan anca itupun atas persetujuan ketua kontingennya Andi Alwi Karaeng Tembak dari namanya saja udah jelas pasti anak bangsawan dari suku Makassar. Dan hari ini rencananya mereka bersih-bersih sekalian lunasin uang kontrakkan 3 bulan pertama. Takberselang lama setelah aku balas sms-nya untuk menanyakan alamat rumah yang dimaksud, dari sms balasannya saya sudah dapat alamat ibu kos tersebut dengan rinci, akupun langsung berangkat menyusuri setiap gang sempit yang mirip labirin sambil sesekali bertanya alamat yang dimaksud Anca sama setiap penjual jajanan yang kebetulan berpapasang denganku, mulai dari penjual gorengan sampai penjual pangsit ku tanya satu persatu, tapi tak satupun yang kenal namanya ibu sinaga (namanya seram banget ya) di saat kebuntuan melanda pikiranku lewatlah hansip bersaudara, tapi niatku bertanya ke mereka aku urungkan soalnya gubernurnya saja nggak tahu apalagi cuma seorang ibu sinaga yang cuma pemilik kosan.

“Hai bocah, kok kayak orang bingung emang elo nyari apa? Jangan-jangan elo mau nyolong celana dalam cewek ya“ Kata pak Hansip Menyapaku dengan nada curiga di tambah menuduh yang tidak-tidak.

“Emangnya elu yang suka nyolong kolor cewe” Kata hansip yang satu sambil mendorong kepala temannya

“Us….us jangan ribut nanti orang-orang tau bisa dijagal gue” kata hansip yang tadi sambil menyumpal mulut temannya dengan tangan.

“Habisnya elo sih, bicaranya yang nggak sopan, Ini anak stis jadi jangan macam-macam liat aja kalo mereka pake seragam kampus pangkatnya satu balok, kalo di dalam ilmu militer bawahan harus hormat dan patuh pada atasan walaupun dia lebih muda”

(ha…ha… pak hansip….pak hansip…emang stis itu lembaga militer, tapi enak juga sih pakai atribut di pundak bisa di sangka tentara)

“Anu…...pak aku sedang mencari rumah ibu sinaga”

(Tiba-tiba mereka langsung memotong pembicaraanku kebiasaan pak hansip yang konyol ini)

“Kalo itu aku tau, pasti pemilik kos-kosan itu ya…., yang badannya….. (sensor!!! ; ibunya marah loh jadi nggak usah di tulis bisa-bisa ibu sedih ingat masa mudanya). Rumahnya diatas sana sambil menunjuk kearah utara, belok kanan gang kecil pertama belok kiri lagi terus mentok belok kanan nah rumah yang berpagar ijo itulah rumahnya” pak hansip menjelaskan dengan gerakan tangan memperjelas jalanan yang akan aku lalui.

Aku sedikit ragu dengan penjelasan kedua hansip ini soalnya mereka sedikit oon. He….he…

“Jangan ragu kisanak, (mirip dialog di film laga) kalo seluk beluk komplek ini kami tahu persis, jangankan rumah ibu sinaga, jumlah anak yang baru lahir sampai jumlah janda pun kami tahu, bahkan si ujang tau persis siapa-siapa penghuni kompleks yang punya celana dalam baru” Kata si Somad sambil menunjuk temannya

Ternyata nama temannya itu si ujang padahal yang tertulis di papan nama seragamnya sahabat jendral naga bonar kirain dia fans sama film itu, ternyata dalam film itu Jenderal Naga Bonar memiliki sahabat yang bernama kopral ujang yang tewas dalam perjuangan. Aduh….gusti… dunia emang benar indah di lengkapi kedua hansip ini….hehe…he..he..

Aku yakin kalau kedua hansip itu tahu persis semua penghuni didaerah ini secara tiap hari dia melakukan patroli, akupun mengikuti petunjuk dari beliau, semoga saja aku tidak tersesat sampai ke negeri antah beranta. Setelah melewati gang yang sempit berukuran 50 cm bahkan aku harus menyampingkan tubuh untuk melewati jalanan itu emang di Jakarta penuh sesak bahkan untuk jalanan setapak pun sangat susah karena kepadatan kota.

Perumahan penduduk di belakang kampus STIS sangatlah mirip dengan Labirin raksasa yang jalanannya hanya dihubungkan oleh lorong-lorong sempit. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang akhirnya sampailah aku di depan rumah berpagar ijo sebelum masuk aku pastikan sama anca dulu melalui telfon gengam yang aku pegang. Dan ternyata mereka semua sudah berada di dalam rumah.

Assalamualaikum” sapaku dari depan pintu

Walaikum salam, ayo masuk de….., anggap aja rumah sendiri” jawab seorang ibu yang berperawakkan tinggi besar, yang tak lain adalah ibu Sinaga

(Aku tersenyum aja mendengarkan celoteh ibu sinaga, dan diruang tamu sudah ada tiga orang yang menyambutku)

“Hai…..bos …..? Apa kabar? kok kemarin aku nyariin kamu tapi tidak ketemu ?” sapaku ke anca

“Entar aja ceritanya ya….., Oia…, kenalin ini bang Alwi (aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman) dan yang ini sandi , nah kalo beliau inilah pemilik rumah yang akan kita kontrak” Kata Anca sambil memperkenalkan kawan-kawannya.

“Kebetulan di kamar itu aku tinggal sendiri, soalnya salah satu teman kita dari sulsel menolak tinggal bersama alasannya karena tidak ingin bercampur antara perempuan yang bukan muhrimnya“ tuturnya

“Oia…..emang disana kita sekamar ama perempuan” tanyaku penasaran

“Nah…..otak kamu udah nggak beres nih…..”

(Dia tertawa, soalnya kami sudah akrab jadi kalo ketemu bawaannya selalu bercanda)

“Di rumah itu ada 7 kamar pada dasarnya rumah itu terbagi atas dua bagian, tiga kamar lainnya terdapat di bangunan belakang dulunya itu gudang tapi sudah di renovasi dan di jadikan kamar plus satu kamar mandi, cukup luaslah untuk ukuran Jakarta yang padat ini “ kata ibu si naga

“Kemaren aku dan teman-teman sudah lihat rumahnya dan Alhamdulillah kami cocok gimana dinda, apa kamu setuju” kata bang Alwi

“Aku sih ngikut aja kak, cuma pemasalahanya nggak tau apa yang lain setuju kalo aku gabung dengan utusan sul-sel, secarakan aku sendiri mungkin asing bagi mereka, jangan sampai keberadaanku di tengah-tengah kalian malah menimbulkan masalah”

“Urusan itu nanti kita bahas dengan yang lainnya, sekalian kamu kenalan sama mereka, kalo semuanya sudah setuju hari ini kita akan bayar DP-nya dulu”kata bang alwi

Aku melirik ke anca.

“Bos siaga i waja” tanyaku dalam bahasa bugis

“Dua ratu sebbu bos” jawab ancha

“Makessing muaga bolana, tehele ka” tanyaku lagi

“Makessi bos“, katanya lagi

Aku melirik ke mereka, dan rupanya serentak mereka memendangku heran, mungkin nggak ngerti dengan bahasaku secara bang alwi dan sandi orang Makassar dan ibu sinaga orang medan, maka wajarlah mereka nggak nyambung.

“Maaf teman-teman, tadi kami lagi nego, biasalah orang kampung” kataku sambil menggaruk kepala, mereka hanya tersenyum segera aku keluarkan uang 200 ribu rupiah dan menyerahkan ke bang alwi.

Terus setelah uang itu di serahkan kepada ibu sinaga, dia tersenyum lebar dan inilah yang menjadi keunikan dari ibu sinaga setiap bulan pada tanggal 20, ibu akan mengunjungi kami dan akan selalu menebarkan senyumannya yang manis. Untuk mengenang kebaikkan dan jasa-jasa ibu (kok……kesannya seperti pahlawan) maka anak-anak sepakat dengan mengganti nama ibu Sinaga menjadi ibu Dragon. Karena ibu selalu melindungi kami, dari segala macam ancaman di jakarta mulai dari panitia sumbangan, sampai penagih listrik, dan tukang tagih air, semoga di selesaikan ibu dengan gagah berani bak seekor naga merah atau dalam bahasa Cinanya “The Red Dragon”.

Demikianlah pengabdian ibu dragon yang penuh dedikasi dan tanggung jawab dalam mengurusi keperluan kami. Selama satu tahun di Jakarta.

(nama ibu Sinaga atau ibu Dragon kami abadikan dalam cerita ini sebagai rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya atas segala kebaikkan ibu dragon selama ini dan kami dari anak-anak Lontara tidak akan melupakan Seuntai Senyuman Ibu Dragon)

***


BAB IV

AYAM JANTAN ITU BERNAMA LONTARA

Disaat sang surya menyapa penghuni bumi dari ujung timur di saat itu pula denyut kehidupan kota Jakarta dimulai, hiruk-pikuk sudah terlihat di setiap sudut kota. Bahkan lorong dan gang-gang kecilpun nampak ramai di lalui berbagai jenis model manusia yang sedang berjuang menyambung hidup. Lembaran di setiap sudut kota Jakarta mengukir cerita yang amat beragam. Kehidupannya yang duniawi serba metropolis dan kosmopolitan tak ubahnya seperti anggur manis yang menggiurkan bagi setiap orang yang ingin mereguknya. Tapi banyak orang yang terlana oleh keindahan kota Jakarta yang menjanjikan surga, hingga tak sedikit orang yang akhirnya mabuk dan lupa diri, sampai anggur itu pun berubah menjadi racun yang memabukkan sampai akhirnya membawah kita ke lubang kenistaan yang sangat hina.

Bahkan sebagian dari mereka akan berkata ibu kota lebih kejam dari ibu tiri mungkin sebagian dari mereka telah lupa kepada sebuah pepatah yang mengatakan lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang. Apabila kaum urban menelisik jauh makna dari pepatah ini maka niscaya mereka tak akan menginjakkan kaki di ibu kota kalau hanya ingi jadi sampah masyarakat.

Jakarta memang kejam, kerjaan yang haram saja susah apalagi halal begitu stigma yang pernah aku dengar jauh-jauh hari sebelum aku ke Jakarta. Tapi Alhamdulillah sudah hampir dua bulan aku di Jakarta belum pernah aku merasakan susah makan atau kehabisan uang sampai seret banget. Secara, sejak kami dikirim kuliah di STIS (perguruan tinggi kedinasan.red). Kami mendapat fasilitas tunjangan uang ikatan dinas dari pihak kampus sebesar Rp.450.000 / bulan ditambah gaji CPNS kami yang dikirim setiap bulan dari kantor sebesar Rp. 1.090.000,- walau jauh dari kata cukup setidaknya bisa bayar kosan dan makan sehari-hari sudah bisa terpenuhi walaupun masih harus mengenjangkan ikat pinggang seerat mungkin karena godaan di Jakarta sangat menggiurkan, hampir disetiap pinggir jalan besar terdapat mall yang menyediakan fasilitas hiburan yang lengkap, bahkan penjual jajan bertebaran disetiap lorong-lorang yang dapat membuat kantong kering dalam seketika. Tapi bukan berarti masalah tak menghingapi kehidupan kami. Tak dapat aku pungkiri terkadang rasa kangen terhadap keluarga di kampung kadang-kadang menyerang, tapi semuanya dapat terobati saat kami berkumpul bersama saudara se-kosan kami.

Saat langit senja kota Jakarta beranjak malam, kumandang adzan yang mengajak seluruh umat Islam menunaikan sholat isya telah menggema. Tampaklah di sebuah teras rumah sekelompok mahasiswa sedang berdiskusi.

“Teman-teman sekalian, tak terasa sudah hampir dua bulan kita di Jakarta. Dan tak terasa juga kebersamaan kita tinggal 10 bulan lagi. Jadi aku mengajak kawan-kawan berkumpul di tempat ini untuk membicarakan kegiatan-kegiatan yang kelak akan kita lakukan bersama agar kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin hari-hari kita di Jakarta” kata Bang Alwi memulai pertemuan

“Sebelum aku berangkat kesini, aku sudah dipesan oleh kepala BPS Sul-Sel agar kita semua belajar baik-baik dan tetap menjaga kekompakkan dan nama baik instansi bps, Jadi atas dasar itu aku berpikir ada baiknya kalau kita bentuk suatu organisasi yang bisa mewadahi semua aspirasi teman-teman sekalian dan aku berharap kelak organisasi ini bisa menfasilitasis setiap kegiatan kampus yang melibatkan kita semua dan sebelum kita memulai pembetukan organisasi ini terlebih dahulu saya mengusulkan kalau keanggotaan organisasi ini tidak hanya berasal dari Bps sul-sel tapi kita membuka pintu selebar-lebarnya bagi saudara-saudara sekampung kita yang kebetulan di tempatkan di provinsi lain, seperti Asmar dari BPS Kaltim, Minwar bps Papua Barat. Mereka-mereka ini asli putera-puteri Sul-Sel. Kalau ada usulan silahkan bicarakan biar kita bisa berembuk untuk mencari mufakat”

Sambil mengajukan tangan Minwar berbicara

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, pertama-tama terima kasih atas kebaikkan dan kesempatan yang diberikan kepada kami berdua sehingga bisa diterima dan di angkat menjadi saudara di tengah-tengah teman-teman sekalian” dia berhenti sejenak lalu melanjutkan kalimatnya

“Kalo boleh jujur, tak mudah bagi kami bergaul dengan orang-orang yang kenyataanya berbeda latar budaya dengan kami, tapi setidaknya bergabung dengan kalian merupakan suatu rezeki tersendiri bagi kami. Setidaknya kami dapat mengobati rasa rindu kami terhadap kampung halaman” tandas minwar, yang konon kabarnya sebagai mantan aktivis HMI saat bergabung di UIN Makassar (Universitas Islam Negeri. red).

“Nah…..sekarang kita harus menentukan nama organisasi dan kalo perlu strukturnya pun harus dibuat malam ini juga” Asmar memberi usul.

“Mungkin lebih baik sekarang kita buat dulu nama organisasinya, dan besok kita rapat lagi untuk struktur dan ART organisasi” usul salah satu cewek yang duduk di ujung kursi bercat hijau. Penampilannya sederhana tak tampak ada hal yang istimewah dari cara berpakaiannya, menurut kabar di usianya yang hampir 29 tahun dia masih jomblo tapi bukan karena nggak ada yang mau secara dia adalah puteri bungsu dari manta kepala Bps bulukumba, pria manapun pasti terpesona walau dia tidak terlalu tinggi tapi parasnya yang ayu mampu menyembunyikan umurnya yang sedikit tua, mungkin dia pake ajian mak lampir soalnya bila dibandingkan dengan dewi persik, juli estle, bahkan kajol aktris Bollywood itu pasti kalah oleh parsanya. Mungkin dia masih jomblo karena dia terlalu selektif ini terlihat pemilihan kata-katanya tidak panjang tapi bermakna.

“Ya….., sudah namakan saja the macz man soalnya kitakan pendukang PSM“ Tutur Sandi dengan semangat berapi-api.

“Emangnya ini pertandingan bola, kan nggak asyik tuh…kalo anak-anak yang lain nantinya malah menamakan dirinya aremania atau yang lainnya soalnya ngikuti kita, bisa-bisa kerjaan kita cuma tawuran” ujar Anca

“Eh…… biar saja, supaya mereka tahu kalo kita ini anak-anak yang berjuluk sebagai Ayam Jantan Dari Timur” kata Sandi sedikit kesal

“Ya….. sudah, mending kita pikirkan aja bersama dan semua orang bebas memberi usul” kata bang Alwi dengan bijaksana.

“Gimana kalo the dragon funk home atau rumah si naga secara kan kita happy terus di kosan milik ibu sinaga maka nggak ada salahnya mengabadikan namanya” kata Niest.

Sambil nyengir mirip kuda, hehehehe.

“Emang elo ngefans banget ama ibu Dragon ya, pasti di belain sampai mati” Desi menyambar bak gledek

“Gimana kalo kita namai saja organisasi Lontara soalnya itukan menjadi simbol kebanggaan rakyat Sulawesi kitab itu juga yang menjadi pedoman dan jati diri kita sebagai orang Sul-Sel, dan setidaknya dunia menghargai itu dan mengklafikasikannya sebagai sastra terhebat di dunia setelah kitab Mahabrata. Lagian filsafatnya sangat tinggi” kata Asmar panjang lebar

“Iya……aku setuju kalo kita namai Lontara, dan ada baiknya di tambahkan lagi dua kalimat biar tambah keren, misalnya Lontara Komunitas Makassar jadi bisa di singkat LKM” usul bang Alwi

“Gimana kalo Lontara Komunitas Statistik jadi bisa di singkat LKS” kata Mirna

“Setuju” kata Minwar

“Gimana yang lainnya setuju nggak nama lontara komunitas Makassar ?” Tanya bang Alwi

Semunya saling memandang, dan 18 orang yang hadir menyatakan setuju.

“Maaf kak, aku cuma mau nanya sebenarnya lontara itu apa sih artinya? aku emang pernah dengar tapi tidak terlalu ngerti soalnya di daerah kami di toraja tidak di ajarkan secara detail, mohon penjelassanya ?“ Tanya kak Sumi, salah satu mahasiswa utusan Tanah Toraja yang tahun depan berencana menikah dengan tunangannya.

“Baiklah aku akan memaparkan bagaimana konsep-konsep Lontara ini, menurut beberapa refrensi dan penuturan dari orang-orang terdahulu sebenarnya Lontara itu merupakan kumpulan ada-ada pappaseng to roioloe (pesan-pesan orang tua terdahulu) yang intinya terdiri dari nilai-nilai luhur yang di wariskan turun temurun dan mempengaruhi pikiran dan pola hidup masyarakat Sul-Sel, bagi orang Bugis dan Makassar hal ini tercermin dalam filsafat sirri na pesse (dalam bahasa bugis) atau sirri na pacce (dalam bahasa Makassar) artinya orang bugis dan orang Makassar mempunyai sirri na pacce bagi yang menyebut dirinya manusia. Bila ingin di pilah-pilah lagi siri arti kulturnya adalah malu, yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan dan harga diri sebagai manusia yang utuh. Pacce sendiri dalam arti kulturnya belas kasihan, kepedulian , turut merasakan nestapa orang lain dan berhasrat membantu karena adanya hubungan rasa atau lebih di kenal dengan solidaritas, kedua hal inilah yang menjadi penggerak bagi setiap diri orang sul-sel untuk bertindak” tutur bang Alwi sedikit berteori.

“Aku tambahkan juga ya, menegakkan sirri na pesse merupakan persyaratan dasar bagi keberadaan orang Bugis Makassar pada khususnya dan orang sul-sel pada umumnya bila di telisik secara mendalam pada dasarnya provinsi sulawesi selatan sebagai daerah yang di diami oleh empat etnis utama yakni, to-ogi (etnis bugis), to-mendre (orang Mandar), to-raja (etnis toraja), to-mangkassar (etnis Makassar). Dan ke empat etnis ini memiliki ciri khas berbeda antara satu sama lain, maka wajarlah kalo kak Sumi tidak mengerti tentang keberadaan kitab Lontara, tapi yang ingin aku tekankan karena kita sekarang ditanah rantau maka kita harus menjunjung tinggi sirri na pesse, nenekku pernah berpesan

sirrie mi ri onroang ri-lino, utettong ri adeE,

Najagai siri’ na, teng ulessereng ada tongekku,

Pesse passikuanna, Naia siri’e sunge’ naonroi nyawa.

(Artinya : Karena sirri kita hidup di dunia, aku berdiri di atas adat, untuk menjaga sirri kita, saya tak akan ingkar dari janji dan kebenaran. Pesse yang mendorong aku bila di ingkari dengan semangat di paut oleh nyawa) Jadi kita harus mempertahankan falsafah itu dalam Lontara” jelas Asmar dengan gaya mirip narator dalam demonstrasi

“Aku pun meyakini hal yang sama dengan bang Alwi dan Asmar dan akupun berpegang teguh dengan prinsip tau degaga sirina padai olokolo-e (Artinya : orang yang tidak memilkki sirri maka kedudukannya seperti hewan)” kata Anca

“Benar banget itu Anca, orang-orang kampungku di Mandar selalu memegang filosofi yang menyatakan Muak andiyangmu siri sitemmu tuk-u tau asu, artinya : Jika kita tidak memilkki siri maka derajat kita sama dengan anjing” Ani pun angkat bicara

“Jadi kesimpulannya sirri na pacce merupakan rasa malu yang erat hubungannya dengan kehormatan diri (honour), harga diri (high respect), harkat (value), martabat (dignity) tapi sebagai seorang manusia kita juga harus memiliki belas kasihan dan peri kemanusiaan (humanisme universal)” tandas Mirna, dengan selengkapnya.

“Dan jangan lupa, bahwa di tampar adalah salah satu bentuk penghinaan yang paling memalukan bagi orang Sulawesi Selatan. Apabila engkau di hina, di injak-injak, sebagai manusia maka engkau harus melawan. Tidak menjadi soal apakah yang menghinamu lebih besar dan lebih kuat. Yang penting kau melakukan reaksi dan perlawanan“ Sandi menambahkan dengan sangat semangat bak pejuang 45

Semua peserta rapat memperhatikan dengan penuh khidmat tanpa berkedip.

“Nah, teman-teman sekalian setelah di jelaskan panjang lebar, maka kita sepakat kalo nama organisasi kita Lontara Komunitas Statistik dan berhubung besok hari minggu maka akan ada pertemuan lagi ditempat ini pukul 09.00 wib untuk membahas struktur organisasi dan penetapan ART, dan menyusun jenis-jenis kegiatan. Jadi sekembalinya kalian dari sini silahkan buat usulan agenda kegiatan yang akan dilakukan selama kurang lebih beberapa bulan kedepan, aku berharap besok setiap orang mengusulkan ide-idenya. Aku selaku kakak yang paling tua secara umurku kan 31 tahun menghimbau kedatangan anda sekalian besok pagi sangat di nantikan, demikianlah pertemuan kali ini aku tutup dengan ucapan wabillahi taufik walhidayah wassalamualikum warahmatullahi wabarakatu” Kata bang alwi menutup pertemuan itu

Malam perlahan beranjak, jam dinding yang tergantung disudut atas tembok ruang tamu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Detak jam seperti menghitung setiap jengkal malam kota Jakarta dan tiba saatnya bagi semua penghuni kosan the dragon untuk membaringkan tubuh di singgasana mimpi.

*****

Sejak Lontara Komunitas Statistik ( LKS ) terbentuk maka kami selalu mengadakan kegiatan di bawah bendera organisasi LKS, dengan struktur organisasi seperti berikut :

Ketua : Andi Alwi Karaeng Tembak

Sekertaris : Widaryani

Bendahara : Mirna

Tiga Belas orang lainnya tercatat sebagai anggota organisasi. Anggaran rumah tangga Lontara Komunitas Statistik berasal dari Iuran anggota sebesar lima puluh ribu rupiah setiap bulan per anggota. Yang diperuntukkan untuk mendanai sejumlah agenda kegiatan yang telah diprogram. Lontara Komunitas Statistik mampu eksis dibawah kepemimpinan Andi Alwi, dengan sejumlah agenda kegiatan Lontara Komunitas Statistik meliputi :

1. Acara rekreasi di Cibodas dalam rangka ramah tamah dengan anggota Ikatan Mahasiswa STIS Sulawesi.

2. Menyiapkan dana untuk mengungsi apabila terjadi bencana banjir kali ciliwung dan ikut serta dalam rangka aksi kemanusian untuk membantu korban banjir kali Ciliwung di Jatinegara. (karena menurut informasi setiap bulan enam selalu terjadi banjir, dan secara kebetulan asrama Lontara berjarak 15 meter dari sungai Ciliwung )

3. Mengadakan kelompok belajar untuk pemantapan materi yang di dapatkan dari setiap dosen di kampus STIS terkhusus untuk mata kuliah Matematika, Statistik Deskriptif, Statistik Sosial, Statistik Distribusi, dll.(Biasanya setiap orang memiliki mentor sejawad, contoh : Angdesi Melinda Nababan mengajar Asmar dan sandy sampai paham, Mirna jadi tempat bertanya bang Alwi, sedangkan Bang Minwar harus diajar Tiga orang sekaligus diantaranya Niesti Situru Sampebulu bersama kak Mirna kalo keduanya kewalahan maka bang Alwi menjadi mentor terakhirnya.hehehehe, bukannya bang minwar, Oon..tapi dia terlalu kritis..masa ilmu eksakta harus dijelaskan seluk-beluk ilmu filosofinya baru dia bisa ngerti.hahahahah..kalau pelajaran pengantar manajemen dan ilmu komunikasi barulah di datangkan tiga mentor sekaligus yaitu Ika ‘mahasiswa Trisakti asal Toraja’, Gea ‘mahasiswi kedoteran UKRIDA asal Kutai Timur’, dan yang satunya lupa. Kalo mata kuliah ini pasti bang minwar tidak pernah absen.heheheheehe)

4. Membentuk kelompok diskusi atau dewan curhat demi menfasilitasi dan membantu mencarikan pemecahan atau nasehat pada setiap masalah yang sedang dialami anggota LKS.( kalo poin ini menjadi favorit anggota lontara karena pasti tempat curhatnya kak Mirna, biasalah kami selalu curhat untuk masalah keuangan yang naga-naganya pasti minjem uang..hahhahaha, termasuk Aku yang paling sering..kalau masalah cinta harus curhat sama karaeng karena kata-kata bijaknya mampu memberikan pencerahan..)

5. Mengadakan pertandingan Futsal antar daerah untuk menggalang persaudaraan antar mahasiswa STIS.( kalo ini langsung dikoordinir Sandy Delano Patriks mulai dari jadwal, tempat dan tandemnya semua dipersiapkan dengan sempurna ini dikarenakan oleh kecintaannya sama dunia sepak bola, biasalah dia kan The Maczman sejati, bahkan dia selalu menyebut dirinya Van Neestelrooy-nya Tidung.hahahahaha)

6. Tour sekitar Jabodetabek bersama anggota LKS setiap akhir pekan, dan disetiap akhir bulan tour dilanjutkan ke luar kota seperti Bandung dan kota-kota lain di pulau jawa.( Kalo mau jalan-jalan sambil cari barang murah paling asyik jalan sama Asmar..pokonya mulai celana dalam murah tapi berkualitas sampai alat-alat mobil murah sudah tersave dikamus traveling-nya heheehe)

7. Selanjutnya akan diagendakan seiring program tahun berjalan.

Bagi diri Andi Alwi Karaeng Tembak kepemimpinan merupakan suatu kiat atau kewibawaan yang mampu menggerakan orang lain, baik secara perseorangan maupun kelompok didalam suatu organisasi sehingga menimbulkan kemauan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu dalam mecapai tujuan organisasi. Kepemimpinan itu sendiri meliputi berbagai dimensi, dan berfungsi sebagai salah satu piranti penggerak, motor atau motivator sumber daya yang ada dalam organisasi, sehingga peran kepemimpinan diharapkan mampu mendinamisasikan organisasi dalam mencapai tujuan. Hal itulah yang membuat Lontara Komunitas Statitik dipandang dan disegani seluruh mahasiswa STIS Prodip1.

Setidaknya kebersamaan dan kekompakan kami yang hampir satu tahun lebih telah memperkuat tali persaudaraan anak-anak Lontara dan kami telah menunjukkan di mata teman-teman STIS yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia bahwa anak-anak Sulawesi Selatan selalu kompak dan solid dengan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang di ajarkan leluhur kami dan kami sudah tunjukkan bahwa Ayam Jantan Itu Bernama Lontara.

***


BAB V

EMPAT SEHAT LIMA SEMBARANG

Seandainya seonggok ayam nungging atau lobster jongkok ada yang jual dengan harga bersahabat, pasti kecukupan nilai gizi anak kost Lontara akan lebih terjamin deh. Nyatanya, menurut Survei Biaya Hidup Anak Kos ( SBHAK ) yang dilakukan anak- anak Lontara yang sampelnya membandingkan antara rumah kos-kosan dari setiap utusan provinsi yang sedang melnjalani tugas belajar di STIS seperti kosan Ampera ‘anak Palembang’, Kosan Borneo ‘anak Kal-Tim’, Kosan Ola Manado ‘anak manado’, dll. Pokoknya hampir dipastikan untuk urusan makanan dan nilai gizi anak-anak dari semua kosan masih sangat memperihatinkan saja (Konon katanya survei ini dilakukan dengan metode bertamu ke Kosan teman-teman STIS di jam makan malam, dengan metode penelitian menyeluruh. Semua Kos-kosan didatangin dengan harapan bisa silaturahmi sambil melakukan survey dan berharap bisa makan gratis.hehehehehehe, diantara semua Kosan MPC paling parah karena dianggap Non-respon karena malam itu tidak ada acara makan malam malah kami disuguhi rokok n minuman kuku bima energy rasa anggur sambil main gaplek se-maleman suntuk. Pokoknya malam itu paling apes. heheheheehe).

Kalau fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara, nahkita mah sudah amat sangat mematuhi criteria lho. Udah miskin, terlantar pula, hehehehehe. Tapi untung ada penyelamat ribuan bahkan miliaran anak kos, apalagi kalau bukan ….Mi Instan! Mi Goreng, apalagi yang sekardus, sudah banyak kali menyelamatkan aku waktu kelaparan tengah malam. Selain nggak perlu keluar rumah jam dua belas hanya sekedar untuk mencari sesuap nasi, makan mie jelas lebih ngirit. Aku masih bisa bayar kosan, dan selamat dari tagihan ibu Dragon.

Untuk urusan pola makan anak-anak lontara selalu memperhatikan makanan sehat empat sehat yang meliputi Nasi sebagai sumber karbohidrat, tempe goreng sebagai sumber protein, mie instan rebus rasa kari ayam campur sawi sebagai sumber lemak dan mineralnya ( yang penting lemaknya didapat dari rasa ayam mie instan dan minerlanya didapat dari sawinya, hehehe ) sedangkang untuk asupan vitamin yang terkandung dalam buah kami peroleh dari warteg dekat kampus yang banyak bergelantungan di warung dan takkala pentingnya gratis pula, ya tepat banget dialah si buah yang murah meriah pisang emas , untuk menjadikan menu kami sempurna ditambah segelas es teh manis sisri. Jadi, porsi sekali makan menghabiskan dana Rp. 1.500,- dengan rician Tempe goreng Rp.1.000,-/ empat biji, mie tinggal rebus karena sudah tersedia satu kardus yang belinya tiap awal bulan, nasi tinggal ambil dimagic jar, sedangkan es teh manis tinggal beli di warung depan harganya Rp.500,-. Pokoknya menu kami tiap malem empat sehat lima sembarang.

Kalau cerita masalah kebiasaan dan pola makan anak kosan Lontara banyak yang unik, misalnya Sandi kalau pola makan dan nilai gizi makanan yang di komsumsinya setiap hari jauh dari kata sehat deh, bayangin aja kalau dia sarapan pakai nasi putih dengan lauk roti rasa coklat.., coba diresapi cara makannya, mula-mula nasi putih di suap terlebih dahulu lalu roti bundar yang isinya pakai selalui coklat di comot sambil mengunyah nasi, pokonya nikmat banget tuh, setiap kali makan dia menghabiskan minimal dua roti coklat dengan tafsiran harga Rp.2.000/ porsi lebih hemat pakai cara empat sehat lima sembarang. Pernah suatu ketika aku Tanya Sandi kenapa cara makannya seperti itu, katanya itu sudah kebiasaanya maklum turunan Belanda, memang sih usut punya usut Omah dan beberapa tante Sandi tinggal di Amsterdam konon katanya Kakenya sorang Perwira Kenil Belanda di zaman penjajahan. Makanya di terkadang kami ledekin, pokoknya pas banget dan saling bertauta Aku sendiri masih keturunan bangsawan dari Bone tepatnya mungkin kalian tahu Arung Palakka ya…, dari sana lah asal leluhurku, kalau Andi Alwi Karaeng Tembak masih keturunan Karaeng Galesong dan Sandi Delano Patrix keturunan Belanda, jadilah kami tiga serangkai yang menurut buku sejara antara orang Bugis bone, Bugis Makassar, dan orang Belanda memiliki benang merah yang membentuk sejarah panjang di perang Makassar, Mei 1667. (hehehe..kok lari ke sejarah sih)

Kalau aku sama bang Alwi sering memakai metode makan empat sehat lima sempurna, malah terkadang kami selalu makan nasi goreng di malam hari, dengan cara murah-meriah hanya perlu mereguh kocek sebanyak lima ribu rupiah bisa dapat tiga porsi nasgor, ceritanya setiap malam mang Dedi penjual nasi goreng keliling selalu lewat di depan kosan dan setiap malam juga Asmar pasti memanggil penjul nasgor itu untuk mampir, sambil berlari membawa nasi putih satu piring besar..

“Mang, tolong gorengkan dong, pake telor satu ya di dadar, nggak usa di capur terus pedas ya” kata Asmar

“oke…,bos..” Kata bang dedi ramah

Dia penjual nasi goreng yang baik hati tak pernah dip rotes walau nasi yang Asmar bawah menggung, dia tetap dengan senagn hati mempersembahakan nasi goreng terlezat untuk pelanggangnya.

“Ini Mar, udah selesai” Kata Mang Dedi dengan nada yang ramah, memang si Asmar langganan tetapnya jadi mereka sudah akrab.

“Berapa Mang??” Tanyaku mencoba memancing soalnya kali ini nasinya banyak banget. Sapa tau aja harganya lebih lima ribu.

“Biasalah, kayak kamu baru beli aja” kata mang Dedi sambil tersenyum

“Ini mang…Makasih ya” sambil menyodorkan uang lima ribu

“Oke…besok-besok magic jernya aja di keluarin biar ku gorengkan semua, pokoknya buat mu tetap lima ribuh deh” kata mang Dedi dangan nada becanda

“hehehehehe” aku hanya bisa tertawa sambil menggaruk kepala, Keki juga rasanya tapi mang Dedi memang suka bercanda

Pokoknya malam itu dengan uang lima ribu perak kami bisa dapat nasgor tiga porsi buat Aku, Karaeng, dan Anca.

Lain lagi ceritanya kalau kami mau merasakan coto Makassar yang menjadi mkanan khas kota daeng atau sering di sebut kota angin mammiri yang selalu kami rindukan, untuk mencari jenis makanan ini terbilang cukup susah di wilayah Otista, Kampung Melayu, bahkan di Jatinegara pun tak ada yang menjual, setelah melakukan penelitian yang mendalam dan mengkaji semua refrensi statistik di perpustakan kampus bahkan sampai mengederkan kousener ke bebrapa responden tapi hasil akhir setelah datanya dideseminasikan atau di olah, hasilnya malah menunjukkan kesimpulan bahwa tidak ada yang tahu tempat penjual coto Makassar. Bahkan ditengah kebingungan kami sempat terpikir untuk minta bantuan sama tim termehek-mehek trans7 untuk melacak keberada penjual coto Makassar di Jakarta.(hehehehee…lebay……yyyy..banget). Eh, ternyata saat kami berdebat masalah warung coto Makassar. Tiba-tiba dari salah satu kamar terdengar suara khas memanggil namaku tepatnya jenis suara serak-serak becek.. Ya, pasti itu suara cewek yang memiliki nama lengkap Sumiatri Pasomba yang sering kami panggil kak Sumi, ya iyalahah masa mau dipanggil kak Bambang.hehehe.

“Mar.., kami nyari warung coto Makassar ya??” Tanya kak Sumi

“Iya.., kak.. apa kak Sumi tahu tempatnya?” tanyaku dengan perasaan harap-harap cemas

“Ada tuh banyak di dekat mesjid Al-Markas di Makassar….hehehehe” dia tertawa dengan lepas

“Wah,,,kak Sumi mulai kacau nih, malah bercanda.., tunggu pembalasanku ya” kataku denga ekspresi kecewa

“Iya deh.., ada kok di cawang, sebelum Rumah Sakit Kasih Ibu, kalau naik ankot 06 ke arah Kalibata warungnya sebelah Kiri, nama warungnya Coto Makassar Paraikatte, setiap aku mau ke Gereja pasti lewat situ” kata kak sumi menjelaskan

“Bener ya…, awas kalau bohong..nanti aku lemparkan tikus ke kamar kak Sumi” kata ku sambil mengancam

“Iya ..,kali ini aku serius, kalo kesana jangan lupa bungkuskan ya” kata kak Sumi sambil berlalu masuk ke kamarnya

Setelah Informasinya lengkap dan akurat kami akhirnya berembuk, kebetulan sore ini aku tidak ada kuliah. Jadi aku dan Sandy dapat gilirang untuk survey lokasi yang dimaksud sambil cek harga, siapa tahu aja warung itu bisa jadi salah satu refrensi dalam agenda traktiran setiap anak Lontara yang lagi ulang tahun, jangan Cuma traktiran makan di warteg atau makan tekor dadar di warung ibu Kartini terus.

Tak berselang lama kami sudah sampai di tempat yang dimaksud, setelah sedekit basa-basi sambil melirik harga didaftar menunya ternyata satu porsi coto Makassar Rp. 20.000,- gratis ketupat sampai puas. Sebelum aku mulai memesan tiba-tiba ada sms yang masuk, secepat kilat aku baca dan balas, smsnya dari bang Minwar inti kata-kata smsnya seperti ini”.

Jangan lupa dibungkus buat kami ya dinda, aq tggu di kosan dari abangmu Mino.

“Wah..masalah nih” Gumam ku dalam Hati

Tapi secepat itu aku berpikir keras, ya…..!!! aku sudah dapat ide. Dengan penuh wibawah aku pesan dua porsi di bungkus terpisah dan kuahnya dibanyakin. Aku pikir pemilik warung tidak akan keberata untuk menambahkan kuahnya, secara setelah tadi ngobrol basa-basi dia tahu kalau kami juga orang makasar, pasti karena mengagap satu kampung pasti permasalahan kuah tak jadi persoalan. Setelah pemilik warung berlalu secepat kilat aku menyuruh Sandi memasukkan ketupat 10 biji di tasnya walau dia kelihatannya sedikit kebertan tapi dia menuru saja, tak lama pesanan kami pun keluar dua bungkusan kantong plastik berada digengam pemilik warung.

“De, ini pesanannya dan ketupatnya ada sepuluh buah dikantong putih ini, sengaja tidak dicampur biar pas sampai dirumah masih enak” Kata penjual

“Terimakasih ya daeng, kami pasti sering berkunjung” kataku

iye sambalu..” kata penjual

Setelah mendapat angsul sebesar sepuluh ribu aku pamit untuk pulang.

“Mariki… dii”

“ Iye..”

Diangkot saat perjalanan pulang Sandi bertanya sama aku.

“Kenapa tadi ketupatnya di masukin ditas, apa itu tidak mencuri?? “ Tanya sandi

“Ya…, enggak lah.. kan sudah tertulis jelas kalau ketupat gratis sampai puas, seandainya pun kita ambil semua, menurutku sah-sah saja, lagiaan di kosan ada bang Alwi, bang Minwar,dan Anca, kalau kita belikan semua uangnya kan nggak cukup San, kalo beginikan Asyik bisa buat rame-rame” papar ku

“Wah..hebat juga ide mu Sobat” kata Sandi sambil menepuk pundakku

Setelah sampai dikosan jadilah kami rame-rame makan coto Makassar, dua bungkusan tadi yang kuahnya melimpah kami bagi menjadi lima piring walau daginya sedikit per piring, setidaknya kami bisa mengobati rasa kangen dengan menyantap hidangan coto Makassar dengan empat ketupat per porsi untuk lima orang yang harganya Cuma Rp. 40.000,- saja.Heheheheehehehehe, sejak saat itu dengan menggunakan metode matematika yang jitu kami bisa makan coto Makassar setiap kami lagi kepingin dengan iuran masing-masing sepuluh ribu per orang sehingga terkumpul Rp. 50.000,- itu sudah termasuk ongkos angkot empat ribu PP dan enam ribu rokok batangan.

Horeeeee…….,Kasih standing applause buat kami semua, begini cara kami memenuhi kebutuhan empat sehat lima sembarang sehingga otak kami bisa cemerlang, ingat satu pesanku semua hal di dunia ini bisa di matematikakan…………..hehehehe

****

Sepatah kata penutup untuk Bab ini.

Jujur saja, untuk para pembaca yang budiman secara fakta dilapang kami memang terlihat seperti anak kosan yang memprihatinkan. Sebenarnya bukan karena kami dari keluarga tidak mampu. Ini semua kami jalani karena beban moril yang kami sandang ketika menginjakkan kaki di kampus STIS.

Sebagai perbandingan, orang tua mana sih yang tidak bangga ketika putranya bisa bersekolah sampai ke Jakarta apalagi bagi kami anak-anak dari daerah. Seandainya saja rasa bangga orang tua kami bisa di ukur secara materi mungkin kalau minta di belikan motor untuk dipakai ke kampus atau keliling kota Jakarta pasti dikabulkan, tapi kondisinya sama sekali berbeda bung, kami sekolah di Jakarta dengan status CPNS ( calon pegawai negeri sipil, red.) yang pada dasarnya sudah dapat gaji dari Negara (kalau mau tahu rinciannya baca di bab pertama novel ini ), dengan adanya label CPNS itu sudah dapat dipastikan kalau kami semua secara strata kemasyarakatan sudah dianggap sebagai individu yang mandiri. Maka dari itu sangat malu rasa kalau harus minta uang jajan sama orang tua ( itu pun kalau terpaksa banget kami harus minta uang tambahan untuk beli tiket pesawat PP saat hari libur. Pada yang seperti ini kami harus menanggung malu dari pada nggak pulang kampung, hehehe).

Berbeda dengan kondisi anak STIS murni yang memang tujuannya untuk mengenyam pendidikan sembelum jadi PNS jadi pasti apa pun yang mereka minta sama orang tuanya pasti di kabulkan demi kelancaran pendidikannya dan status mereka di masyarakat masih mahasiswa, Pernah suatu ketika aku minta uang sama orangtuaku untuk acara tour ke Palembang, memang sih dikasih cuma pakai kalimat tambahan “ Masak PNS Bps masih minta uang sama orangtua mestinya, bapak PNS yang harus mengirimkan kami uang gajinya, hehehehe ” walau aku tahu orangtua ku bercanda tapi beban sebagai PNS itu yang sangat berat, padahal dulu saat aku lulus SMP dan berhasil masuk SMA favorit langsung dibelikan Hp baru, motor baru, bahkan saat aku ancam mau berhenti sekolah karena males ngekos seketika itu bapak membelikan rumah BTN walaupun kecil tapi lumayan, bahkan saat aku bisa masuk di Universitas Negeri Makassar jurusan bahasa Inggris langsung motorku yang jadul saat SMA di gantikan baru.

Nah, sekarang aku malah bisa tembus kuliah di Jakarta di salah satu Sekolah kedinasan pula malah dengan beasiswa Negara..,eh!!! Malah dibilangin PNS ko minta uang. Makanya, kondisi seperti ini yang membuat kami untuk hidup perihatin karena dimata orang tua kami dan masyrakat status kami sudah berubah menjadi seorang individu yang dewasa dan memiliki tanggung jawab.


BAB VI

KARAENG JANGAN BERSEDIH

Rumah tampak sepi, jam dipergelangan tangan menunjukkan pukul 23.00 wib. Aku baru saja pulang dari kosan anak Kalimantan karena teman ku Hikmawati lagi melahirkan anak pertamanya, sebelum memasuki halaman kosan Lontara seperti biasanya aku ucapkan salam.

“Assalamualaikum…”

Terus dijawab oleh Bang Alwi yang sedang duduk ditembok ujung teras rumah seorang diri.

“Walaikum salam warahmatullah wabarakatu” jawabnya

Aku mau menyapa lagi tapi ku lihat bang Alwi lagi menelfon , jadi aku hanya melambai sambil berlalu masuk kamar. Saat merebahkan tubuh di pembaringan, Sandi dating mengajakku ngobrol.

“Mar…, karaeng lagi nggak mood bicara, dari tadi dia ada di luar teras.., nggak biasanya karaeng seperti ini Mar, apa ada masalah ya??”

“Mungkin aja sob, sapa tau saja dia kangen sama anaknya, kan anaknya yang satu masih kecil, kalo nggak salah masih enam bulan saat kareng berangkat kesini…, bayangin tu.., pas masa lucu-lucunya karaeng malah tidak bisa mendampingi keluarganya, maka pantas aja kalo karaeng sedih”

“Ayo kita hibur ya” ajak Sandi

“Nanti dulu, tadi pas aku masuk dia masih menelfon malah tadi aku nggak lihat makanya aku kaget pas karaeng menjawab salamku secara tiba-tiba”

Sambil berdiri terpatung dihalaman kosan bang Alwi menatap jauh ke langit yang bertabur bintang, aku enggan menyapanya lebih dahulu khawatit menggangu.

“Hai.., Mar..,gimana keadaan hikmah?” Tanya bang Alwi

“Alhamdulillah.., anaknya lahir dengan selamat dan anaknya cowok” kata ku

Kami bertiga duduk di dipan kayu yang ada di halaman rumah.

“Karaeng…., ada masalah kah?? Sapa tau ada yang bisa kami lakukan sehingga bisa membantu karaeng” kata Sandi tanpa ba….bi…bu lagi.

“Enggak ko San, tadi waktu nelfon katanya adik Khadafi lagi demam, kasihan istriku.., disan dia lagi sendiri mengurus anak-anaknya” kata bang Alwi

Khadafi anak sulung dari bang Alwi, terus anak keduanya belum punya nama.

“ Aku mau cerita sama kalian, mau kan kalian mendengar kannya ” kata bang Alwi kembali

“ Iye…, karaeng.., kami siap mendengarkannya sapa tahu aja bisa mengurangi beban perasaan karaeng ” Kata Asmar

“ Sebenarnya saya rindu sama suasana dirumah, terkadang pekerjaan di kantor benar-benar membuatku suntuk, apabilasudah penat begitu maka rumah adalah tempat yang paling nyaman ditemani istri dan anak-anakku, menjadi karyawan dan juru dakwah adalah amanah kehidupan dari Allah SWT inilah kewajiban yang harus ku emban sebaik-baiknya, tiada perbedaan antara keduanya. Dunia dan akhirat hanya terpisah oleh terminologi saja, namun nilainya sangat penting bagaikan dua wajah dalam satu mata uang, tak boleh bagiku berdakwah tapi kehidupan keluarga terbengkalai. Juga terlarang bagiku jika hanya mengurusi kehidupan dunia sedangkan urusan akhirat terlantar. Ya, aku hanya berusaha bersifat tawazun (seimbang) karena khaira al-umur awsathuha (Sebaik-baiknya perkara adalah yang pertengahan) “

Bang Alwi berhenti sejenak sambil mengambil secangkir kopi yang baru saja di buat Sandi.

“ Kalian tahu nggak? bagiku istriku itu adalah wanita yang paling sabar di dunia. Terkadang kalau aku pulang dari pengajian di tengah malam, dia pasti selalu dengan setia menungguku di ruang tamu, terkadang TV menyala tiada yang menonton, satu-satunya penonton sudah tertidur di sofa, aku terkadang memandangi wajah lelahnya. Rambutnya yang panjang menjuntai di bibir kursi. Baju daster pendek, bermotif batik. Aku bersyukur sebagai satu-satunya lelaki yang tahu begitu indah rambutnya, begitu mulus kulit putih yang dimilikinya. Karena sesaat sejengkal saja ia keluar dari rumah, segala keindahan tertutupi lewat juntaian jilbab. Alhamdulillah, ia tidaklah seperti kebanyakan ibu-ibu di kampung saya yang mengenakan jilbab saat menghadiri pengajian saja setelah itu mereka kembali ke wujud semula. Bagi istriku jilbab bukan sekedar perlambang ketaatan agama, namun juga perlambang kewanitaan dan kesucian dirinya ”

Bang Alwi berhenti bercerita, memang tampak jelas kalau dia lagi rindu sama keluarganya, kami hanya mendengar dan menyimak secara seksama.

“ Terkadang saat memandangi wajah lelah istriku di sofa , aku menyadari sepenuhnya bahwa aku sangat mencintainya. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa rasa cintaku tak pernah luntur? Mengapa aku tak pernah jemu melihat wajahnya? Mengapa aku merasa tak pernah sanggup menyakiti atau menghianatinya? Mengapa semakin aku mengeksplorasi bagian demi bagian dirinya, semakin pula aku terpikat kepadanya? Mengapa mahabbah ini seakan mengendalikan seluruh jalan hidupku? Kalaulah kecintaanku kepada istriku hanya berdasarkan pada kecantikan tubuhnya, sudah tentu banyak wanita lain yang melebihinya. Jika kasih sayangku padanya hanya karena parasnya, mungkin menginjak usia perkawinan yang memasuki tahun kesepuluh ini, aku akan merasa bosan. Wajah cantik yang dilihat tiap hari akan sirna kecantikannya. Wajah ayu yang tiap saat ditatap, akan pudar keayuannya. Segala keindahan yang bersifat inderawi akan segera lenyap. Kulit yang semula kencang akan segera mengendur. Gigi putih yang berbaris rapi, satu demi satu akan menanggalkannya. Rambut yang hitam mengkilat akan berubah menjadi putih dan kusam. Ketika orang-orang bicara inner beauty, maka istriku telah memilikinya. Itulah yang membuatku tersihir, aku tak pernah mendengar ucapan dari bibirnya, biarpun hanya sekali perkataan yang mengejek dan mencela. Tak pernah ia meng-ghibah-kan orang lain, dan menganggap dirinya sendiri seakan makhluk Allah SWT yang sempurna. Aku tak pernah mendengar istriku meninggikan volume suara. Dari bibirnya tak pernah kudengar ucapan penolakan atas semua perintahku. Istriku juga tak pernah mengeluh karena uang dapur untuk mencukupi kebutuhan harian. Dialah sosok istri yang tak pernah membandingkan aku dengan para suami teman kuliahnya yang super sukses. Baju daster buluk yang warnanya sudah memudar itu masih ia kenakan. Ia tak pernah menuntutku membelikannya yang baru, sampai-sampai aku sendiri malu karena tidak memperhatikan pakaiannya. Ketika uang belanja habis sebelum waktu gajian, ia mengadu dengan penuh rasa penyesalan. Raut wajahnya seperti menanggung beban beribu-ribu gunung, dia lalu berkata maaf ya Tetta, saya memang bodoh, tidak bisa mmperhitungkan pengeluaran. Lain kali saya akan lebih hemat. Kalian tahu nggak, ketika aku dengar kata-kata itu pasti mata ku berair seperti mata air bening yang bersumber dari hati yang luluh tersentuh. Melihat wajahnya memerah, rasa ibaku meluap-luap. Lidahku seakan terputus. Tenggorokan menjadi kering. Bahkan aku tak sanggup menelan ludahku sendiri. Bibirku tak sanggup lagi mengeluarkan sedikit pun suara ”

Bang Alwi terdiam sejenak. Kami pun hanya bisa terdiam seribu bahasa. Sandi yang wataknya keras pun tampak berkaca-kaca tanpa berkedip. Aku hanya terdiam membiarkan bang Alwi mengeluarkan seluruh gundah hatinya.

“Saat itu terjadi aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan cinta yang membuncah-buncah. Tatapan sayang tak terbayang. Tatapan simpati sampai mati. Tatapan sayang tak berujung. Dadaku berdesir seperti pasir pantai yang tersapu ombak. Wajahnya sekarang bagai wajah malaikat yang memancarkan cahaya. Aku tak tahu wujud asli malaikat, namun kesucian hatinya membuatku harus mengatakan bahwa ia laksana malaikat. Aku tak punya deskripsi lain yang mampu melukiskan isi hatiku. Saat itu aku hanya bisa memandang istriku seolah dipenuhi cahaya putih yang terang menyilaukan. Aku tak mampu melakukan apa-apa lagi selain memeluknya erat-erat. Dan saat itu aku hanya bisa membisik kan dalam hati. Bukan dirimu yang tidak bersikap hemat istriku. Namun aku yang belum bisa memberimu banyak. Kalau ada yang harus kau persalahkan, maka akulah orangnya. Tidak! Kamu tidaklah bodoh, tetapi aku yang seharusnya lebih pintar. Sejak saat itu pula aku berjanji akan menjadikan setiap hari adalah perubahan menuju arah kehidupan yang lebih baik, agar hasrat keduniaanku hanya satu yaitu membuatnya bahagia”

Bang Alwi kembali berhenti untuk menenggak minum terakhirnya. Sandi tidak berkedip sedikit pun, aku begitu tersihir oleh cerita bang Alwi, aku baru tahu beginilah cara seorang suami mencintai istrinya.

“Mar…, suami manakah yang tak akan mencintai sosok istri seperti jelmaan malaikat. Suami manakah yang tak cinta ketika di rumah seakan berada di surga. Suami manakah yang tak menginginkan seorang istri yang memanjakan hati dan menciptakan ketenangan. Suami manakah yang akan sanggup menolak penghormatan, kepatuhan dan pengabdian tulus seorang istri. Bagiku ia adalah limited edition-nya Allah SWT. Mungkin seandainya ia tiada, maka aku tidak akan pernah mendapatkan seorang perempuan seperti dia untuk yang kedua kalinya. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah seorang lelaki egois. Aku hanya menginginkan sesuatu menurut cara dan keinginanku sendiri. Aku tak mau melihatnya memakai pakaian tidur ketika menemaniku sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor. Aku tak mau jika rambutnya dipotong walau hanya sedikt. Pada hari minggu, aku ingin dia banyak membaca buku, menambah pengetahuan dan tidak malah pergi kesana-kemari atau melakukan kegiatan tanpa ada gunanya. Dan ia pun menurut, pokonya semua keinginanku tidak ada yang tidak ia turuti. Justru karena itulah aku merasa bersalah. Mengapa aku sangat menginginkan dia supaya menjadi seperti diriku? Mengapa aku tak membiarkannya menjadi dirinya sendiri? Mengapa aku bisa memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk diriku, sedangkan aku terlalu banyak mengekangnya? Sungguh tega aku yang telah membuatnya seperti sandera dalam sekapan. Ya, aku memang si Raja Egois, aku sangat malu dan merasa bersalah, apalagi sekarang dia seorang diri menjaga kedua buah hatiku. Kecintaanku kepadanya sama seperti kecintaan Rasullullah kepada Siti Khadijah dan Ali kepada Fatimah. Karena dia bagiku melebihi Rabiah Adawiyah”

Ada air mata yang menetes dari ujung mata bang Alwi, sebuah air mata kerinduan terhadap keluarganya. Sambil mengusap air mata bening itu.

Karaeng, jangan bersedih karena saat karaeng kembali dari Jakarta pasti semua kerinduan itu akan terbayar, beda dengan aku karaeng, saat aku harus meninggalkan Jakarta saat itu pula aku harus siap kembali ke Kalimantan untuk memulai hidup yang baru bersama orang-orang baru. Jangan bersedih karaeng karena disin kita semua satu keluarga yang akan saling menghibur dan bersama baik suka maupun.


BAB VII

BIARKAN CINTAKU MENCARI KESETIAN DIBIBIR SENJA

Hari ini Rabu, tanggal 4 September 2008, tepat hari kelahirannya. Di matanya, kota Makassar sore itu tak jauh beda dengan apa yang dilihatnya 6 bulan yang lalu, saat dia harus berpisah dengan orang tuanya demi menjalankan tugas belajar di Jakarta. Dan hari ini dia kembali untuk mengobati rasa rindu yang teramat sangat ke pada keluarganya dan yang lebih penting lagi kedatanganya di kota ini untuk memperjuangkan perasaan dan rasa cintanya sehingga gundah dihatinya dapat terobat dengan mendapatkan kepastian dari gadis yang sangat dia cintai.

Hal yang sangat pahit pernah dirasakannya waktu SMA ketika dia tidak berdaya dengan sifat pengecutnya yang tak berani memperjuangkan rasa cintanya kepada gadis yang sering dia jumpai sehabis ibadah di gerja pada hari minggu, dulu dia hanya bisa menatap gadis pujaanan hatinya dengan seribu bahasa tapa bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang hal itu tak kan terulang lagi aku tak akan pernah menjadi pecundang lagi. Aku harus kuat menghadapi kenyataan seperti yang sering diajarkan bang Alwi.

Dulu dengan sekuat tenaga aku bangkit dari keterpurukan mancoba melawan rasa sesal yang selalu menyerta langkahku, bahkan di saat aku menginjakkan kaki di Jakarta luka itu tak kunjung bisa hilang, rasa pedih yang selalu menyertaiku mengikut seperti bayangan, bahkan setelah sekian lama aku pun masih dihantui perasaan penyesalan itu sampai pada saat aku menemukan seberkas cinta yang pantas ku perjuangkan.

Purnama bulat sempurna, bintang-bintang bertaburan menghiasi angkasa. Malam ini Kota Makassar terasa sangat sejahtera. Angin Mammiri tanah Daeng mengalir semilir, pelan berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela-sela pintu dan jendela kamar, menebarkan kesejukan. Sungguh suasana di Makassar sangat indah, paginya indah, siangnya indah, malamnya pun indah, lebih-lebih bagi mereka yang menikmatinya.

Malam itu dikamar yang berada bagian rumah paling depan, setiap kali dia ke Makassar pasti kamarnya akan terasa menjadi surga yang sangat dirindukakkanya siang dan malam selama di Jakarta, betapa tidak, suasana kamarnya sangat berkarakter dengan hiasa serba merah di tambah poster-poster bola club PSM Makasar yang siap dibelanya dari pinggir lapangan sampai mati, ya…, itulah dia Sandy Delano Patrix sang The Macs Man sejati. Malam itu Sandi masih belum juga istirahat, sementara keluarga yang lain sudah lama larut dengan mimpi indahnya masing-masing. Sandi masih sibuk berkutak dengan merangakai kata-kata yang akan di utarakan langsung kepada pujaan hatinya, dia menulis setiap kalimat pada lembar buku. Setiap sanjunga, kata-kata romantic, bahakan curahan hatinya di tulis serapi mungkin dalam sebuah buku warna biru laut dengan menggunakan pena hitam yang dengan setiap menari-nari diatas lembaran kosong kertas itu. Dengan penuh kesabaran ia terus menulis curahan hatinya pada buku itu.

Wajahnya tampak lelah, kedua matanya telah merah. Namun sepertinya ia tak mau menyerah dalam kondisi yang sangat letih, ia harus tetap menulis semua kata-kata yang akan disampaikannya agar semua unek-unek yang ada dihatinya bisa terlepas. Ia tak mau semngatnya luntur begitu saja oleh rasa kantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu ia terus teringat oleh kata-kata orang bijak yang mengatakan.

Orang yang memiliki semangat

Ia akan mencintai semua yang dihadapinya

Ia melihat jam yang tergantung di diding kamarnya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sudah masuk ujung malam, dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyudahi tulisannya. Ia harus punya waktu untuk istirahat, meskipun cuma satu jam memejamkan mata karena besok ada janji ketemu Rindu.

Ia lalu berdiri dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa linu dan pegal yang begitu terasa. Dua menit ia melakukan senam ringan. Lalu buku itu disimpan di dalam ransel yang selalu di bawahnya setiap bepergian.

Tepat pukul tiga kurang lima menit ia berbarig dan bernafas lega. Setelah matanya terpejam di atas kasur spring bed. Lalu perlahan ia tertidur.

Baru emapt jam lebih matanya terpejam, ia mendengar namanya di panggil-pangil. Pelan , pintu kamarnya diketuk.

“San…, Bangun Nak sudah pagi”

Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pusing ia bangkit.

“Siapa?” tanyanya

“Mama…, Ndy” Sandi turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu kamarnya. Di depan pintu kamarnya berdiri Mama yang sangat dicintainya.

“Ada apa Mam ?”

“Ini sudah Jam tujuh pagi nak, ayo sarapan dulu hari ini kan katanya ada janji, tak baik kalo terbiasa ingkar janji loh? Ayo mandi dulu entar kesiangan”

“Iya Mam.., makasih”

Ia lalu bergegas ke kamar mandi lalu menggunakan pakaian yang rapid an bergegas sarapan bersama Ayah, Ibu, dan kedua adiknya.

****

Langit dini hari selalu memikat hatinya, hari ini tampak cuaca bersahabat. Sang mentari perlahan beranjak dari peraduannya menyapa penduduk bumi khususnya penduduk kota Makassar di pagi itu. Sandi sudah siap berangkat dengan dandanan yang rapi kemeja abu-abu dengan celana levais 505 terpadu sangat serasi di badanya. Tampak seperti pangeran yang ingin menjemput putri Cinderella dengan menggunakan kereta kuda.

“Kak, mau kemana pagi-pagi gini?” Tanya adiknya yang masih duduk dibangku SD

“Nggak ko…, kakak cuma ada janji ketemu teman”

“Temen atau demenan”

“Kau bisa aja.., Oia, hari ini ade pulang jam berapa? Nanti kakak jemput”

“Siang kak, sekitar jam satu”

“Tidak usah repotin kakak mu, nanti papa yang jemput biarlah kak Sandi menikmati kota Makassar dulu, kan lama baru dating lagi” kata Ayah

“Thanks ya Dad”

“Iya deh…, aku ngerti ko…, pasti sama cewe ya…, tapi ingat ya.., jangan ngebut-ngebut”

“Oke…, beres…dad, aku berangkat dulu ya”

“Hati-hati ya ….”

Dari rumahnya di jalan Tidung 09 Setapak 15 no. 146, Ia melaju motor yang dikendarainya menyusuri lorong hingga sampai ke Jln. Pengayomanh lalu berbelok ke kiri menelusuri jalan A.P. Petta Rani terus melaju melewati Kampus UNM pas dipertigaan poros Gowa-Makassar motor itu berbelok ke kanan menuju Jalan Andi Tonro terus menyusuri sampai memasuki jalan Dr. Sam Ratulangi hingga akhirnya motor Honda New Smash warna hitam itu secara perlahan tapi pasti memasuki lapangan parkir Mall Ratu Indah. Tampak dari kejauhan berdirilah gadis cantik dengan rambut sebahu teruarai dibalut baju warna kuning dengan rok motif bunga yang warnanya sangat sepadan dengan warna bajunya memang sungguh sangat cantik sekali. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Perasaannya tak karuan antara senang dan sedih. Ia berhenti tepat disamping gadis itu berdiri. Setelah memarkir motor dia langsung mangatur nafasnya agar tetap terlihat tenang.

“Selamat pagi Rin, bagaimana kabarmu?”

Walaikum salam warahmatullah, Alhamdulillah aku baik ko kak, kalo kak Sandi sehat-sehat aja kan?”

“Ya…, seperti yang ade lihat, aku juga dalam keadaan sehat walafiat”

“Gimana Rin’…, jadi nggak berangkatnya?”

“Kalau kakak udah siap, aku sih ikut aja, lagian kemarin kan kita sudah sepakat untuk bicara empat mata samapai semuanya jelas”

“Ya…udah, pake helm dan switer ya…, soalnya hari ini terik betul”

Rindu pun mengambil helm dan segera naik di sepeda motor, Sandi seketika panas dingin tapi dia tetap berusaha bersikap tenang soalnya dia sedang mengendarai sepeda motor. Hatinya yang pernah terluka di Jakarta karena sikap dingin Rindu kembali terkoyak, bagaimana tidak sekarang di belakangnya duduk seorang gadis yang sangat dicintainya dan sekaligus gadis yang telah menggantung statusnya.

Sudah hampir dua bulan mereka tidak bertegur sapa, akhirnya hari ini mereka dipertemukan lagi. Suasana sunyi senyap hampir tidak ada percakapan dalam perjalanan itu, motor terus melaju kearah Tanjung Bayam karena disana tempat yang telah mereka sepakati untuk berbincang-bincang untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah dua bulan terpendam. Setelah sampai disana akhirnya mereka memilih ngobrol diatas dipan bambu yang menghadap ke pantai.

Suasana kembali menjadi sunyi senyap, tak sepatah kata pun suara yang keluar dari mulut kedua anak manusia itu. Sampai akhirnya sandi memberanikan diri untuk memulai percakapan.

“Rin….., sudah lama ya kita tidak ngobrol sebebas ini”

“Iya kak, sudah hampir dua bulan lebih, soalnya kalo di Jakarta banyak teman yang selalu mengganggu”

“Iya.., terakhir aku lihat senyumanmu padaku waktu acara ulang tahun bang Mino di cawang, ya…, kalo dihitung hampir dua tahun”

“Iya kak”

“Ah…….h (Dia menarik nafas panjang). Hari ini kita ketemu disini agar semuanya jelas ade ku, aku tidak ingin hubungan silaturahmi kita putus karena biar bagaimana pun kita saudara dalam Lontara, semua harus dibicarakan baik-baik, jangan seperti kemarin tiba-tiba ade diam seribu bahasa, sms pun tak pernah dibalas (Dia terdiam sejenak). Tahu nggak Rin, sikap kamu yang dingin sama aku sangat berat buatku, terasa hari-hariku sudah berakhir, aku begitu terpukul karena sikapmu. Kalau saja bunuh diri itu bukan dosa yang sangat di murkahi Tuhan, mungkin hari ini aku sudah tidak disini lagi. Hatiku hancur Rin dan sakitnya mungkin nggak ada kata-kata yang bisa mengambarkannya, sekarang aku mohon penjelasan darimu, pertanyaan ini sudah ku simpan lebih dari dua bula lamanya, aku sudah tidak sanggup lagi memikulnya sendiri sekarang bantu aku Rin”

“Maaf kak, Rindu emang salah hanya kata-kata itu yang bisa aku ucapkan, waktu di Jakarta asal kakak tahu aja, Raku sangat sedih telah melakukan satu kesalahan dengan menerima cinta kakak. Aku menyesal melakukan kesalahan itu karena saat semuanya tidak bisa dirubah lagi aku baru sadar kalau aku benar-benar sayang sama kakak, saat aku menyadari hal itu saat itu aku sudah tidak punya pilihan, aku ingin melawan takdir ini tapi aku tidak memiliki daya apapun“

“ Astaga, aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang kau katakana Rin, tolong jelaskan sedatail mungkin”

“Kak.., aku minta maaf.., sebenarnya aku sudah di jodohkan sejak kecil kak, aku pun begitu kaget saat dua bulan yang lalu orangtua ku member kabar kalau saya sudah di lamar sejarah resmi, dan orang tua ku mengiyakan”

Saat mendengar penjelasan Rindu, Sandibagai tersambar geledek, kata-kata itu seketika membuat Sandi pucat pasih, hatinya bergetar raut kekecewaan tak bisa ia sembunyikan. Ia mencoba menenangkan diri, menarik nafas panjang.

“Andai kau tahu Rin, betapa aku sangat takut kehilangan kamu, saat ini mungkin aku pun telah melakukan kesalahan, ya…, mungkin kesalahan ku saat ini karena aku sangat mencintaimu”

“Iya…, kak…., maafkan Rindu yang tak berdaya ini dan tak tahu berterimakasih, (matanya berkaca-kaca), Rindu juga sakit Kak, sakit banget sampai-sampai waktu itu aku harus terbaring demam selama tiga hari, aku ingin menghubungi kakak tapi saat itu aku takut buat kak Sandi kecewa kakak ku”

“Kamu sangat egois Rin, aku nggak tahu apa sebenarnya kamu pernah sayang sama aku atau tidak, tapi dengan diam itu malah tidak menyelesaikan masalah, selama hampir dua bulan aku bertanya-tanya apa sebenarnya kesalahan ku, sampai aku tak bisa konsentrasi…, Tapi, sekarang semuanya sudah jelas..,setidaknya itu sudah bisa membuatku lega ”

“Aku terima kalo kakak marah, tapi aku sangat kecewa kalau kakak berpikir seperti itu, karena jujur saja aku pun sangat sayang sama kakak, hari ini aku datang kesini karena aku pun sangat ingin ngobrol sama kakak”

“Maaf kan aku, bisa kah kamu bersikap adil sama aku, kalo bisa tolong sampaikan sama orangtuamu tentang keberadaanku yang sangat mencintaimu, setidaknya beliau tahu, setelah itu mintalah keputusan yang terbaik buat dirimu karena saya tahu kau takkan melanggar adat yang sudah di garis oleh keluarga besarmu tapi setidaknya perlakukan aku dengan adil walau cuma sekedar penyampaian”

“Ade akan lakukan itu kakak, tapi apapun jawabannya jangan kecewa yak kak?”

“Iya saya janji akan menerima apapun jawabannya, sekarang saya sudah lega Rin, aku hanya ingin mencari sebuah kepastian Rind an ku harap kamu mau menbantu ku”

“Iya kak, nanti jawabanya aku sampaikan di Jakarta ya”

“ Oke.., itu cukup adil buatku”

Keduanya kembali terdiam seribu bahasa.

Sandi berdiri sambil memungut batu yang ada didekat kakinya lalu melemparnya kelaut. Diatas pasir pantai Tanjung Bayam, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran, ada juga yang bermain rumah-rumah dari pasir, ditangan anak-anak itu pasir-pasir tampak seperti butira-butiran emas yang lembut berkilauan diterpa sinar matahari senja.

Di beberapa tempat, disepejang pantai. Sepasang muda mudi tampak bercengkrama mesra. Suasana senja dipantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkrama dengan pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkrama dengan keluarga. Ya…, seperti aku ini, aku berjalan menyisiri pantai bersama gadis yang sangat aku cintai dalam hidupku ini sampai detik ini. Sungguh sangat berata bagi Sandi karena pertentangan dalam dirinya yang selalu mengusik antara cinta dan kehormatan, saat dia menuruti kata hatinya untuk mengejar cintanya maka dia akan mengabaikan kehormatannya sebagai laki-laki sejati yang memohon demi cinta, tapi menurutnya semua yang dilakukannya hari ini memang pantas. Saat manusia pasrah terhadap takdir mungkin hidup ini akan menyenangkan. Tapi, di matanya berjuang demi mendapatkan pujaan hatinya merupakan sesuatu yang mutlak sampai gadis itu sendiri yang menerima pinang dari orang lain barulah dia akan mundur. Mereka masih menyusuri garis pantai yang sesekali disapu ombak kecil yang mencium bibir pantai.

Di mana-mana muda mudi yang sedang jatuh cinta sama. Senja menjadi waktu yang istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu, saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran mereka adalah pesona dengan kekasih yang dicintai. Tak terlintas sedikit pun dalam pikiran mereka kelak senja yang indah itu akan menjadi saksi bagi mereka di hari kemudian.

Dimatanya Tanjung Bayam sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia, namun disebuah alam yang hanya di penuhi keindahan dan kedamaian saja. Sesungguhnya bukan semata-mata karena cuaca senja yang membuat sore itu begitu mempesona. Bukan semata-mata sihir sunset Tanjung Bayam yang begitu menakjubkan. Bukan semata-mata hamparan pasirnya yang bersih yang begitu menawan. Akan tetapi lebih dari itu, yang membuat segala yang di pandangnya tampak menakjubkan adalah karena sore itu sang dewi cinta sedang bersinar terang disana. Bunga-bunga kesturi sedang menebar wangi. Tembang-tembang cinta sedang mengalun di hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis yang kini sedang berdiri disampingnya menamani langkah kakinya menyisir bibir pantai Tanjung Bayam sore itu.

Gadis yang di matanya memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang dimatanya seumpama batu safir yang paling indah. Gadis itu adalah kilauan Matahari di musim semi, sosok yang sangat sempurna dimatanya. Gadis yang pesonanya dikagumi banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan fisiknya, tetapi juga karena kecerdasan dan kematangan berpikirnya serta tutur katanya yang santun. Sikapnya yang sangat ramah dan pemurah. Tampak tak ada kesedihan yang terpancar setiap kali dia tersenyum. Lebih dari itu gadis itu adalah sahabatnya. Ya…, dialah Andi Rindu Eka Wati.

Sore itu dia berada di Tanjung Bayam, hanya untuk gadis tersebut karena ada hal yang harus diselesaikannya agar tidak menjadi batu sandungan untuk melangkah ke depannya. Semuanya harus jelas dan tuntas, perjuangan harus dilakukan sesempurna mungkin.

Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan mencium pasir-pasir pantai yang putih nan bersih, sungguh suatu pemandangan yang terasa damai dan indah.

Pemuda yang bernama Sandi itu masih menatap kearah laut. Matahari masih satu jengkal diatas laut, sebentar lagi matahari akan tenggelam, mereka menikmati detik-detik pergantian siang dan malam, hanya sesekali mereka saling menatap tanpa sepatah katapun terucap. Lidah mereka keluh tanpa bisa berucap apa-apa. Hanya tetesan air mata yang membasahi pipi Rindu, dia mungkin hanya bisa berkata maaf karena jauh di lubuk hatinya saat ini masih ada cinta yang tulus buat Sandi. Tapi kata itu tak pernah mampu dia tunjukkan.

Siang seolah-olah masuk kedalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bualan dating. Seketika adzan magrib berkumandang.

“Astaga…, sudah magrib Rin, kita cari mesjid yang terdekat ya., karena kami harus shalat magrib”

“Iya kak..”

”Entar aku nunggu diluar saja ya.., karena aku kan nggak shalat”

“Iya kak..”

“Kak.., setelah sholat kita kemana?”

“Aku langsung mengantar mu pulang, nanti aku nganter kamu ke depan lorong rumah aja, aku tak ingin nanti kamu malah di marahi kalau ada yang melihatku mengatarmu sampai rumah”

“Makasih ya kak atas pengertiannya”

Hari itu berjalan sangat indah setelah sekian lama baru kali ini Sandi merasakn kebahagian yang teramat sangat. Dia berucap dalam hatinya “ Biarkan Cintaku Mencari Kesetian di Bibir Senja”.

*****

BAB VIII

BERITA YANG MENGEMBIRAKAN

Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Tak terasa lampu-lampu jalan berpendar. Makassar memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya pun tak kalah indahnya. Kelap-kelip lampu kota yang mendapatkan julukan Kota Angin Mammiri, Kota Tanah Daeng itu bagaikan intan.

Malam itu begitu indah buat Sandi sungguh gambaran perasaan yang tak bisa di gambarkan dengan kata-kata. Setelah mengatar Rindu pulang kerumahnya, dia juga bergegas kembali kerumahnya.

Dari jendela kamarnya yang terletak disudut paling depan ruangan rumah itu. Ia memandang kelangit membayangkan hal-hal yang terjadi seharian ini. Ia kembali memandang ke bulan purnama yang malam itu tampak begitu indah. Hatinya terus berdetak kencang, pembuluh arterinya terasa berdenyut. Perasaan seperti ini tumbuh kembali.

Dia meraih telfon genggam dan memulai percakap setelah ada suara seorang laki-laki dari ujung telfon itu.

“Halo.., Selamat malam, Mar”

“Malam Bro.., sekarang lagi dimana?”

“Aku sudah di Makassar bro, tadi aku sudah ketemu sama Rindu dan sudah ku selesaikan semua masalah ku bro”

“Syukurlah sobat, setidaknya kau sudah bisa tidur dengan nyenyak”

“Iya bro.., ini semua berakat dukungan dari kau, Anca, dan Karaeng, yang selalu dengan setia menyemangati ku”

“Kita kan sodara bro.., jadi sudah sepantasnya, jadi gimana hasilnya?? Ceritakan dong”

“Nanti di Jakarta aku ceritakan semuanya bro, pokonya sekarang aku senang banget”

“Alhamdulillah bro…, ini sungguh berita yang mengembirakan”

“Sudah dulu ya Bro.., aku mau makan malam dulu, salam buat keluargamu di Bone ya”

“Oke Bro”

Setelah telfon tersebut terputus, Sandi menutup jendela kamarnya. Dia merebahkan diri tapi kedua kelopak matanya tidak mau terpejam. Ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya tetap saja tertuju pada Rindu. Ia sendiri tidak tahu kenapa satu bulan ini hati dan pikirannya tidak bisa lepas dari Rindu.

Padahal perasaan itu sudah lama dia lawan sampai beberapa kali dia putuskan untuk tidak berkomunikasi dengan Rindu. Ia tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada gadis itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan. Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuncah. Berbunga-bunga, bahkan nyaris tak dikuasainya.

Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa. Padahal dia pun belum dapat kepastian yang jelas, setelah di Jakarta barulah semuanya menjadi jelas. Malam ini yang ada dalam pikirannya dan hatinya selalu saja Rindu. Langkah kaki Rindu, suara Rindu, wajah Rindu, Budi bahasa Rindu, Gaya bahasa Rindu, Tingkah Laku dan perangai Rindu yang halus.

Seketika itu ia sama sekali melupakan rasa sakit yang pernah dirasakannya. Dia melupakan waktu saat ia harus bersedih, menangis seperti anak kecil di dalam kamar seorang diri saat gadis itu melukai perasaanya.

Sebuah rasa sakit yang hampir dua bulan dibawahnya, tapi semakin dia berusaha menghilangkan rasa itu semakin besar pula rasa cinta, rindu, dan sayang mendera kelubuk hatinya. Kadang Sandi bertanya dan mengadu pada sang pencipta rasa cinta.

Rasa cinta yang sekarang dirasakannya jauh lebih besar dari rasa sakit yang pernah Ia terima, itu semua yang membuatnya nyaris gila, karena sangat tidak masuk akal kalau orang yang telah menyakiti dia, mendzalimi dia harus diperlakukan secara istemewa, tapi diatas rasa cinta semua ke egoisan itu terbantahkan. Selalu ada sesuatu yang aneh mendera-dera hatinya. Entah apa namanya, Ia merasa di dunia ini tak ada gadis yang Ia anggap sempurna menjadi pendamping dalam hidupnya, menjadi ibu yang melahirkan keturunannya, hanya ada satu wanita yang di impikannya, ya…. Dialah gadis dari tanah arung matowa bumi Lamaddukkelleng.

Setiap kali ia mendengar nama itu disebut. Hatinya selalu bergetar, berdesir-desir, disebut oleh siapa saja. Termasuk ketika Asmar sahabatnya mengejeknya, atau kak Mirna yang selalu menceritakan tentang kegiatannya di kampus bersama Rindu.

Dan setiap kali ia mencoba memejamkan mata malam itu, maka sosok senyuman gadis itu selalu muncul, ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti ini tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia mengambil Al-kitab untuk menenangkan dirinya sebagai pengatar tidur. Dan ia kembali tidak berdaya. Rindu hinggap lagi dikelopak matanya.

Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelabat bayangan Rindu, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya justru semakin jelas bayangan Rindu bersemayam di benaknya. Ia benar-benar tak berdaya.

Dalam ketidak berdayaannya. Kehadiran Rindu malah ia rasakan sebagai kegilaan dan kenikmatan. Bagaimana tidak, hampir setiap hari, saat dia melamun justru muncul bayangan yang tidak-tidak dibenaknya.

“Seandainya dia telah menjadi istriku, hidup ini akan terasa indah, karena cinta yang akan kami jalani adalah cinta yang sangat tulus dan suci. Semua akan dijalani berdua. Ya…., berdua di negeri orang, membangun keluarga kecil yang bahagia. Alangkah indahnya kalau semuanya bisa terwujud”

Ia memejamkan mata setetes air mata jatuh ke pangkuannya. Ia sesenggukan, menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan perasaan berdosa bercampur menjadi satu.

Dia berucap syukur atas kesempatan kedua yang dia dapatkan, semoga ikhtiar terakhirnya dalam memperjuangkan cintanya bersambut sesuai harapannya.

*****

BAB IX

MAWAR TAK BERTUAN

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Segera ia mandi lalu bergegas ke Gramedia Matraman. Soalnya perjalanan yang akan ia tempuh kurang lebih satu jam karena di pagi hari pasti Jakarta. Mungkin hari ini akan sangat berat atau malah menjadi hari yang sangat membahagiakan soalnya hari ini keputusan akhir dari Rindu akan dia dapat di took buku Gramedia Matraman, aku juga kurang tahu kenapa Rindu malah memilih tempat itu ( mungkin kalau ternyata jawabanya membuat Sandi kecewa setidaknya dia tidak menangis sesenggukan…heheheehe ).

Jam 10 pagi, Sandi sudah sudah tiba di took yang dimaksud tepatnya di Café Es Teler 77 yang berada di basement parker took tersebut. Setelah merapikan diri di toilet, dia berjalan menghapiri Rindu yang sudah dari tadi. Setelah memesan makanan akhirnya Sandi mulai percakapan.

“Apa kabar Rindu? gimana liburannya?”

“Liburanku terasa berat kak.., kalo kakak sendiri gimana?”

“Kalo aku maklah terasa panjang liburannya karena nggak sabar menanti hari ini.hehehe”

Rindu hanya terdiam sambil tertunduk, Sandi tetap memasang muka yang optimis karena sebelum berangkat sudah di kasih nasehat sama bang Alwi, nanti Asmar dan Anca pun sudah memasukkan setangkai bunga mawar kedalam tasnya yang akan di persembahkan buat Rindu, pokoknya Sandi sudah siap tempur.

“Ayo dimakan Rin, sanatai aja lagi, kita kan sudah dewasa, apa pun keputusan mu aku akan terima, kalo memang iya maka aku akan jadi lelaki paling bahagia di dunia ini, kalo pun tidak maka kitakan masih bisa bersahabat”

“Iya kak”

Rindu masih kelihatan bimbang dan ragu untuk berkata apa, tapi dia selalu mengingat pesan kak Mirna Katakanlah sesuatu itu untuk kebaikan kalaupun pada akhirnya akan menyakitkan. (Sedikit perlu penulis sampaikan kalau sang Mario Teguh tempat curhat cowok-cowok Lontara adalah bang Alwi, kalau untuk cewek tempat curhanya Mama Lauren..ehh…salah maksudnya Mama Mirna..hehehehe)

Dengan mengumpulkan semua kekuatan dengan perasaan yang dikuat-kuatkan. Ia mulai mengutarakan jawaban yang akan dia berikan kepada Sandi. Walau dengan suara bergetar dan dengan hati yang bergetar.

“Kak..,(dia menatap Sadi dengan mata yang nanar)…maafkan Rindu kak, hanya itu yang bisa aku ucapkan, selebinhya tolong baca surat ini, semoga kak mengerti, aku tak sanngup mengatakannya langsung, aku pulang dulu ya kak” kata rindu sambil menyerahkan sebuah amplop, segera dia berlari menjauh Sandi, tampak dari kejauhan dia melap air matanya. Dan sesaat kemudian di berbalik melihat Sandi yang masih duduk termenung, lalu Rindu pun tak terlihat lagi.

Sandi hanya duduk terdiam, mematung seorang diri ditemani sebuah amplop berwarna kuning ditangannya. Ia membuka amplop itu dengan menyobek pinggirnya, berharap menemukan jawaban dari surat yang ditulis rindu untuknya. Ternyat surat itu ada dua bagian. Saat ia membaca halaman pertama, dia membaca dengan hati yang berdesir.

Makassar, 6 Oktober 2008

Teruntuk kak Sandi yang dikasihi Allah SWT

Maafkan aku sebab hanya berani untuk menyampaikan jawabanku melalui surat ini kepada kakak. Surat ini kutulis dengan derai air mata karena ada beban berat yang mengelayut dihatiku, rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk aku tanggung. Hanya melalui surat inilah kuharap beban itu bisa berkurang.

Kak….

Bukannya aku tidak mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu. Dan bukannya aku tidak mendamba hidup bersamamu. Sungguh aku sangat ingin hidup bersamamu. Namun tidak semua yang didamba manusia pasti diraih. Aku sangat mencintaimu tapi aku tidak mau kehilangan cinta kedua orangtuaku. Aku mendamba hidup bersamamu, tapi aku lebih mendamba hidup bersama seluruh keluargaku. Aku yakin kaka Sandi tidak akan melihatku menghianati amanah kedua orangtuaku, dan akupun yakin kak Sandi tidak akan melihatku dianggap sebagai wanita hina yang melanggar aturan adat. Dan aku masih ingat kata kakak kalau

cinta sejati itu tidak menzalimi. Cinta sejati malah membuat pasangannya bahagia.

Kak….

Kutulis surat ini agar kak Sandi sudi dan berkenang untuk memaafkan ku. Aku sudah memperlakukan kakak dengan adil, semua permintaan kakak sudah ku lakukan dan sudah ku sampaikan kepada kedua orangtuaku, tapi seperti yang kakak sudah duga orangtuaku sangat menentang karena ini akan melanggar adat istiadat keluarga besarku. Aturan perjodohan dar kecil sudah digariskan untuk kami jalani sesuai tradisi dan apabila aku melanggar maka konsekwensinya adalah siri dan tentu kakak sudah mengerti akan makana siri itu sendiri seperti yang menjadi falasaf oraganisadi Lontara.

Kak….

Kita adalah orang bugis, dan kita sudah diajari tegar, berbesar hati dan setia. Maafkan aku. Kuaharap kakak bisa mengerti.

Doaku selalu menyertaimu semoga engkau bahagia selalu kak. Amin.

Dari Andi Rindu Eka Wati

Bacaannya ia hentikan, ia meneteskan air mata, ia berusaha tegar dan sabar. Namun setegar-tegarya, ia hanya manusia biasa yang memiliki air mata. Ia bukan robot yang tidak memiliki perasaan apa-apa. Ia mengusap air matanya.

Setelah membaca lembar itu, hatinya hancur lebur, Ia tidak sanggup melanjutkannya. Jiwa Sandi bagai diangkat dari jasadnya. Sekuat tenaga ia bertahan. Agar tetap bisa terlihat tegar. Ingin rasanya saat itu ia berteriak sekeras mungkin melepas kesedihan yang mencekik. Ulu hatinya bagai ditusuk-tusuk belati berulang kali.

Siang itu sebelum pukul satu. Ia meninggalkan café Es Teler 77. Pelan perjalanannya dari kafe menucuh terminal busway yang berada tepat di depan toko buku Gramedia Matraman. Air matanya meleleh tanpa bisa ditahannya. Ia tidak bisa menerima kenyataan yang dibacanya tadi, ia baru tahu dengan jelas kalau saat ini Rindu telah bahagia dengan seorang pilihan kedua orangtuanya.

Yang membuat dadanya begitu sesak, saat ini belum apa-apa dirinya sudah terbakar api cemburu. Ia meratapi nasibnya. Alangkah ruginya dirinya tidak bisa mendapatkan gadis sebaik Rindu. Dan alangkah bahagianya laki-laki itu yang akan menyunting gadis selembut Rindu. Kesedihan yang ia rasa kan seperti kesedihan seorang pecinta yang dipisahkan dengan orang yang di cintainya, seperti kesedihan seorang pecinta yang diputus harapannya untuk bersanding dan hidup bersama dengan orang yang dicintainya.

Tiba-tiba entah kenapa, ia merasa benar-benar merasa kehilangan gadis yang ia cintai. Ia merasa benar-benar kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya untuk selamanya. Ia kembali meratapi nestapanya. Ia adalah laki-laki biasa yang dengan segala kekurangannya.

Sandi menaiki busway yang menujuh ke halte Bidaracina, mobil itu melewati jalur khusus yang sudah disiap pemerintah, mobil itu akan melewati rute jalan matraman terus ke jatinegara lalu ke terminal kampung melayu terus ke halte Bidaracina. Mobil busway yang ditumpangi Sandi bergerak 30 kilomter/jam. Hampr 30 menit perjalanan dari Matraman ke Kosan.

Setelah sampai di kosan Sandi langsung menujuh ke kamar, merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Matanya sedikit pun tak mau tepejam. Air matanya terus meleleh. Hatinya pilu, tubuhnya seperti remuk semua.

Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa di ikhtiar terakhirnya pun, ia tidak bisa memenangkan cintanya. Dan yang jelas ia pada akhirnya benar-benar kehilangan gadis yang ia cintai.

Sejenak dia beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke dekat jendela. Malam ini dia harus bercermin membandingkan dirinya dengan pria itu. Ia harus realistis, ia hanya seorang laki-laki yang hidup sederhana, bahkan untuk menjadi seseorang pun dia harus berjuang mati-matian. Sementara laki-laki itu sangat sempurna masa depannya begitu cerah, dia dari keluarga yang sangat terhormat. Ia harus bercermin dan membandingkan diri.

Ia merasakan perih didadanya. Hatinya menjerit sejadi-jadinya.

Alangkah bahagianya laki-laki yang mendapatkan cintanya.

Alangkah bahagia laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Alangkah bahagia suami yang mendapat pelayanan yang baik dari wanita selembuat Dian.

“Ampuni aku Tuhan” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.

Sebenarnya dia sudah mati-matian melupakan Rindu. Namun entah kenapa ia tidak bisa. Ia selalu berusah mencari-cari alasan untuk membencinya, tapi tidak berhasil. Yang ada justru sebaliknya, setiap kali ia menekan hatinya untuk membuang nama Rindu, tiba-tiba muncul rasa kehilangan yang menyakitkan dan menyiksanya. Seharusnya ia tidak harus demikian, seharusnya ia bisa menerima kenyataan yang dihadapinya. Akal sehatnya selalu menyadarkannya akan hal itu. Namun betapa susahnya menghapus rasa cinta yang terlanjur menghujam ke dalam jiwanya.

Jam tiga dini hari, Sandi belum juga memejamkan mata. Dunia ini sangat tidak nyaman ia rasa. Ia masih memikirkan nasibnya. Memikirkan apa ini jawaban untuk semua kegundahan yang dirasakannya. Jawaban saat dia mempertanyakan perasaannya. Jawaban untuk semua perjuangannya. Jawaban untuk semua kepedihannya. Malam itu hanya air mata yang menjawab semuanya.

***

Di ufuk timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menggaung, sebuah menara mengumandangkan azan. Disusul menara yang berikutnya. Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari setiap menara yang menjulang di Kota Jakarta. Suara azan dari mesjid Al-Hikmah membangunkan Asmar, bang Alwi, dan Anca.

Asmar menjalankan shalat subuh berjamah diruamah. Ia menggelar sajadah di ruang kamar. Bang Alwi menjadi Imam sedangkan Asmar dan Anca menjadi makmum, bang Alwi membaca surat Al-Fatiha disusul Surat An- Nisa dengan tartilnya. Suaranya serak menandakan dia baru bangun tidur. Usai shalat dan zikir lalu berdoa. ”Semoga hari ini berjalan lancar ya Allah. Amin “. Selepas berdoa ia keluar kamar. Diteras kamar mereka mengobrol. Di dipan kayu yang ada di depan kamar sambil menikmati teh hangat.

“Anca.., gimana sandi semalem? Apa dia cerita sesuatu?” Tanya Asmar

“Dia semalem tidak bicara, malah lebih cepat tidur” kata Anca

“Karaeng, kira-kira berhasil nggak ya?” tanyaku penasaran

“Sepertinya tidak berhasil” kata bang Alwi

“Kenapa bisa begitu karaeng? Apa bang Alwi sudah cerita sama Sandi?” tanyaku tambah penasaran

“Aku belum sempat bicara sama Sandi, tadi malam kan kita dari rumah Aga main domino jongkok” kata bang Alwi

“Terus kenapa bisa karaeng bisa menyimpulkan Sandi gagal?” Tanya ku lagi

“Apa kalian tidak lihat bunga mawar yang ada di atas tong sampah itu, aku kira itukan buat Rindu tapi pagi ini kita menyaksikan mawar merah itu ada di tong sampah, berarti bunga itu tak bertuan” kata bang Alwi

Aku dan Anca lalu menghampiri tong sampah yang ada di dekat pintu pagar.

Dalam hati aku berkata…

“Sungguh kasihan si Sandi akhir ceritanya berakhir dengan tragis”

***

MAWAR TAK BERTUAN inilah suatu kisah nyata yang terjadi dikosan lontara, memang dalam alur ceritanya sedikit fiktif tapi bunga mawar itu memang ditemukan ANCA di atas tong sampah.


BAB X

SEJUTA CINTA PRODIP 1 STIS

TOMING SEE DAN FLO

Ini kisah yang penuh dengan derai air mata, pengorbanan seorang wanita untuk lelaki pujaan hatinya yang tak bisa dinilai dengan apapun. Konon menurut cerita yang beredar di kampus STIS tersebutlah suatu kisah cinta antara Toming See dan Flo, kisah yang sangat tragis karena walaupun sang Toming see sudah memiliki tunangan tapi si Flo tetap dengan setia mencintai pujaan hatinya, pernah suatu ketika Toming See harus terbaring di Rumah Sakit Kasih Ibu karena DBD, dengan setianya Flo menunggui dan merawat Toming See sampai sembuh bahkan semua biaya pengobatan di tanggung oleh si wanita yang penting sang kekasih sehat kembali. Walaupun semua sahabat Flo tidak mendukung kisah cintanya tapi dengan keyakinan dan perjuangan, kisah cintanya tetap berjalan sampai lulus Prodip 1 di STIS. Namun akhir dari cerita ini menurut kabar angin sang Toming See akhirnya menikah dengan tunanganya sedangkan Flo tak ada kabar sampai buku ini dicetak, semoga engkau bahagia selalu Flo. Kalau penulis tidak salah penggunaan nama Toming See dan Flo pertama kali di cetuskan bang Minwar untuk menyamarkan nama pelaku yang terkait kisah ini. hehehehehe

JADIKAN AKU YANG KEDUA

Ini cerita tentang si Boy yang sangat mencitai seorang gadis yang baik hati, suka menabung, dan tidak sombong. Siapa bilang lelaki Batak identik dengan sifat yang kasar dan bengis, contohnya si Boy yang kata anak-anak memiliki wajah mirip Afgan, walaupun suaranya keras tapi hatinya seperti Rinto Harahap. Memang sih, si doi sempat dekat dengan sang wanita tapi akhirnya tidak berlanjut ke tahap pacaran karena sang gadis ternyata sudah punya tunangan di kampung halamanya ( Bravo untuk kesetian sang wanita ). Dengan adanya prahara di hati si Boy, ini sangat berdampak bagi kesehatannya, terbukti setelah kejadian itu dia tambah kurus karena tidak nafsu makan, hanya bisa menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Dan terus berteriak.

“ Awak pun ikhlas kalau di Jadikan Yang Kedua “

SI BOTAK PENAKLUK PEM-PEK PALEMBANG

Kalau ada lelaki yang selalu mencap dirinya playboy maka itu masih bisa di ragukan eksistensinya di dunia percintaan. Tapi untuk lelaki yang satu ini, aku berani mengangkat empat jempol buat dia. Wajahnya tidak ganteng-ganteng amet, badannya kurus mirip vokalis the changchuters, kepalanya botak mirip Markus Maulana Horison, kulitnya putih layaknya lelaki kebanyakan di negeri pharayangan. Tapi bahasanya sangat puitis, pernah suatu ketika dia bercerita tentang kisah cintanya, pemilihan kata-katanya sangat apik bahkan pendeskripsian alur ceritanya mampu membuat tiap adegan dalam cerita bergerak-gerak di dalam kepala pendengarnya. Dalam episode ini pun, dia berhasil menaklukkan gadis melayu dari kota empe-empek yang katanya sudah punya tunangan. Bahkan karena kenekatan si Botak maka hampir menimbulkan prahara berdarah antara anak-anak ampera dan anak-anak pasundan. Untung cepat-cepat ditengahi anak-anak Lontar.

Standing applause buat seorang pujangga sejati.”

DUNIA INI BERPUTAR SEPERTI RODA

Suatu ketika seorang sahabat datang kepadaku dan bercerita tentang wanita yang sangat ia cinta. Atas saran dari beberapa sahabat lainnya dia pun mengutarakan isi hatinya, potong pendek cerita akhirnya si perempuan menolak cinta sang lelaki, ditengah ke putus asaannya dia pun berjuang untuk menjadi lelaki sejati. Sampai akhirnya segala cara dia lakukan termasuk ikut gym agar tubuhnya menjadi atletis, alhasil keadaan berputar 360 derajat, sekarang sang wanita yang tergila-gila kepada si lelaki tapi semuanya sudah terlambat karena lelaki itu sudah memiliki pujaan hati yang sangat sayang kepadanya. Memang harus diakui kalau Dunia ini Berputar Seperti Roda. Kadang diatas terkadang dibawah.

DARI SABANG SAMPAI MANADO

Kisah cinta dua sejoli yang berjudul dari Sabang sampai Manado pasti sudah sangat terkenal, jadi para pembaca pasti sudah tahu alur ceritanya karena ini kisah yang paling gempar di dunia percintaan Prodip 1, sampai ketua HMD 1 selalu menceritakan kerisauannya kalau lagi berkunjung ke Lontara, kerisauan itu di karena lelaki itu bukan dia, katanya kalau seandainya dia yang ada di posisi itu pasti akan lebih pantas. Hehehehehehe,( kalau sama bang Mino nanti judulnya dari Papua ke Manado kan tidak asyik didengar bang. Hehehe)

ADA CINTA DI FREKUENSI

Air beriak tanda tak dalam, jangan kira air yang tenang tidak berbuaya. Pribahasa ini sanga tepat untuk pasangan yang satu ini, bahkan aku sempat teripu oleh sikap pendiam kedua sejoli ini, Suerrrr!!! aku sempat tidak percaya akan kisah cinta yang mereka rajut. Secara keduanya teman sekelasku di frekuensi, saat di dalam kelas mereka nyaris tidak pernah bertegur sapa. Makanya wajar aja kan kalau saya bertanya Kapan mereka jadian? Terus komunikasinya pakai bahasa isyarat ya? Wah yang seperti ini yang bahaya, diam-diam menghanyutkan. Tak pernah sekalipun aku melihat mereka berduaan di kelas, dikosan pun tidak pernah ( kebetulan si cewek numpang di kosan Lontara). Cinta memang hebat, susah ditebak dari mana arahnya, dan akan datang begitu saja kepada mereka yang memiliki hati.

TAI KUCING RASA COKLAT

Kalau ada yang mengatakan coklat M&M’S adalah coklat yang paling enak di dunia maka saya yang pertama kali akan mengatakan setuju. Tapi kalau ada yang mengatakan tai kucing rasa coklat maka sahabatku Sandi yang pertamakali akan mengatakan setuju.

Kenapa saya berani menyimpulkan demikian?

Apakah ini hanya hipotesa saya semata?

Atau ini sebuah hasil kesimpulan dari SUSENAS modul Komsumsi? Untuk mengetahu Jawabanya silahkan baca dengan sekasama cerita ini.

Suatu ketika di kosan Lontara pada siang hari yang sangat panas dan gerah. Saat saya berdiri mematung didepa pintu untuk menikmati hembusan angin tiba-tiba aku melihat Si Sweety berulah (Kenalin si sweety adalah seekor kucing kampung milik ibu Iyam tetangga depan kosan kami). Dia seenaknya saja buang hajat di dekat dipan kayu tempat kami selalu nongkrong, malah sialnya lagi dengan enteng dia pipis diatas balai-balai yang ada didepan kamar, padahal balai-balai itu tempat kami sering berbaring ketika pulang dari kampus. Dengan perasaan kesal dan sedikit mengumpat terpaksa saya ke belakang untuk mengambil air dan sikat dengan maksud utuk membersihkan balai-balai itu, belum sempat saya ke WC tiba-tiba Sandi berlari menujuh keluar kamar dengan Hp yang tertempel di telinganya. Dengan sekuat tenaga saya berusaha mengejarnya, belum sempat saya meraih tangganya dengan maksud menyelamatkannya ( www.lebay.com ) tapi dengan semangat mengharu biru dalam sekejap dia sudah berbaring di dipan itu dengan perasaan berbunga-bunga, hanya senyum merekah yang tersungging dibibirnya. Aku baru mau menegur tapi dengan secepat kilat dia mengusirku dengan isyarat tangan. Aku hanya bisa menurut karena tak tega juga mengganggu kesenanganya, aku hanya sempat mendengar dia mengatakan.

“ Rin, sudah makan kah? Jangan males makan ya nanti sakit loh”

hanya kata itu yang sempat saya dengarkan dari mulutnya, selebihnya saya hanya bisa membayangkan betapa wanginya bau kecing kucing yang menepel dirambut gonrongnya, betapa wanginya bau tinja si swetty yang masih hangat itu. Hampir setengah jam Sandi meliuk-liuk di atas dipan itu dengan ekspresi yang tetap konsisten dengan wajahnya yang terlihat begitu bahagia. Tajamnya bau tai kucing tak mampu mengalahkan semerbak wangi cinta yang sedang dirasakannya saat itu, bahkan bau kencing kucing yang menempel di rambutnya laksana minyak kemiri yang sedang membahasahi rambut panjangnya. Cinta begitu dahsyat, hanya dengan mendengar suara sang pujaan hati membuat seorang Sandi melupakan konsep dan definisi bahwa tai kucing itu baunya sangat menyengat bahkan dia berkesimpulan bahwa Tai kucing terkadang rasanya coklat.

Jadi tidak ada salahnya kan dengan Judul cerita ini. Cerita ini tidak fiktif, asli kisah nyata. Dari sini penulis sangat tahu betapa Sandi sangat mencintai Andi Rindu Eka Wati pujaan hatinya.

HARAP LAPOR, 3 X 24 JAM DALAM SEHARI

Pernah dengar kalimat himbauan yang tertulis di rumah-rumah pak RT mengenai Tamu Harap Lapor 2 X 24 Jam, atau mungkin para pembaca sering mendengar Wajib Lapor senin & Kamis di kantor Polisi. Tapi saya yakin para pembaca baru kali ini membaca kalimat Harap lapor, 3 x 24 jam dalam sehari. Mungkin kalimat ini terlalu mengada-ngada dan mungkin para pembaca berkesimpul kalau tidak akan ada orang yang sanggup melakukan instruksi tersebut secara rutin. Kalau para pembaca berkesimpulan seperti itu maka anda salah besar, ternyata seorang Asmar mampu melakukan hal itu selama bertahun-tahun. Ya.., dialah asmar yang harus melapor ke pacarnya via telefon 3 kali dalam 24 jam, memang terdengar seperti resep dokter yang menginstruksi untuk minum obat. Hehehehe, aturan pakaianya juga ada dia harus menelfon pada pagi hari sekitar jam 6 pagi minimal 30 menit, siang hari atau sore hari selama 1 jam, terus malamnya harus nelfon selama 2 jam. Rutinitas itu dilakukan setiap hari selama dia berada di Jakarta sektar hampir dua tahun. Terkadang kak Mirna bertanya.

“Apa aja sih yang jadi topik pembahasan kalian? pokoknya tiap hari menelfon malah lama banget ”

“Banyak hal yang kami bicarakan kak, mulai dari kabarnya, kuliahnya, film-film terbaru, harga ikan, harga cabe di pasar terong, bahkan sampai membahasa neraca perbankan, bahkan kucingnya si Cinta yang lagi hamil jadi topik hangat yang kami obrolkan.., pokoknya segala hal yang paling up-to date jadi topik pembahasan kak……hehehehe”

“Hebat juga kamu ya Mar, kalo aku pasti sudah budek, karena nelfon terus. Hehehehehe”

Ya begitulah keseharian Asmar selama berada di Kosan Lontara, sangat garing dan membosankan. Dan sampai sekarang tak ada yang tahu alasan Asmar melakukan rutinitas itu secara konsisten.

( Buat kak Mirna yang sangat aku rindukan, sekarang gadis yang sering aku telfon siang dan malam itu sudah menjadi istriku kak, dan kebiasan telfon-telfonan itu masih terus berlanjut karena aku masih bekerja di Kalimantan sedangkan dia masih menyelesaikan tugas akhirnya di salah satu kampus di Makassar. hehehehe )

***


BAB V

SELAMAT TINGGAL JAKARTA KU

Detik-detik mengharukan telah tiba. Kosan Lontara menjadi ramai. Menjelang acara perpisahan ada acara kecil-kecilan, ada kesan-kesan dari teman-teman yang ditinggalkan terutama teman satu rumah. Yang paling terbata-bata karena terharu akan ditinggalkan adalah Sandi,kak Mirna, Anca, dan Bang Alwi. Mereka merasa Asmar adalah sosok sahabat, saudara yang sangat baik selama ini.

Ya, hampir dua tahun kebersamaan mereka, Jakarta sudah habis dijelajahi bersama bahkan hampir semua kota dipulau jawa sudah disamperin, akhirnya hari-hari berikutnya mereka akan berjuang di kota Jakarta tanpa Asmar bersamanya karena bocah yang dikenal selalu tersenyum itu telah lulus dari STIS, baru kemarin Ia di wisuda dengan IPK yang memuaskan. Ya…, Ia akan kembali ke Kalimantan Timur untuk mengabdi dan menjalankan tugas negara sebagai abdi masyarakat. Yang paling terbata-bata bahkan sampai meneteskan air mata saat menyampaikan kalimat perpisahannya adalah Asmar. Ia tak kuasa menahan sedihnya meninggalkan keluarga besar “Lontara” yang sudah menjadi keluarga keduanya.

Koper, tas, dan ransel dimasukkan ke bagasi taxi blue bird yang sudah menunggu di depan lorong. Tiga orang temanya mengatar ke Bandara termasuk Bang Alwi, Sandi, dan Anca.

“Mar.., nanti kalau kau menikah kasih kabar ya” Sandi membuka percakapan

“Pasti San.., tapi sampai sekarang kamukan sering bilang kalau pacarku tuh hanya didunia maya karena cuma telfo-telfonan, menurutmu apa aku menikah saja dengan orang Kalimantan?”

“Jangan…, brow.., soalnya kau bisa menetap disana dan tak kembali ke Sulawesi lagi” Kata Anca

“Iya Mar.., sebaiknya kau selektif memilih pasangan.., kalau menurutku mending sama gadis sekampungmu itu aja.., kalau tidak salah namanya Septikan?” Kata bang Alwi

“Betul juga tuh.., Bang.., hehehehe”

“Emang siapa Bang, kok kami tidak tahu..?” Tanya Sandi

“Itu loh, gadis yang ditelfonya siang dan malam”

“Jahat kamu Mar, Nggak pernah cerita sama kami”

“Iya…, sory…, suatu saat nanti aku akan buat buku cerita tentang kisah kita selama di Jakarta, jadi kalian tinggal baca aja ya..”

“Aku ceritakan sedikit ya tentang wanita itu..” kata bang Alwi

“Iya bang ceritalah, biar kami tidak penasaran” Desak Sandi

“Dia adalah gadis yang halus budi bahasanya, cantik parasnya, sangat santun perangainya, pokoknya wanita pujaan Asmar banget” kata bang Alwi

“Emang bang Alwi pernah liat gadis itu?” Tanya Sandi

“Nggak pernah, aku cuma bisa menyimpulkan dari curhatnya si Asmar, tiap malam kalau dia tidak bisa tidur, dia pasti ke kamarku..hehehehehe”

“Pantas aja selama ini kamu tidak mau dekat sama perempuan brow..” Kata Anca

“Aku tak seperti Sandi sang pujangga, selama disini dia pernah dekat sam IKA anak trisakti itu, dulu katanya pernah ngedate di Ancol.., mending sama dia aja bro, dan lupakanlah si Rindu karena dia sudah punya tunangan..” Kata Asmar

“Betul….,betul…,betul.” Kata Anca

“Iya…..iya…,” kata Sandi

“Aku ingin ucapkan terimakasih banyak sama bang Alwi, yang selalu dengan setia mendengar keluh kesahku kalau bukan bang Alwi yang menasehati, mungkin aku sudah Drop Out dari kampus”

“Aku juga senang ko…, bantuin kau Mar.., soalnya kalian semua sudah kuanggap adik-adikku”

“Wah…, so sweet.., ayo berpelukan” kata Sandi

“Ih….., Ih….., Ji jay banget deh…, makanya jangan bergaul sama banci Ndi, bisa-bisa kau ikutan” kata Anca

“Enak aja…, aku cuma mo nyontohin kekompakan teletubies”

“Mar.., kamu harus perjuangkan cintamu ya sampai pada ikhtiar terakhirmu…,key”

“Iya bang.., aku janji”

Taxi itu terus melaju membelah jalan Tol menujuh bandara Soekarno-Hatta.

Asmar akhirnya sampai di bandara itu.

“Bang, aku masuk dulu ya..”

“Aku doakan semoga ilmu kamu bermanfaat di tanah Borneo, ingat ya.., kau harus kembali ke Sulawesi karena tanah kelahiran kita butuh anak muda seperti kamu Mar” kata bang Alwi

“Makasih…, Karaeng”

Dan detik-detik yang sangat berat baginya itupun datang. Detik-detik perpisahan dengan teman-temannya. Detik-detik meninggalkan Kota Jakarta tempatnya menimbah ilmu statistik selama hampir dua tahun. Ia harus masuk ke bandara untuk mengambil boarding pass, satu persatu teman yang mengantarnya Ia peluk dengan hati basah dan mata yang berkaca-kaca. Di telinga mereka Ia bisikkan permintaan maaf jika ada khilaf, juga permohonan doa agar selamat dalam perjalanan.

Saat memeluk Bang Alwi, dia menangis.., Bang Alwi sudah menjadi malaikat penolong selama di Jakarta. Kalau bukan kearifan nasehat Bang Alwi mungkin sekarang dia sudah gila karena perasaan yang tidak menentu itu. Perasaan yang Entah kapan datangnya dan kapan dia pergi, pokoknya perasaan itu sangat halus dan efeknya mampu membuat Asmar setengah gila, apalagi tiap hari-harinya di STIS harus berhadapan dengan rumus matematika. Pokoknya spesial thank’s buat Bang Alwi.

Setelah semua Ia peluk, satu persatu koper dan ransel serta barang bawaannya ia masukkan ke dalam metal detector. Ia lalu masuk ke kawasan yang hanya boleh di masuki para penumpang. Ia melambaikan tangan perpisahan. Asmar langsung ke meja pengambilan boarding pass. Kopernya di timbang, tak ada masalah. Ranselnya tetap menggantung dipundaknya dan tas kecil yang isinya makanan dijinjing dengan tangan kanan.

Setelah mengambil Boarding Pass. Asmar berjalan menujuh ruang tunggu keberangkatan. Tas ransel dan tas jinjingnya harus melewati metal detector terakhir untuk dilihat isinya. Tak ada masalah, ia lalu berjalan mencari tempat duduk tak jauh dari papan informasi jadwal keberangkatan. Ia melihat ke jadwal keberangkatan, rupanya 30 menit lagi pesawatnya akan bertolak dari Cengkareng ke Sepinggan. Ia terus mengingat masa-masa terindah selama di Jakarta. Pokoknya STIS sangat imut, ibu Dragon yang baik hati, dan Lontara akan selalu melekat dalam ingatannya. Mereka lebih berungtung karena saat kuliah mereka selesai pasti mereka langsung pulang kampung. Nah.., kalau aku dari Jakarta harus langsung ke Balikpapan terus naik pesawat lagi ke Bandara Kalimarau Kabupaten Berau. Disana aku aku akan disambut oleh teman-teman kantor ku, padahal aku sangat berharap ibu dan ayahku ada disana saat aku datang.

Lamunannya buyar saat Ia mendengar suara dari mikrofon yang menginstruksikan agar semua penumpang pesawat Garuda Indonesia Airways segera masuk pesawat.

Ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ikut antrean masuk pesawat. Seorang petugas dari Garuda memeriksa lembar Boarding Pass satu persatu dan menyobeknya. Hatinya bergetar hebat saat ia menginjakkan kakinya di dalam pesawat. Ia nyaris tidak percaya bahwa sebentar lagi ia akan meninggalkan Jakarta, meninggalkan STIS, meninggalkan sejuta kenangan bersama anak-anak Lontara. Terlalu banyak cerita indah yang melekat di dalam memori kepalanya. Ia berjalan dan mencari kursi 8A. Setelah Ia meletakkan barang-barang di kabin yang ada diatas tempat duduknya. Ia duduk dikursi, sabuk pengaman dipasang kuat-kuat. Tak lama pesawat itu mengangkasa bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Sepinggan Balikpapan. Dari balik jendela pesawat dia melihat ibu kota untuk terakhir kalinya dalam hati dia berucap

”SELAMAT TINGGAL SAUDARA-SAUDARAKU”

“SELAMAT TINGGAL JAKARTAKU”

****

Azan subuh selalu mengetarkan kalbunya. Alam Kalimantan seperti bersahut-sahutan menggaungkan asma Allah. Fajar yang merekah selalu mengalir ke dalam hatinya. Rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang menciptakannya. Setiap kali fajar itu merekah ia rasakan nuansanya tak pernah sama.

Setiap kali merekah selalu ada semburat yang berbeda dari fajar hari-hari yang lalu. Rasanya tak ada sastrawan yang mampu mendetailkan keindahan panorama kota Tanjung Redeb di pagi hari dengan bahasa pena.

Langit dini hari kota Tanjung Redeb selalu memikat hatinya. Keindahanya tak pernah pudar, itu dirasakannya sejak saat pertama kali sampai ke kota ini selepas pendidikan di Jakarta. Ya…, sudah Sembilan bulan dia di Kota ini.

Asmar berdiri di depan jendela kamarnya yang Ia buka lebar-lebar. Ia memandang langit, menikmati fajar dan berucap syukur kepada sang pencipta. Betapa dia sangat mensyukuri semua nikmat yang diberi sang khalik. Di tanah rantau dia hidup lebih dari cukup, ini terlihat dari fasilitas yang diberikan kepadanya mulai dari rumah dinas yang cukup luas ditambah sebuah motor dinas berplat KT 4119 G menjadi pelengkap dalam menemaninya melaksanakan tugas sebagai Koordinator Statistik Kecamatan ( KSK Pulau Derawan ) kantor BPS Kabupaten Berau.

Ia sangat bersyukur akan limpahan rahmat itu, tiba-tiba rasa rindu menyelimuti hatinya, hampir setahun dia tidak bertemu sama sahabat-sahabatnya. Saat gundah mengisi relung hatinya, dia selalu menumpahkannnya ke dalam sebuah buku , itu lah buku diary kesayangannya yang selalu menemaninya dimana pun dia melangkahkan kakinya. Buku yang telah menemaninya sejak SMA sampai hari ini. Segala kisah telah terekam dalam buku tebal itu baik kisah sedih sampai kisah yang membuat hati bahagia.

Ia berjalan menujuh meja kerja yang ada di sudut kamarnya. Dia mengambil buku diary itu.

“Hari ini sabtu, saatnya aku menikmati hari liburku, semoga hari ini aku bisa menyegarkan pikiranku dengan mengenang semua KISAH PANJANG SEORANG SAHABAT”

Setiap hari libur digunakan Asmar untuk membaca buku diary-nya. Untuk mengenang para sahabat yang dirindukannya. Lembar demi lembar dibacanya, kadang sebuah senyuman terlihat di wajahnya.

****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar